Masyarakat Adat Suku Moi Tak Butuh Investor Sawit

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Kamis, 02 Desember 2021

Editor : Kennial Laia

BETAHITA.ID - Papua bukan tanah kosong! Hutan adalah Mama bagi masyarakat adat. Slogan dan ungkapan ini mengandung arti sangat dalam. Orang asli papua bahkan sudah sering melantangkannya, hanya demi menegaskan eksistensi mereka dan kesakralan hutan Tanah Papua. Tapi investor-investor tetap berduyun datang mengacak-acak hutan adat di sana, menyingkirkan mereka yang berhak.

"Itukan pandangan pemerintah. Kalau kita masyarakat adat, kita tidak membutuhkan investor. Karena bagi kami hutan itu adalah pasar kami. Hutan itu adalah apotek, rumah sakti kami. Dan hutan itu adalah bank atau mesin ATM kami masyarakat adat," kata Ambo Klagilit, anggota masyarakat adat Suku Moi yang ada di Distrik Moi Segen, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Senin (29/11/2021).

Perkataan Ambo itu seolah menampik cara pandang pemerintah yang melihat bahwa dengan memberikan izin usaha di wilayah adat kepada investor perkebunan, hal itu akan dapat memicu peningkatan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat adat yang tinggal di dalam atau sektiar hutan. Menurut Ambo, pemikiran seperti itu terlalu sombong. Karena pada kenyataannya, tanpa adanya investor pun masyarakat adat sudah bisa hidup cukup layak dan menyekolahkan anak-anak mereka.

Anak muda Suku Moi ini bilang, hutan menyediakan segala yang dibutuhkan masyarakat adat. Hutan adalah supermarket bagi masyarakat adat. Bila membutuhkan uang untuk membiayai hidup atau bahkan menyekolahkan anak, mereka akan pergi ke hutan mencari hewan buruan untuk kemudian dijual. Bila sakit, mereka hanya perlu mencari tanaman-tanaman herbal di hutan untuk membuat ramuan-ramuan mujarab.

Forum Mahasiswa Peduli Hak Masyarakat Adat Papua mengelar aksi damai di halaman PTUN Jayapura, Selasa (30/11/2021). Mereka meminta hakim PTUN menegakkan keadilan bagi masyarakat hukum adat di Tanah Papua dengan memutus menolak gugatan perusahaan./Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

"Kita melihat hutan itu adalah pasar karena segala kebutuhan hidup itu ada di hutan. Kenapa kita melihat hutan itu sebagai mesin atm kita, karena dengan masuk hutan kita cari hewan buruan kita jual itu sudah cukup memenuhi kebutuan kita dan membiayai anak sekolah dan lain sebagainya."

Ambo mengungkapkan, sebagian besar Suku Moi menyekolahkan anak mereka hingga tinggi bukan dari uang dari investor. Itu bisa dibuktikan dari perbandingan berapa banyak anak Suku Moi yang sekolah dan sukses karena orang tua atau di wilayah adatnya ada investor, dengan berapa banyak anak-anak Suku Moi yang di wilayah adatnya tidak ada investasi tapi pendidikan mereka berhasil.

"Bahkan yang sangat miris adalah beberapa marga yang sudah memberikan tanah adat mereka ke perkebunan sawit, tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka. Karena anggaran atau biaya yang diberikan untuk setiap marga terlalu kecil bahkan tidak cukup membiayai anak-anak sekolah," ungkap Ambo.

Menurut Ambo, pemerintah daerah maupun pusat jangan lagi mengobral izin usaha kepada investor perkebunan sawit di wilayah adat Suku Moi, kalau itu hanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat. Pemerintah hanya perlu menjalankan tugas-tugasnya sesuai amanat Perda Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017.

Yang mana Perda itu mewajibkan pemerintah untuk melakukan identifikasi potensi sumber daya alam di wilayah adat dan kemudian membantu membimbing dan membina masyarakat adat untuk kemudian mampu mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Sehingga masyarakat adat tidak lagi harus bergantung pada pihak-pihak luar untuk mengelola wilayah adatnya sendiri.

