Penyebab Banyak Izin Sawit Dicabut di Papua Barat
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Analisis
Kamis, 06 Januari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Tahun lalu setidaknya ada 12 perusahaan perkebunan sawit di Provinsi Papua Barat yang dicabut izinnya karena bermasalah. Selain itu ada 4 perusahaan lain lagi yang masuk dalam daftar akan dicabut.
Permasalahan yang dikandung perusahaan-perusahaan itu terbilang berat sehingga dianggap tak lagi dapat dimaklumi. Mulai dari pelanggaran legalitas atau administrasi perizinan yang mencakup pelanggaran kewajiban dalam izin usaha perkebunan (IUP), tidak memiliki izin pemanfaatan kayu (IPK), tidak melakukan pelaporan perubahan kepemilikan saham dan kepengurusan, dan belum memperoleh Hak Guna Usaha (HGU).
Kemudian pelanggaran operasional, di antaranya belum menyelesaikan pembangunan kebun inti, belum menyelesaikan pembangunan kebun plasma, melakukan penanaman di lahan gambut, melakukan penanaman di Kawasan Hutan, dan melakukan penanaman lebih luas dari IUP dan tanpa memiliki HGU.
Selain itu banyak perusahaan telah memperoleh hak atas tanah dalam bentuk HGU tetapi tidak melakukan aktivitas pemanfaatan di atas tanah yang sudah diperoleh HGU tersebut. Penelantaran tanah yang sudah memiliki hak ini berpotensi untuk dikategorikan ke dalam kategori 'Tanah Terlantar'.
Dari 12 perusahaan yang izinnya sudah dicabut itu, beberapa di antaranya melawan. Pada 2 Agustus 2021 lalu, PT Inti Kebun Lestari (IKL), PT Papua Lestari Abadi (PLA) dan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) menggugat Bupati Sorong ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.
Hasilnya, pada 7 Desember 2021 lalu, Majelis Hakim PTUN Jayapura menolak gugatan yang diajukan PT PLA dan PT SAS. Tak puas, dua perusahaan itu kemudian mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar.
Sedangkan gugatan PT IKL, saat ini proses persidangannya di PTUN Jayapura masih belum selesai. Sidang gugatan PT IKL berikutnya menurut jadwal akan digelar pada 17 Januari 2022 nanti.
Terbaru PT Anugerah Sakti Internusa (ASI) dan PT Persada Utama Agromulia (PUA) juga mengajukan gugatan ke PTUN Jayapura. Yang digugat oleh dua anak usaha Grup Indonusa Agromulia itu adalah Bupati Sorong Selatan. Dua perusahaan bermasalah ini mempermasalahkan perizinan perkebunan sawitnya yang dicabut oleh Bupati Sorong Selatan pada 2021 lalu.
Padahal pencabutan izin perkebunan sawit oleh para bupati di sejumlah kabupaten di Papua Barat ini bukan tanpa sebab. Sebelum melakukan pencabutan izin, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah, bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan serangkaian kegiatan evaluasi perizinan usaha perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua Barat, berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Papua Barat Nomor 71/520/TPHBUN-PB/2019.
Kegiatan evaluasi ini dilakukan berdasarkan amanat Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Evaluasi perizinan ini juga sejalan dengan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-PSDA) yang merupakan inisiatif dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK-RI) dan Deklarasi Manokwari yang ditandatangani oleh Gubernur Papua dan Papua Barat yang pada intinya berisi komitmen pemerintah untuk mempertahankan Kawasan hutan serta melakukan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya.
Berdasarkan dokumen Laporan Hasil Evaluasi Perizinan Perkebunan Kepala Sawit Provinsi Papua, evaluasi tersebut dilakukan kepada 24 perusahaan sawit, dengan total luas areal yang dievaluasi seluas 611.440,84 hektare. Dari evaluasi itu, didapati ada 6 perusahaan yang menyatakan tidak akan meneruskan proses perolehan izin perkebunan perusahaan mereka. 6 perusahaan itu yakni, PT Internusa Jaya Sejahtera (Sorong Selatan), PT Permata Putera Mandiri (Sorong Selatan), PT Pusaka Agro Makmur (Maybrat), PT Rimbun Sawit Papua (Fak Fak), PT Anugerah Papua Investindo Utama (Manokwari Selatan) dan PT Bintuni Sawit Makmur (Teluk Bintuni).
