Papua: Merauke Alami Kehancuran Hutan Alam Paling Dahsyat
Penulis : Tim Betahita
Hutan
Senin, 13 Desember 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Catatan Global Forest Watch selama satu dekade terakhir memperlihatkan bahwa kehancuran hutan alam terbesar di Papua, terjadi di Kabupaten Merauke. Hal itu dinyatakan Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau WALHI, Uli Arta Siagian dalam sebuah diskusi Sabtu lalu.
Menurut Uli di Merauke hutan seluas 112 ribu hektare rusak karena berbagai izin pembukaan lahan sawit, hutan tanam industri (HTI), dan proyek lumbung pangan. Sementara secara total hutan alam Papua seluas 700 ribu hektare telah rusak.
Kerusakan hutan di luar Merauke kebanyakan juga disebabkan berbagai izin investasi di Papua. Hutan alam di Papua dan Papua Barat menjadi salah satu tumpuan harapan dan paru-paru bumi, dengan luas yang 33,7 juta hektare, atau setara 81 persen daratan.
Akan tetapi, hutan alam di kedua provinsi itu menjadi sasaran pembukaan hutan untuk kepentingan pembukaan lahan sawit, hutan tanam industri (HTI), dan proyek lumbung pangan.”Di Papua dan Papua Barat, luasan tutupan sawit saja sudah mencapai 158.821 hektare,” kata Siagian.
Akibatnya, kata Siagian setidaknya sebanyak 161.114 jiwa masyarakat adat yang hidup dan menggantungkan penghidupannya kepada hasil hutan kehilangan mata pencaharian dan tempat berburunya.
Kerusakan hutan juga mengakibatkan kepunahan hewan dan tumbuhan, menimbulkan pemanasan global dan perubahan iklim. Perubahan iklim memicu cuaca ekstrem yang menyebabkan banjir dan longsor. “Ketika lingkungan rusak, hak-hak masyarakat [adat] tercabut, maka butuh kebijakan dari pemerintah yang memulihkan hak-hak rakyat,” ujarnya.
Siagian mengatakan negara harus segera memulihkan hak-hak masyarakat adat di Papua untuk menempati hutan ulayatnya. Hal itu dapat dilakukan melalui pengesahan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat menjadi Undang-undang, menerbitkan kebijakan yang melindungi rakyat dan ruang hidupnya.
Pemerintah juga harus melakukan audit lingkungan dan evaluasi berbagai izin pembukaan hutan. “Hentikan ekspansi izin skala besar atas nama pertumbuhan dan perkembangan,” katanya.
Bicara Food Estate yang juga Mengancam
Rencana lahan pangan terintegrasi atau food estate tidak luput dari ancaman bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup di Tanah Papua. Program pemerintah yang berdalih ‘ketahanan pangan’ ini tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati tetapi mengancam kualitas hidup masyarakat Papua
Provinsi Papua memiliki tanah seluas 32.757.048 ha yang 29.578.822 ha merupakan kawasan hutan dan 3.178.226 ha kawasan non-hutan
Kawasan Papua dilindungi oleh Peraturan Daerah Provinsi Papua No. 23 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Papua Tahun 2013-2033 yang menjelaskan untuk mempertahan kawasan lindung minimal 60% dari total luas Provinsi Papua dan kawasan hutan minimal seluas 90%. Sebagaimana target pembangunan berkelanjutan, Visi Papua 2100.
Nyatanya, proyek food estate ini akan mengurangi 9,1% dari kawasan hutan sehingga menjadi sebesar 26.894.141,32 ha. Menyisakan hanya 81,9% luas hutan Papua.
“Kebijakan ini mengabaikan komitmen Pemerintah Daerah dan Masyarakat Papua tentang Visi Papua 2100 yang ingin mempertahan kawasan hutan seluas 90 % dari seluruh provinsi Papua, bahkan bertentangan dengan pola ruang dan strategi pembangunan berkelanjutan Papua,” jelas laporan Pusaka Bentala Rakyat (29/10).
Proyek food estate ini akan memangkas seluas 2.684.680,68 ha di empat kabupaten di Papua bagian barat yakni Merauke, Mappi, Boven Digoel, dan Yahukimo.
Meningkatkan Kerawanan Bencana Ekologis
Potensi bencana ekologis semakin meningkat akibat proyek food estate yang mengubah bentang alam, tutupan tanah, dan tata guna lahan secara luas. Kerusakan ekosistem yang berskala luas ini dapat mempercepat penurunan fungsi dan kemampuan lingkungan hidup, merusak kesuburan tanah, dan ketersediaan air.
PBR memproyeksikan seluas 728.871 ha berpotensi rawan banjir sangat tinggi, 385.691 ha berpotensi rawan kebakaran hutan dan lahan sangat tinggi, 159.586 ha berpotensi rawan kekeringan sangat tinggi, dan 1.274.148 ha berpotensi rawanan bencana sedang serta rendah.
Pengabaian atas kemampuan daya dukung, daya tampung lingkungan dan sosial dapat berdampak pada peningkatan bencana ekologi dalam jangka panjang, seperti kepunahan, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, pencemaran lingkungan, permasalahan kesejahteraan sosial dan ekonomi, dan sebagainya.
JUBI| BETAHITA