"Kalau saya lihat seperti begitu. Peran pemerintah kemudian memberikan bantuan dorongan pelatihan yang ada hubungannya dengan sektor-sektor ataupun potensi sumber daya alam di masyarakat. Misalnya wilayah adat yang ada potensi wisatanya. Bagaimana pemerintah membantu masyarakat mengelola tempat itu sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat."

Di wilayah tempat tinggalnya di Kampung Wonosobo, Distrik Moi Segen, lanjut Ambo, terdapat dusun sagu atau hutan sagu yang besar. Dusun sagu ini layak dikelola dan bisa memberikan faedah besar bagi masyarakat. Lokasinya tidak jauh dari pemukiman masyarakat dan akses menuju ke dusun sagu itu tidaklah susah.

"Bisa didorong wisata dusun sagu. Ataupun misalnya bisa didorong juga untuk masyarakat mengelola sagu menjadi tepung atau bahan-bahan lain yang ada nilai ekonomisnya."

Ambo menggambarkan, anak-anak muda Suku Moi di kampungnya sebetulnya memiliki kepercayaan diri dan potensi yang baik untuk berkembang. Tinggal bagaimana pemerintah daerah bisa mendorong dan memberikan pelatihan yang dapat membuat anak-anak muda Suku Moi menjadi lebih kreatif dalam melihat ataupun mengelola potensi sumber daya alam di wilayah adatnya.

Perkebunan Sawit Tak Diundang Masuki Wilayah Adat

Ambo kemudian bercerita tentang adanya tamu tak diundang yang masuk ke wilayah adat Suku Moi. Tamu tak diundang itu adalah perusahaan-perusahaan perkebunan sawit bernama PT Cipta Papua Plantation (CPP), PT Inti Kebun Lestari (IKL), PT Papua Lestari Abadi (PLA) dan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS).

Entah sejak kapan keempat perusahaan untuk perkebunan sawit itu memperoleh izin berusaha di wilayah adat Moi. Yang pasti masyarakat adat Moi baru mengetahui keberadaan tamu tak diundang di wilayah adatnya itu justru setelah Bupati Sorong Johny Kamaru digugat oleh PT IKL, PT PLA dan PT SAS pada 2 Agustus 2021 lalu. Tiga PBS itu tidak terima izinnya dicabut dan menggugat Bupati Sorong ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.

"Entah ada berapa lagi perusahaan yang mau masuk. Yang kita tahu itu yang izin-izinnya sudah dicabut. PT CPP, PT IKL, PT SAS dan PT PLA. Kemudian di 2020 itu ada satu izin yang dicabut, PT MMP (Mega Mustika Plantation)," kata Ambo.

Selain perusahaan-perusahaan yang izinnya sudah dicabut ini. Ada juga tiga PBS perkebunan sawit yang beroperasi di wilayah adat Suku Moi, yakni PT Inti Kebun Sawit (PT IKS), PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ) dan PT Henrison Inti Persada (HIP). Namun keberadaannya tak memberi pengaruh positif bagi kesejahteraan masyarakat adat Moi.

Ambo sebagai anak Suku Moi merasa heran, bagaimana bisa keempat perusahaan besar swasta ini bisa begitu saja memperoleh izin bahkan tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari masyarakat adat pemilik hak ulayat. Ambo dan masyarakat adat Suku Moi lainnya merasa tidak dianggap dan terjajah.

Di mata Ambo, perusahaan-perusahaan sawit itu tak ubahnya seperti penjajah. Yang masuk ke wilayah adat dengan cara tak beradat, dan itu menunjukkan tidak adanya niat baik. Ambo berasumsi, perusahaan-perusahaan itu masuk ke wilayah adat hanya untuk menjalankan bisnis investasinya, demi profit keuntungan perusahaan saja. Itu sebabnya keberadaan masyarakat adat pemegang hak ulayat tidak diperhitungkan dan tidak dianggap.