Dari keseluruhan perusahaan yang dievaluasi, sebagian besar perusahaan tersebut belum beroperasi, dalam arti bahwa perizinan yang mereka peroleh masih belum lengkap dan belum melakukan penanaman. Dari sejumlah perusahaan tersebut, terdapat wilayah-wilayah konsesi yang secara legal berpotensi untuk dicabut perizinannya karena melakukan pelanggaran kewajiban berdasarkan perizinan yang diperoleh--khususnya izin usaha perkebunan (IUP)--dan belum melakukan pembukaan lahan dan
penanaman sama sekali.
Perusahaan-perusahaan itu termasuk perusahaan yang menyatakan tidak akan melanjutkan kegiatan, yakni PT Inti Kebun Lestari, PT Cipta Papua
Plantation, PT Papua Lestari Abadi, PT Sorong Agro Sawitindo, PT Anugerah Sakti Internusa, PT Persada Utama Agromulia, PT Varia Mitra Andalan, PT Mitra Sylva Lestari, PT HCW Papua Plantation dan PT Menara Wasior. Bila ditotal, luas areal 10 perusahaan ini mencapai 224.044,86 hektare. Dari luasan tersebut terdapat kurang lebih 162.940,81 hektare wilayah yang masih bertutupan hutan.
Selain 10 perusahaan itu, ada pula pula 11 perusahaan yang sudah memiliki Hak Guna Usaha (HGU) namun melakukan pelanggaran administrasi dan operasionalnya, serta berpotensi membuat tanah menjadi terlantar. Perusahaan-perusahaan bermasalah ini adalah PT Henrison Inti Persada (Sorong), PT Inti Kebun Sawit (Sorong), PT Inti Kebun Sejahtera (Sorong), PT Permata Putera Mandiri (Sorong Selatan), Putera Manungal Perkasa (Sorong Selatan), PT Permata Sawit Mas eks Nusantara II Kebun Prafi dan eks PT Yongjing Investindo (Manokwari), PT Medco Papua Hijau Selaras (Manokwari), PT Varita Majutama (Teluk Bintuni), PT Subur Karunia Raya (Teluk Bintuni), PT Pusaka Agro Makmur (Maybrat) dan PT Rimbun Sawit Papua (Fak-Fak).
Kandungan Masalah yang Sebabkan Izin PT ASI dan PT PUA di Sorong Selatan Dicabut
Sama halnya seperti perusahaan-perusahaan sawit lainnya yang izinnya dicabut. Pencabutan izin perkebunan sawit PT ASI dan PT PUA oleh Bupati Sorong Selatan itu juga dikarenakan adanya pelanggaran dan permasalahan berat yang mereka buat sendiri.
Berdasarkan hasil evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan pemerintah provinsi, pemerintah daerah dan KPK, PT ASI diketahui belum memiliki IPK, HGU dan Izin Lingkungan. Dalam hal operasional perusahaan, belum ada kegiatan dan penanaman sama sekali.
Tim Evaluasi mencatat sedikitnya ada 5 poin temuan masalah yang ada pada PT ASI. Pertama, dokumen IUP tidak diserahkan oleh pihak perusahaan, namun terdapat nomor IUP dan Surat Keputusan (SK) Pelepasan Kawasan Hutan. Berdasarkan tahun terbit IUP, maka perusahaan tidak memenuhi kewajiban di dalam IUP, seperti tidak memiliki SDM, sarana, prasarana dan sistem pembukaan lahan tanpa bakar serta pengendalian kebakaran, tidak memiliki SDM, sarana, prasarana dan sistem organisme pengganggu tanaman (OPT), tidak menyampaikan peta digital lokasi IUP, tidak melakukan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat paling lambat 3 tahun, tidak melakukan kemitraan, dan tidak melaporkan perkembangan berkala 6 bulan.
Atas pelanggaran ini direkomendasikan agar dilakukan pencabutan IUP berdasarkan ketentuan di dalam IUP No. 525/82/BSS/2014 yang menyatakan bahwa dalam hal perusahaan tidak memenuhi kewajiban di dalam IUP, maka IUP dicabut.
