Menelusuri Penyebab Banjir Garut
Penulis : Aryo Bhawono
Ekologi
Selasa, 07 Desember 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Banjir bandang di Garut pada akhir November lalu tercatat sebagai bencana awal di Pulau Jawa memasuki musim penghujan 2021 ini. Bencana ini menunjukkan rentannya kondisi dan pengelolaan alam di Garut.
Walhi Jawa Barat menyebutkan kontur tanah yang miring dan lunak merupakan kondisi rentan hampir di sebagian besar wilayah kabupaten itu. Banjir bandang yang terjadi menyisir pemukiman sepanjang Sungai Citameng di dua Kecamatan, yakni Karangtengah dan Sukawening. Setidaknya sembilan desa terdampak oleh banjir ini.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Meiki W. Paendong, menyebutkan pembangunan di Garut mengesampingkan kerentanan kondisi alam ini. Pertambangan dan pembangunan properti bertambah sehingga mengubah tutupan tanah. Maka ketika musim hujan datang bencana hidrologi datang.
“Selama ini kondisi alam tak pernah memberikan perhatian apapun soal kondisi geografis ini. Pertambangan meningkat dan pembukaan lahan untuk properti bertambah banyak,” ucap dia.
Kondisi sekitar sungai yang menjadi wilayah tangkapan air pun mengalami perubahan menjadi ladang ataupun pemukiman. Sehingga air tak sempat diserap tanah dan meluncur menuju dataran yang lebih rendah.
Sungai Citameng sendiri merupakan bagian DAS Cimanuk. Luapan air pada banjir bandang pun tak hanya merusak pemukiman melainkan juga pada Bendung Citameng I sampai dengan Citameng IV.
“Beberapa pembangunan infrastruktur ataupun persiapannya banyak mempengaruhi kondisi ini tangkapan air sehingga beban sungai-sungai yang ada, sungai yang bermuara di laut Jawa maupun ke Selatan, ikut terdampak,” jelas Meiki.
Data statistik Mapbiomas menyebutkan aktivitas tambang di Garut baru mulai terdeteksi pada 2018, yakni 5 aktivitas tambang.
Penelusuran lebih lanjut yang diolah Auriga Nusantara menyebutkan perkembangan aktivitas pertambangan mengalami peningkatan di Garut. Tercatat ada 13 izin tambang, tiga diantaranya mendapat izin tahun 2012 dan 2013, yakni tambang tembaga DMP oleh PT. Karunia Semesta Raya seluas 2.292 Hektar, tambang bijih besi oleh PT. Alam Mineral Indonesia seluas 1.597 Ha, dan tambang emas DMP oleh PT. Bina Usaha seluas 272 Ha.
Aneka Tambang sendiri baru mengantongi izin tambang emas pada 2019 seluas 4.552 ha.
Selain itu sisanya merupakan tambang pasir (sirtu) dan tanah uruk dalam luasan kecil dan dimiliki perorangan. Jarak beberapa tambang ini cukup dekat dengan pemukiman, sekitar 8,5 km dari Kecamatan Sukawening.
“Data-data ini memang menunjukkan adanya peningkatan aktivitas pertambangan di Garut,” ucap Peneliti Auriga Nusantara, Yustinus Seno.
Meiki menyebutkan praktik pertambangan, sekecil apapun, jika tidak mempertimbangkan kontur geografi akan berakibat fatal. Aktivitas tambang sangat mempengaruhi debit dan laju air, maka tindakan sembarangan bakal membawa bencana.
“Apalagi banjir dan longsor sudah terjadi beberapa kali, jika ini pun dikesampingkan maka bencana hidrologi bakal kian sering terjadi di Garut,” ucapnya.