Menanti Terang Informasi Kontrak Karya PT. DPM

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Sabtu, 11 Desember 2021

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID -  “Kekhawatiran kami sangat berdasar. Ini daerah patahan gempa, patahan renun, menambang pula mereka (PT. DPM) disini, di bawah tanah lagi. Apa nggak kiamat kita nanti?” -- Serly Siahaan, warga Dairi penggugat PT. DPM

Sudah hampir lewat tiga tahun Serly Siahaan memendam khawatir atas keselamatan nyawa keluarga dan rumahnya di Kelurahan Parongil, Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Dairi, Sumatera Utara. Pangkal kekhawatiran adalah aktivitas pertambangan timah hitam dan seng PT. Dairi Prima Mineral. 

Ia tak tahu sampai sejauh mana aktivitas tambang kelak dilakukan. Pun informasi aktivitas perusahaan itu gelap, bahkan pemerintah pun tak mau memberi terang. 

Serly pernah mengajukan permintaan dokumen Kontrak Karya ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) namun ditolak dengan alasan bukan konsumsi publik. Ia pun lantas mengajukan gugatan informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP).

Lokasi gudang bahan peledak PT DPM yang berjarak hanya 50 meter dari permukiman warga./Foto: Jatam

“Ini menyangkut kehidupan saya, makanya saya ajukan gugatan informasi itu pada Desember 2019,” ucap Serly. 

Kekhawatiran Serly bukan tanpa sebab, bencana pernah datang di sekitar tempat tinggalnya. Pada 2018 banjir bandang menerjang desa di pinggiran Sungai Kitara. 

Sungai itu bermula dari dari Desa Longkotan, lokasi yang akan menjadi pusat penambangan. Sungai yang sempit dan dalam ini merupakan anak sungai Sungai Lae Simbelin di Sidikalang. Sungai itu pun kemudian menuju Sungai Soraya di Aceh. 

Diduga penebangan marak terjadi sehingga sehingga air bah menyapu sepanjang aliran sungai. Makanya ada korban banjir bandang itu yang ditemukan di Aceh. 

“Saya bisa membayangkan aliran sungai itu karena di hulu sungai itu melalui rumah kakek saya. Dan saya tahu air kami memanfaatkan sumber air di Longkotan,” ucapnya.

Bencana bukan hanya itu saja, pada 2012 proses eksplorasi perusahaan itu terjadi di Sikalombun, Desa Bongkaras. Kebocoran ini terjadi di sebuah bukit hingga kebocoran merembes kemana-mana, dari sumur hingga lahan pertanian. Kebocoran itu, kata Serly, terjadi di satu dari 300 titik eksplorasi. 

Pemberitaan Betahita pun mencatat kecacatan yang dilakukan oleh PT. DPM, mulai dari kecacatan AMDAL, pembangunan gudang bahan peledak di luar lokasi Izin Pinjam pakai Kawasan Hutan (IPPKH), hingga kelalaian melengkapi Analisis Risiko Bencana. 

“Kalau gudang bahan peledak itu itu sekitar 50 meter dari rumah penduduk di Dusun Sipat Desa Longkotan. Nah kalau dump tailing itu di belakang HKBP Sikem. Kami tak mau gereja itu digusur,” jelas Serly. 

Selama ini Serly dan warga hanya tahu kalau PT. DPM mendapatkan konsesi sejak masa Soeharto. Namun pada 2017 lalu mereka mengantongi izin operasi dari Kementerian ESDM. Aktivitas warga mulai bersinggungan dengan kegiatan pertambangan, mulai dari hadirnya bangunan hingga alat berat. Beberapa daerah pun dilarang dimasuki warga dengan penjagaan aparat hingga sekuriti. 

Tapi warga tak tahu pasti seluas dan model penambangan yang dilakukan oleh perusahaan itu. Kecacatan dokumen Amdal justru membuat informasi kian kabur. Warga pun tak mendapat sosialisasi dengan terang.

Namun perjalanan mencari informasi ini cukup berliku dan melelahkan. Gugatan KIP harus menunggu dua tahun sejak 2019 untuk memasuki masa sidang. Ketua Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muhammad Jamil, menyebutkan baru pada November lalu ia mendapat undangan persidangan. 

“Baru November itu ada undangan sidang padahal seharusnya sejak 100 hari gugatan diajukan. Tapi tidak apa-apa, kami tetap mengikuti proses hukumnya,” jelasnya.

Jamil, yang duduk sebagai kausa hukum Serly, menyebutkan kliennya ingin keterbukaan akses terhadap Kontrak Karya perusahaan untuk memastikan berbagai hal. Apalagi investor asal Cina, China Nonferrous Metal Industry’s Foreign and Construction Co Ltd (NFC Cina), telah menjadi pemegang saham perusahaan itu. Aktivitas pertambangan akan berlanjut pada operasional dengan penanam modal asing.

Tetapi sejauh ini warga tak memiliki informasi apapun terkait hak dan kewajibannya selaku masyarakat yang pastinya terdampak oleh aktivitas pertambangan. Seharusnya pemerintah memberitahukan hal ini dan dokumen Kontrak Karya merupakan informasi publik. 

“Ini seharusnya menjadi dokumen publik, tidak ada kerahasiaan menyangkut pola bisnis dalam dokumen itu. Paling yang rahasia adalah alamat dan kontak pemiliknya. Itu kan bisa disensor bagian itu saja,” ucap dia.

Menurutnya Kementerian ESDM kerap main ‘rahasia-rahasiaan’ semacam ini. Gugatan informasi PT. DPM bukan satu-satunya. Jatam juga tengah mengajukan gugatan informasi lima perusahaan batu bara raksasa di Kalimantan Timur. 

Selain itu Jatam pernah memenangi gugatan informasi untuk keterbukaan IUP yang dikeluarkan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Kutai Kartanegara hingga ke tingkat Mahkamah Agung pada 2016. 

Sejauh ini dua saksi ahli yang diajukan oleh penggugat pun menyebutkan hal yang sama. Dua ahli itu adalah, Faisal Basri dan Mova Al Afghani. Mereka menyebutkan Kontrak Karya maupun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tak memiliki dasar untuk dirahasiakan. Dokumen itu berisi informasi lokasi, soal pajak dan justru kepentingan publiknya sangat kuat.

Selama ini pemerintah hanya memberikan informasi mengenai adanya perusahaan tambang yang beroperasi, lengkap dengan nomor perizinannya. Namun informasi substansial mengenai lokasi dan lainnya tak termuat dalam website Kementerian ESDM. 

“Jadi tidak selesai itu tugas pemerintah dengan membuat sistem seolah-olah sudah mengerjakan kewajibannya padahal itu jauh dari kata sempurna,” jelas Faisal Basri seperti dikutip dari akun instagram Jatam. 

Kini persidangan gugatan Serly tinggal menunggu putusan. Pada 24 November lalu para pihak telah menyerahkan kesimpulan. Serly pun berharap ada terang informasi soal aktivitas perusahaan yang kini menjadi tetangga desanya.

“Kami harus tahu. Jangan sampai kalau ini pertambangan bawah tanah, tahu-tahu mereka menambang sampai di bawah kasur kami,” tegas Serly.