Temuan kedua, IUP PT ASI terbit tanpa memiliki izin lingkungan. Dalam hal ini pemerintah daerah direkomendasikan untuk melakukan pembatalan IUP, dan menghukum PT ASI dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.
Temuan ketiga, persetujuan prinsip ternyata sudah kedaluwarsa paling lama 2016. Direkomendasikan untuk melakukan konfirmasi pembatalan surat persetujuan prinsip. Temuan keempat, SK Pelepasan Kawasan Hutan memiliki kejanggalan, rujukan SK IUP sama nomor dan tanggalnya dengan SK IUP PT Persada Utama Agromulia (PUA). Direkomendasikan untuk melakukan klarifikasi resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Yang kelima, SK Perpanjangan Izin Lokasi tahun 2020 memiliki beberapa kejanggalan, di antaranya perpanjangan tetapi izin lokasi lama sudah tidak berlaku sejak 2016, apabila merujuk pada istilah perpanjangan, maka perpanjangan hanya bisa dilakukan apabila perolehan tanah sudah mencapai 50 persen, sementara temuan menunjukkan belum ada perolehan tanah sama sekali, Surat Bupati tentang Persetujuan Arahan Lahan Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit sama dengan surat untuk PT Persada Utama Agromulia dan berbagai kejanggalan lainnya.
Permasalahan dan pelanggaran yang dilakukan PT ASI, ternyata juga ditemukan di PT PUA. Saudara kandung PT ASI itu juga belum memiliki IPK, HGU, Izin Lingkungan dan belum melakukan kegiatan dan penanaman sama sekali.
Temuan-temuan yang diperoleh Tim Evaluasi di PT PUA juga kurang lebih sama dengan temuan-temuan yang didapatkan di PT ASI. Mulai dari tidak terpenuhinya kewajiban IUP, IUP yang terbit tanpa adanya izin lingkungan, adanya kejanggalan dalam SK Izin Lokasi, kejanggalan pada SK Pelepasan Kawasan Hutan dan kedaluwarsanya persetujuan prinsip pelepasan Kawasan Hutan paling lama 2 tahun dari 2014.
Dari evaluasi yang dilakukan di PT ASI maupun PT PUA, Tim Evaluasi menemukan bahwa dua perusahaan ini beberapa kali menggunakan dokumen-dokumen yang sama, untuk pemenuhan syarat pengurusan beberapa legalitas atau administrasi perizinan perkebunan sawitnya. Seperti Surat Kepala BPKH tentang Telaah Teknis Fungsi Kawasan Hutan, Surat Kepala Dishut tentang Rekomendasi Peruntukan Kawasan Hutan, Surat Kepala Dinas Pertanian tentang Rekomendasi Teknis Usaha Perkebunan, Surat Bupati tentang Persetujuan Arahan Lahan Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan SK IUP untuk rujukan SK Pelepasan Kawasan Hutan juga sama nomor dan tanggalnya.
Penolakan Perkebunan Sawit oleh Masyarakat juga Jadi Alasan Pencabutan Izin Sawit
Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Frangky Samperante mengungkapkan, dalam Laporan Hasil Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit di Papua Barat, ada tiga kategori pelanggaran dan rekomendasi tindak lanjut yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, untuk pelanggaran berat direkomendasikan untuk dilakukan pencabutan izin. Kedua, sanksi administratif dengan melakukan terhadap luas areal izin yang telah diberikan, dan yang ketiga, pemberian sanksi dengan memperkuat apa yang sudah diatur dan disyaratkan perizinan.
Menurut Frangky, pemerintah daerah seharusnya sudah memahami risiko yang akan dihadapi dalam penerapan sanksi-sanksi itu, terutama risiko melakukan pencabutan izin. Dengan demikian pemerintah daerah tahu bagaimana menghadapi risiko itu.
Namun yang utama dalam hal pemberian sanksi kepada perusahaan nakal adalah, bukanlah semata soal mempertimbangkan apa yang sudah diatur oleh pemerintah dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun harus mempertimbangkan dampak jika izin dibiarkan terus bermasalah dan tidak mendengarkan apa yang diinginkan atau disuarakan oleh masyarakat.
