Di Balik Gelap dan Berlikunya Informasi Pencemaran PT KPUC
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Senin, 20 Desember 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Andri Lalingka merasai ada yang janggal dengan perjalanan sidang sengketa informasi pencemaran PT. Kayan Putra Utama Coal (KPUC) yang dijalaninya ketika melawan Polda Kalimantan Utara pada Rabu pekan lalu (8/12/2021). Majelis Hakim Komisi Informasi Kaltara yang dipimpin Abdul Wahab menganggap Kapolda Kaltara, Irjen Pol Bambang Kristiyono, yang digugatnya dianggap bukan perwakilan Kepolisian Daerah Kaltara. Palu lantas diketok, gugatan gugur.
Keputusan hakim dilakukan tanpa penjelasan perundangan mengenai kedudukan Bambang selaku Polda.
“Tak ada rujukan perundangan atau peraturan apapun yang dipakai oleh hakim untuk menyatakan Kapolda Kaltara bukan perwakilan Polda. Ini yang mengganjal saya,” ucapnya.
Padahal setiap lembaga publik, termasuk Polda Kaltara, harus memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sedangkan di tingkat polda PPID ini dipimpin oleh kapolda, termasuk Polda Kaltara. Maka seharusnya Kapolda Kaltara layak disebut sebagai perwakilan Polda Kaltara.
Kejanggalan ini hanya satu dari berbagai bagian gelap dan berlikunya pengungkapan pencemaran Sungai Malinau oleh limbah PT. KPUC. Tanggul limbah perusahaan itu jebol pada 7 Februari 2021 lalu dan mencemari Sungai Malinau hingga membuat PDAM Apa’ Mening terpaksa menghentikan layanan dari sungai ini.
Tercatat 14 desa sekitar 3 DAS yakni Malinau, Mentarang, dan Sesayap mengalami kerugian langsung yakni pasokan air bersihnya terganggu baik yang menggunakan PDAM maupun yang mengakses langsung ke sungai. Akibatnya demi memenuhi kebutuhan air bersih, dengan sangat terpaksa warga harus menadah air hujan.
Dua hari setelah kebocoran itu Polres Malinau dan Polda Kaltara menyatakan menangani kasus ini dengan menindaklanjuti uji laboratorium forensik. Namun dua bulan berlalu tak ada kabar kelanjutan hingga Andri bersama organisasinya Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengajukan gugatan informasi.
“Gugatan kami ajukan setelah beberapa lembaga, Polda Kaltara dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kaltara maupun Kota Malinau, tak memberikan informasi terang soal pencemaran ini,” ungkapnya.
Namun perjalanan sidang gugatan informasi yang dimulai pada 8 Desember 2021 tak seterang yang diharapkan. Keputusan tanpa dasar hukum majelis hakim mengenai kedudukan Kapolda dalam keterbukaan informasi menjadi kontroversi pertama gugatan ini.
Pada hari selanjutnya sidang gugatan untuk DLH Provinsi Kaltara kontroversi berlanjut. Kali ini bukan soal pertimbangan majelis hakim, melainkan pengakuan dinas itu yang menyebutkan bahwa lembaganya tak memiliki dokumen pencemaran limbah PT. KPUC. Seluruh dokumen penyelidikan dan uji tes kelayakan air berada di tangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Ini yang mengherankan bagi kami, DLH Provinsi Kaltara itu apa gunanya. Pencemaran ini terjadi di wilayahnya tetapi pencemaran segenting ini sampai tidak punya hasil ujinya,” keluh Ketua Divisi Hukum JATAM, Muhammad Jamil.
Sidang hari itu pun berakhir dengan mediasi bersyarat, yakni DLH Provinsi Kaltara memiliki waktu tujuh hari untuk meminta salinan perkembangan penyelidikan dan data hasil uji laboratorium dugaan pencemaran sungai Malinau kepada KLHK.
Pada Jumat 10 Desember 2021, sidang gugatan informasi kepada DLH Kota Malinau. Pihak tergugat tak hadir dan majelis hakim memutuskan untuk melanjutkan persidangan pada pekan depan dengan agenda pembuktian.
