Tim Advokasi Hak Udara Bersih Daftarkan Kontra Memori Banding

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Selasa, 18 Januari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Tim Advokasi Hak Udara Bersih mendaftarkan kontra memori banding atas upaya hukum yang dilakukan pemerintah. Mereka menganggap upaya hukum pemerintah atas gugatan udara bersih adalah upaya mengulur waktu dan menunjukkan keberpihakan kepada industri. 

Kontra memori banding ini didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin lalu (17/2/2022). Pendaftaran ini merupakan jawaban atas banding yang diajukan oleh Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, serta Gubernur DKI Jakarta dalam gugatan Hak atas udara bersih Jakarta. 

Pada September 2021 lalu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan mereka melakukan perbuatan hukum berkaitan dengan penanganan polusi udara Jakarta. 

Tim Advokasi yang mendampingi 32 warga negara penggugat atas Pencemaran Udara di Jakarta, Jeanny Sirait, mengatakan kontra memori banding tersebut merupakan kontra argumentasi yang disampaikan para pihak tergugat dalam memori banding yang sudah mereka ajukan pada Oktober 2021. 

Kabut polusi membayangi gedung-gedung di Jakarta, yang sebagian besar berasal dari gas emisi buang kendaraan bermotor dan pembangkit listrik di sekitar ibu kota. Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace

“Tim advokasi dan para penggugat berharap Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dapat menguatkan pertimbangan hukum majelis hakim tingkat pertama dan kembali memenangkan warga dalam mendapatkan hak atas udara bersih. Sehingga putusan memiliki perspektif publik, diarahkan pada pemenuhan hak atas kesehatan bagi warga DKI Jakarta, dan didasarkan pada fakta-fakta yang nyata pada proses persidangan di tingkat pertama,” ucapnya.

Ia menyebutkan upaya banding yang diajukan pemerintah membuat warga yang terlibat dalam gugatan merasa kecewa. Pemerintah justru memilih memperpanjang proses hukum daripada memenuhi hak warga menghirup udara bersih. 

“Instead, keras-kerasan kepala. Kenapa tidak memilih mengambil langkah perbaikan demi kepentingan warga?” keluhnya. 

Salah satu penggugat, Khalisah Khalid, menilai pengajuan banding yang dilakukan para tergugat hanya membuang waktu. Sejak awal ia berharap para tergugat tidak mengajukan banding. Karena, kata dia, itu sama artinya tergugat bermain-main dengan waktu, di tengah setiap detik waktu yang berjalan sangat berarti bagi warga, khususnya kelompok rentan seperti anak-anak yang terus menerus menghirup udara kotor.

“Seharusnya mereka para pejabat negara tidak menunda kewajibannya sebagai pengurus negara untuk menangani polusi udara dan menyehatkan generasi masa depan bangsa ini," kata Khalisah. 

Penggugat lainnya, Leonard Simanjuntak, menilai upaya banding ini membuktikan pemerintah pusat tidak serius dalam menjaga kesehatan rakyatnya. Polusi udara adalah persoalan kesehatan publik yang serius.

Pada sidang putusan 16 September 2021 hakim PN Jakarta Pusat menghukum para tergugat untuk juga menghukum tergugat I (Presiden) untuk mengetatkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Sedangkan Tergugat II (Menteri LHK) untuk melakukan supervisi terhadap Gubernur DKI, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat dalam melakukan pengetatan emisi lintas batas provinsi DKI, Banten dan Jawa Barat. Selain itu Tergugat III (Mendagri) untuk melakukan pengawasan dan pembinaan kinerja Tergugat V dalam pengendalian pencemaran udara. 

Adapun putusan hukum untuk Tergugat IV (Menkes) adalah melakukan penghitungan penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di Provinsi DKI yang perlu dicapai sebagai dasar pertimbangan Tergugat V (Gubernur DKI Jakarta) dalam penyusunan strategi rencana aksi pengendalian pencemaran udara. 

Hingga saat ini, standar baku mutu udara ambien (BMUA) di Indonesia tercatat 55 mikrogram per kubik untuk harian dan 15 mikrogram per kubik untuk tahunan. Angka ini tiga kali lebih rendah dari standar WHO yang berpedoman pada maksimal 15 mikrogram per kubik untuk harian dan 5 mikrogram per kubik untuk tahunan. 

Kompilasi data PM 2.5 (partikel halus) tahunan dari AirNow di Jakarta Selatan adalah 36 ug/m3, sementara Jakarta Pusat adalah 34 ug/m3 yang artinya sudah melebihi 2 kali lipat BMUA Nasional.