"Jadi suara masyarakat juga harus dipertimbangkan. Itu yang penting Kalau proses di pengadilan, yang penting sejauh apa kita mampu membuktikan kebenaran dan kebijakan yang benar-benar adil. Adil artinya tidak hanya pertimbangkan kepentingan kelompok tertentu. Tapi adil itu mempertimbangkan kepentingan banyak orang dan lingkungan," kata Frangky.
Belajar dari gugatan yang dilakukan PT SAS, PT IKL dan PT PLA di PTUN Jayapura terhadap Bupati Sorong, lanjut Frangky, isi gugatan satu perusahaan dengan perusahaan lainnya sebenarnya hampir mirip. Tiga perusahaan itu dalam gugatannya merasa pencabutan izin usahanya dilakukan secara tiba-tiba dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, yang mana pemberian sanksi dilakukan secara bertahap.
Tiga perusahaan itu juga berpendapat bahwa pencabutan izin yang dilakukan oleh Bupati Sorong bertentangan dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Yang mana Omnibus Law itu mewajibkan kepada perusahaan untuk menyelesaikan urusan penguasaan tanah sebelum melakukan usaha perkebunan.
"Yang ketiga, mereka merasa apa yang dilakukan pemerintah itu bertentangan dengan ketentuan pemerintahan yang baik. Saya menduga kasus di Sorong Selatan ini juga akan mirip-mirip seperti itu isi gugatannya mereka terhadap Bupati Sorong Selatan."
Dalam temuan Tim Evaluasi, ada dua bentuk pelanggaran yang umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan sawit di Papua Barat. Yang pertama pelanggaran administratif dan pelanggaran operasional. Semua pelanggaran itu diukur dengan peraturan yang ada dan menjadi azas legal dilakukannya pencabutan izin.
Namun, pada 2020 lalu di Sorong Selatan, saat salah satu perusahaan sawit melakukan sosialisasi dan diduga sedang proses perpanjangan izin lokasi baru, ratusan masyarakat adat di Distrik Konda dan Distrik Teminabuan beramai-ramai menyatakan menolak kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit. Penolakan dari masyarakat adat ini sebenarnya juga salah satu dasar dan alasan pencabutan izin perkebunan sawit bermasalah di Papua Barat.
"Jadi meskipun Tim Evaluasi Perizinan tidak memasukkan bagaimana situasi sosial sebagai dasar untuk pencabutan izin. Tapi secara faktual sebenarnya sejak September 2020 di Sorong Selatan itu mereka melakukan aksi-aksi penolakan, terakhir Mei tahun 2021, yang kemudian
diketahui bahwa pemerintah akan dan telah mencabut izin-izin dari 4 perkebunan sawit di situ."
"Bahkan di saat itu juga Pemda menyampaikan dalam aksi itu, akan mengoreksi izin dua perusahaan sawit lainnya yang ada di sana. Artinya di saat itu Pemda juga mulai melirik atau mendengar apa yang disampaikan masyarakat," imbuh Frangky.
Frangky memandang, munculnya gugatan-gugatan dari perusahaan sawit kepada kepala daerah yang melakukan pencabutan izin perkebunan sawit di Papua Barat ini bisa jadi disebabkan oleh kebijakan nasional berupa Undang-Undang Cipta Kerja. Yang mana undang-undang sapu jagat itu memberi peluang kepada perusahaan untuk memperbaiki berbagai urusan administrasi yang bermasalah, agar dapat kembali mengusahakan dan mengembangkan perkembangan sawitnya.
Namun perlawanan hukum yang dilakukan perusahaan-perusahaan sawit yang dicabut izinnya itu justru menunjukkan ketidakpedulian para pemilik modal terhadap apa yang disuarakan masyarakat. Bahkan menurut Frangky, perusahaan-perusahaan keras kepala itu dapat dikatakan tidak menghormati hak-hak masyarakat yang telah menyatakan penolakan.
"Perusahaan juga tidak mempertimbangkan risiko-risiko sosial, ekonomi dan lingkungan yang disampaikan masyarakat. Jadi lebih banyak mempertimbangkan kepentingan bisnisnya sendiri," tutup Frangky.