"Karena kepentingan mereka adalah bagaimana bisnis mereka bisa memberikan keuntungan sebesar-besarnya untuk mereka. Tanpa melihat masyarakat adat yang hutan adatnya hilang dirampas oleh mereka. Mereka tidak lagi memikirkan kita, mereka memikirkan keuntungan dari aktivitas mereka. Itukan tidak jauh dari penjajah," ujar Ambo.

Ambo menyebut perusahaan-perusahaan itu tidak beradat, karena sembarangan saja masuk ke wilayah adat Moi. Perusahaan-perusahaan itu tanpa permisi masuk dan mengokupasi wilayah adat Moi, sama sekali tanpa proses konsultasi dengan masyarakat. Beruntung izin usaha keempat perusahaan itu sudah dicabut oleh Bupati Johny Kamaru.

"Kenapa kita bilang sembarangan? Karena misalnya kasusnya PT PLA, itukan kita tahu izinnya dicabut pada 23 April 2021. Kemudian dia (PT PLA) dekati masyarakat adat itu pada sekitar Juni 2021, kemudian memberikan masyarakat adat uang senilai Rp300 juta untuk dua marga yang ada di Kampung Waimon, Distrik Segun. Dua marga itu adalah Kasilit dan Malalu."

Ambo mengaku tidak tahu secara pasti berapa hektare luas lahan yang didapat PT PLA dari pemberian duit Rp300 juta kepada dua marga itu. Tetapi menurut warga dari salah satu marga yang menerima duit PT PLA yang Ambo temui, lahan yang diberikan kepada PT PLA, berdasarkan perjanjian yang ditandatangani, seluas 45 ribu hektare.

Ambo mengatakan, di Kabupaten Sorong sudah ada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong, yang isinya melarang masyarakat adat menjual tanah di wilayah adatnya. Lahan wilayah adat hanya boleh dihibahkan ataupun dikontrakkan kepada pihak ketiga yang membutuhkan untuk diolah.

"Kalau dihargai dengan Rp300 juta seperti begitu, terlalu apa ya, menurut saya tidak ada nilai. Karena bagi kita tanah hutan itu Mama kita, kalau hanya digadaikan atau dijual dengan murah seperti itu, menurut saya tidak tepatlah," kata Ambo.

Perusahaan Sawit Hadirkan Traumatik

Ditanya apakah masyarakat adat Moi akan menerima PBS sawit, bila proses masuknya ke wilayah adat dilakukan dengan cara baik-baik? Ambo mengatakan tidak. Masyarakat adat Moi pasti akan menolak. Menurutnya, Suku Moi tidak bakal bersedia wilayah adatnya diokupasi untuk kegiatan usaha berbasis lahan skala besar, apalagi perkebunan sawit.

"Sudah pasti masyarakat adat ini tidak akan menerima perusahaan kepala sawit di wilayah adatnya. Karena sudah ada trauma dari masyarakat adat sendiri. Di mana kita lihat masyarakat adat di kebunnya PT HIP, PT IKSJ dan PT IKS. Itu masyarakat adatnya sama sekali tidak memperoleh hak-haknya dengan baik."

Ambo bilang, masyarakat adat Moi belajar dari apa yang dialami masyarakat adat lain yang wilayahnya dimasuki perkebunan sawit. Sampai sekarang nasib dan kondisi ekonomi mereka tidak membaik dan menyesal pernah menerima perkebunan sawit masuk ke wilayah adat. Masyarakat adat Moi belajar dari itu.

"Ada penyesalan dari masyarakat adat yang wilayah adatnya sudah dikasih ke kelapa sawit. Ada trauma tersendiri dari masyarakat adat Moi melihat perkebunan sawit. Dan di kepalanya sebagian besar orang-orang Moi itu bahwa perusahaan kelapa sawit itu sama sekali tidak menyejahterakan kita masyarakat adat, terlebih Suku Moi yang ada di Sorong."

