Gerakan #BersihkanIndonesia Tolak Perpanjangan Kontrak KPC

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Minggu, 19 Desember 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Koalisi LSM desak pemerintah untuk menolak perpanjangan kontrak PT. Kaltim Prima Coal (KPC) yang akan jatuh tempo pada 31 Desember 2021. Sepanjang 39 tahun aktivitas anak perusahaan Bakrie itu mengakibatkan kerusakan lingkungan sekitar pertambangan mereka.

Desakan ini dilakukan dengan aksi kreatif dengan membentang poster dan spanduk menolak perpanjangan kontrak PT. KPC. Inti pesan yang dibentang adalah membeberkan jejak kerusakan lingkungan di sekitar izin konsesi perusahaan itu seluas 84.938 Hektar.

Aksi ini dilakukan oleh Gerakan #BersihkanIndonesia, Trend Asia, ENTER Nusantara bersama JATAM Nasional dan JATAM Kalimantan Timur. 

Catatan JATAM mengungkap jejak buruk PT. KPC selama 39 tahun beroperasi di Kalimantan Timur, diantaranya menghancurkan bentang alam, merusak sumber air, merampas tanah, menggusur lahan, dan kriminalisasi masyarakat adat. PT. KPC juga meninggalkan 71 lubang tambang, menyembunyikan informasi publik, menyebabkan bencana dan juga tindak pidana korupsi.

Area pertambangan PT Kaltim Prima Coal di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Foto: JATAM (2014).

Pada tahun 2015, PT. KPC terbukti mencemari pada Sungai Bendili yang menyebabkan perusahaan air minum daerah mengurangi produksi air bersih. Krisis air bersih juga dialami 50 keluarga di Desa Keraitan sepanjang tahun 2012-2014 akibat pencemaran Sungai Keraitan oleh KPC. Perusahaan itu didenda Rp 11,39 Miliar. 

Selain itu, operasi pertambangan ini mengakibatkan kerusakan dan banjir pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengalon dan Sangatta. 

Pengkampanye #BersihkanIndonesia dari JATAM Nasional, Ki Bagus Hadi Kusuma, menyebutkan kejahatan sosial-ekologi yang sudah dilakukan PT. KPC selama hampir empat dekade di Kutai Timur seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk tidak lagi memperpanjang kontrak maupun izin operasi PT. KPC. Tidak cukup hanya itu, negara harus melakukan audit kerugian sosial dan lingkungan. 

“Pemerintah dan PT. KPC juga harus bertanggungjawab memulihkan kerusakan lingkungan di Kutai Timur akibat operasi pertambangan KPC selama ini,” kata dia. 

Kemudian pelanggaran HAM dialami oleh masyarakat Dayak Basap, mereka disingkirkan dengan cara pemindahan paksa ke desa buatan, Desa Keraitan. Pada 12 Februari 2016, tiga warga Desa Sepaso Selatan, yakni Dahlia, Nursal dan Nursiah, yang menolak tanahnya dirampas mendapatkan tindak kekerasan dari perusahaan ini. 

Kasus korupsi pun membayangi divestasi saham perusahaan ini pada tahun 2010 hingga 2013 dan telah menyeret petinggi perusahaan dan Gubernur Kalimantan Timur saat itu dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 792 Miliar.

“Kekerasan dan Korupsi adalah dua cara yang melekat dan dipraktikan oleh PT. KPC selama 39 tahun membongkar isi bumi Kaltim. Menggusur paksa, kriminalisasi, intimidasi, suap petugas pajak hingga ngemplang membayar pajak adalah daftar kejahatan yang cukup untuk pemerintah menolak perpanjangan kontrak PT. KPC,” kata Pradarma Rupang, Dinamisator JATAM Kalimantan Timur.

Jejak buruk ini menunjukkan perpanjangan kontrak perusahaan ini dianggap membahayakan keselamatan rakyat, lingkungan hidup, dan berkontribusi besar bagi pemanasan iklim global. Proyek gasifikasi batubara yang dikategorikan sebagai energi baru dan terbarukan dan saat ini dibangun KPC hanya menjadi legitimasi ketergantungan Indonesia pada energi fosil dan berbahaya. 

“Desakan ini juga sekaligus tantangan pada Presiden Joko Widodo untuk membuktikan pidatonya di pertemuan perubahan Iklim COP 26 yang mengatakan akan menghentikan perluasan industri batubara di Indonesia. Apabila Presiden Jokowi serius berkomitmen, Ia seharusnya tidak memperpanjang masa kontrak perusahaan batubara PT. KPC,” ujar Ki Bagus.  

Saat ini JATAM tengah menggugat PT. KPC bersama lima perusahaan batubara serta pemerintah ke pengadilan informasi publik karena tidak transparan dalam evaluasi pengajuan perpanjangan izin dan kontrak kepada publik. Perpanjangan kontrak dilakukan secara diam-diam tanpa evaluasi terbuka pada publik sama dengan negara dengan sengaja memperpanjang kerusakan alam dan kehidupan rakyat.   

Angin Segar UU Cipta Kerja Untuk Perusahaan Batu Bara

Pada November 2020, pasca pengesahan revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja, pemerintah telah memberikan perpanjangan otomatis tanpa pengawasan dan partisipasi publik kepada PT. Arutmin. Proses ini merupakan bagian dari insentif dalam perundangan itu, yakni perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) hingga 2x10 tahun. Insentif lain adalah tidak adanya kewajiban pengurangan lahan konsesi dan insentif royalti hingga 0% bagi perusahaan yang membangun fasilitas hilirisasi batubara. 

Kini, sejumlah perusahaan raksasa pertambangan batubara berbondong-bondong memanfaatkan insentif kemudahan bisnis dalam dua regulasi ini. 

Selain KPC, perusahaan raksasa yang akan habis masa kontraknya yakni  PT ADARO (ADRO), PT Multi Harapan Utama (MHU), PT Berau Coal (BC), PT Kideco Jaya Agung (KJA) dan PT Kendilo Coal Indonesia. Catatan JATAM Nasional menyebut luas lahan yang dikuasai oleh lima perusahaan ini mencapai 313.667 hektar atau setara dengan 5 kali luas DKI Jakarta.