Lagi-lagi keputusan ini ganjil. Jamil menyebutkan ketidakhadiran tanpa keterangan ini sudah dilakukan dua kali oleh DLH Kota Malinau. Seharusnya menurut Pasal 30 Peraturan Komisi Informasi No. 1/2013 Tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik (PPSIP) hakim bisa memutuskan perkara gugatan ini jika mereka tak lagi hadir.
“Kalau sudah tiga kali tidak hadir, langsung pada keputusan. Itu cara beracaranya, tak perlu pembuktian lagi. Seharusnya Komisi Informasi Kaltara jangan bikin tata beracara sendiri, itu seenaknya saja,” tegas Jamil.
Catatan Jatam sendiri menunjukkan pencemaran sungai Malinau karena aktivitas tambang di kawasan hulu dan sepanjang DAS Malinau sudah terjadi sejak 2010, 2011, 2012, 2017, dan pada 7 Februari 2021. Pada 2017 Dinas ESDM Provinsi Kaltara menerbitkan surat teguran dan penghentian sementara untuk empat perusahaan tambang batubara di Malinau yakni pada PT.MA, PT.BM, PT.KPUC, dan PT. AMNK. Begitupun dengan peristiwa pada 2021 ini PT. KPUC kembali diberikan surat teguran oleh Bupati Malinau.
Namun teguran semacam ini tak membuat perusahaan kapok. Seharusnya pencemaran yang terus berulang harus direspon dengan evaluasi, penegakan hukum, dan pemulihan lingkungan.
Selain itu, PT KPUC sendiri juga diduga pernah melakukan pemindahan paksa kepada masyarakat adat di tiga desa, yakni Punan Rian, Langap, dan Seturan. Tidak ada kejelasan proses dan penanganan pemindahan yang dilakukan perusahaan tambang ini.
Deretan pelanggaran. lemahnya penegakan hukum, hingga suram dan berlikunya proses meraih informasimembuat Jatam menaruh curiga ada relasi antara pemerintah, aparat dengan korporasi tambang, termasuk KPUC.
Dokumen profil penerima manfaat (beneficial ownership) perusahaan tambang Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM, menunjukkan terdapat sejumlah aktor penerima manfaat di balik PT. KPUC. Nama itu antara lain Soesanto (direktur), Gunawan Santoso (direktur utama), hingga Juanda Lesmana (komisaris utama dan pemegang saham), salah satu orang berpengaruh di Kaltara.
Juanda adalah pemain penting dalam industri perkayuan, perkapalan, dan perhotelan di masa lalu. Ia adalah pemilik Hotel Bumi Kayan, Tarakan Plaza, dan Hotel Bumi Segah di Tanjung Redeb, Berau.
Rekam jejaknya menunjukkan keakraban dengan pejabat daerah, provinsi, hingga pusat. Bisnisnya melebar di bidang pertambangan (PT KPUC), perkebunan (PT Kayan Plantation), hingga perkapalan (PT Kayan Marine Shipyard). Kini grup perusahaannya merajai Kaltara.
Juanda juga dikenal dekat dan mendukung pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltara terpilih pada Pilgub 2020 lalu, yakni pasangan Zainal Paliwang dan Yansen Tipa Padan. Zainal adalah mantan Wakapolda Kalimantan Utara 2008-2020 dan wakilnya, Yansen TP yang merupakan mantan Bupati Malinau,.
Jamil menduga relasi aktor ekonomi dan politik itu diduga kuat berdampak pada hilangnya penegakan hukum yang tegas, seperti kasus jebolnya tanggul di Malinau. Ia khawatir perselingkuhan semacam ini terus meningkat seiring telah disahkannya UU Minerba No 3 Tahun 2020 dan UU Cipta Kerja No 11 tahun 2020.
Hal ini terasa, bahkan ketika masyarakat sipil sekedar memohonkan informasi publik terkait hasil uji kualitas pencemar air yang berasal dari jebolnya tanggul kolam limbah PT.KPUC. Informasi ini justru seret untuk didapat dari berbagai dinas dan badan publik seperti Tim Polda Kaltara, Tim DLH Kab. Malinau dan Tim DLH Provinsi serta KLHK RI.