Hukum Adat dan Upaya Menjaga Hutan Adat

Ambo menjelaskan, dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat adat Moi masih menerapkan hukum adat untuk mengatur perilaku tiap-tiap individu. Urusan hubungan antarindividu dan perkawinan hingga persoalan tanah juga diatur dengan hukum adat. Perampasan tanah adat misalnya, ada sanksi dan denda adatnya.

Bahkan dalam persoalan gugatan PT IKL, PT PLA dan PT SAS kepada Bupati Sorong, masyarakat adat Moi menggelar sidang adat yang digelar oleh lembaga adat setempat untuk meminta pendapat dan tanggapan masyarakat adat Moi, guna memutuskan apa dan bagaimana sikap dan posisi masyarakat adat terhadap kasus hukum itu.

"Hasil sidang adat, memutuskan semua masyarakat adat mendukung kebijakan Bupati Sorong. Itu posisi hukum adat yang hari ini hidup di tengah masyarakat."

Hukum adat sebenarnya juga bisa dikenakan kepada perusahaan-perusahaan sawit yang melakukan perusakan hutan di wilayah adat. Namun pihak perusahaan cenderung tidak menghargai hukum adat. Dalam kasus tertentu, seperti perampasan tanah adat misalnya, perusahaan cenderung menyelesaikan sanksi atau denda adat dengan rupiah. Paling parah sanksi dan denda adat yang dikenakan tidak dilaksanakan oleh perusahaan.

"Malahan beberapa kali pemasangan palang adat, itu bahkan dibongkar dengan melapor ke kepolisian untuk membongkar palang adat itu."

Beberapa hal dilakukan masyarakat adat Moi dalam upaya menjaga hutan sumber daya alam di wilayah adatnya. Selain pemetaan wilayah, masyarakat adat juga didorong untuk meluruskan persoalan-persoalan tapal batas wilayah adat. Persoalan tapal batas ini penting diselesaikan, agar tidak menjadi bom waktu memicu konflik horizontal sesama masyarakat adat Moi.

"Selain itu di beberapa tempat lain yang ada di wilayah Sorong, sudah memasang plang-plang atau tanda-tanda di dalam hutan adat mereka untuk menolak perkebunan kelapa sawit yang skalanya besar yang merusak hutan adat kita."

Ke depan nanti, muda-mudi Suku Moi juga akan diberikan pendidikan adat, seperti Kambik dan istilah pendidikan adat lainnya yang dikenal di sana. Pendidikan adat itu diberikan agar muda-mudi adat bisa mendapat pemahaman lebih tentang makna hutan dan tanah adat secara utuh, sehingga bisa menjaganya dengan baik.

"Pendidikan adat ini juga diamanatkan dalam Perda Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017. Kita akan diajar untuk bagaimana menjaga hutan, kita akan diajar untuk melihat dan memahami hutan dan tanah adat secara utuh."

Sebelumnya, dalam diskusi online yang digelar Senin (29/11/2021) kemarin, Dina Paskalina Fadan perwakilan perempuan adat Suku Moi berharap ke depan nanti kebijakan yang ditelurkan pemerintah lebih memperhatikan hak-hak perempuan adat yang kerap jadi korban investasi skala besar.

"Ingin setelah (izin perkebunan) dicabut, hak-hak perempuan adat dilindungi. Berharap sidang berpihak kepada pemerintah daerah dan masyarakat adat yang sedang berjuang," kata Dina.

Di kesempatan sama, Staf Ahli Bidang Pembangunan Sekratriat Daerah Kabupaten Sorong, Suroso mengatakan, setelah izin-izin perkebunan sawit di Sorong itu dicabut, lahan bekas areal perusahaan akan didorong menjadi hutan adat atau skema perhutanan sosial lainnya. Soroso berkata dulunya izin diberikan kepada investor dengan niat untuk menghadirkan kesejahteraan kepada masyarakat.

"Para pendahulu berniat untuk bagaimana menghadirkan kesejahteraan kepada masyarakat, sehingga lahan diberikan izin tapi tidak dikelola dengan benar," kata Suroso.