Indonesia Butuh 3 Triliun Lebih untuk Kendalikan Perubahan Iklim

Penulis : Sandy Indra Pratama

Perubahan Iklim

Minggu, 02 Januari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Indonesia diperkirakan membutuhkan dana hingga Rp 3.461 triliun untuk pengendalian perubahan iklim sampai 2030. Hal ini berdasarkan perhitungan dari Second Biennial Update Report (2nd BUR) 2018, dikutip dari dokumen "Capaian Kinerja 2021 Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh".

Berdasarkan dokumen yang dirilis Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi tersebut, pemerintah memang masih mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendanaan pengendalian perubahan iklim ini.

Pemerintah menyatakan komitmennya untuk mitigasi hingga adaptasi perubahan iklim ini. Pemerintah pun sudah menguncinya dalam rencana jangka panjang hingga 2024.

"Angka ini memang amat besar. Tapi prioritas penanganan pandemi membuat APBN mampu memenuhi 34% kebutuhan. Ke depannya, masih terbuka potensi penambahan," bunyi laporan tersebut, dikutip dari CNBC Indonesia.

Ilustrasi perubahan iklim. (Sandy Indra Pratama| Betahita)

Selama lima tahun terakhir, 88,1% dari total anggaran perubahan iklim Indonesia dibelanjakan dalam bentuk green infrastructure. Fungsinya, menjadi penggerak sekaligus modal utama transformasi ekonomi hijau.

"Pemerintah menerbitkan sukuk hijau sebagai instrumen pembiayaan yang amat kompatibel."

Berdasarkan data tersebut, proporsi APBN untuk pendanaan pengendalian perubahan iklim ini mencapai 86,7%, naik dari 2022 77,7%.

Adapun kumulasi green sukuk selama 2018-2020, berdasarkan data Kementerian Keuangan, tercatat mencapai US$ 3,24 miliar, terdiri dari green sukuk global US$ 2,75 miliar dan green sukuk retail US$ 490,1 juta.

Adanya krisis pandemi juga disebutkan menjadi momentum Indonesia menata ulang bangunan ekonominya secara lebih berkelanjutan, lebih pro lingkungan.

"Potensi kekayaan alam tropis kita sungguh memperkuat komitmen ini. Keluasan hutan tropis dan mangrove Tanah Air, menyegarkan paru-paru dunia, membuka jalan menuju energi terbarukan," bunyi dokumen tersebut.

"Penguatan teknologi hijau serta produk ramah lingkungan otomatis meningkatkan daya saing kita. Semua ini sudah dikunci dalam prioritas nasional keenam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Yakni, peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon."

COP26 Gagal Fasilitasi Pendanaan Perubahan Iklim

Konferensi Tingkat Tinggi untuk Perubahan Iklim atau COP26 di Glasgow, Inggris, gagal membentuk fasilitas pendanaan baru. Dana ini seharusnya ditujukan untuk negara-negara miskin dan berkembang yang rentan dengan pemanasan global.

Namun, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan sejumlah negara kaya menolaknya. Pada pentupan konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tersebut sabtu lalu, para peserta hanya sepakat untuk mendorong isu kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim ke dalam Pakta Iklim Glasgow.

Di dalam pakta itu menyebutkan, “Perubahan Iklim telah dan akan semakin menyebabkan kerugian dan kerusakan, dan bawa, ketika suhu meningkatkan akan menimbulkan ancaman sosial, ekonomi, dan lingkungan semakin besar”.

Guinea, yang mewakili kelompok negara berkembang, mengungkapkan "kekecewaan yang sangat dalam" pada keputusan itu.

Negara-negara kepulauan, seperti Kepulauan Marshall, Fiji, Antigua dan Barbuda, yang khawatir wilayah mereka tergerus oleh kenaikan permukaan air laut juga menyampaikan ketidakpuasan mereka.

Mereka ingin fasilitas pendanaan untuk kerugian dan kerusakan lingkungan harus dibentuk segera. Idealnya adalah saat konferensi iklim di Mesir pada 2022.

Penasihat senior Climate Action Network International Harjeet Singh mengatakan, kegagalan menyediakan dana untuk membantu negara-negara miskin membayar biaya kerusakan alam berarti "kita berjalan dalam inci ketika harusnya bergerak dalam mil”.

Presiden World Resources Institute, lembaga pemikir yang berbasis di AS, Ani Dasgupta menyebut, COP26 akhirnya menempatkan isu sangat penting tentang kerugian dan kerusakan ke atas panggung utama. “Namun, dialog di Glasgow seharusnya bukan sekadar pembicaraan tapi menghasilkan rekomendasi tentang skala pendanaan yang diperlukan,” katanya.

AS dan Australia, khususnya, menghambat kemajuan untuk membentuk pendanaan baru bagi kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim. Kedua negara telah lama menolak wacana negara-negara industri dengan riwayat emisi karbon yang tinggi harus membayar kompensasi kepada negara-negara lain atas kerusakan yang mereka timbulkan.

Utusan iklim AS John Kerry mengatakan pihaknya memahami semakin banyak sumber daya yang diperlukan untuk membantu masyarakat di wilayah rentan. Tapi langkah awal perlu diambil untuk mencari tahu bagaimana dana itu diberikan dengan baik.