Pastikan Tak Ada Kriminalisasi pada Pembela Hak Masyarakat Adat
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Jumat, 21 Januari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Amnesty International urun bicara tentang penahanan Kepala Desa Kinipan, Willem Hengky. Amnesty International meminta agar tidak ada kriminalisasi terhadap pembela hak masyarakat adat.
“Kami mendesak aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa penahanan terhadap Kepala Desa Kinipan Wilem Hengki telah sesuai aturan hukum. Jika tidak ada bukti kuat untuk menahannya maka dia harus dibebaskan,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, dalam pernyataan tertulisnya, Senin (17/1/2022).
Menurut Usman Hamid, tanpa menunjukkan dapat menunjukkan bukti yang kuat, penahanan terhadap Willem Hengky itu bisa saja merupakan sebuah upaya kriminalisasi terhadap pembela hak masayarakat adat. Willem dikenal vokal mempertahankan wilayah adat Kinipan dari ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Sebelumnya, beberapa warga adat Kinipan lainnya, termasuk Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Effendi Buhing, telah dikriminalisasi dengan berbagai tuduhan setelah mereka aktif menyuarakan hak-hak masyarakat adat.
“Kami juga mendesak Pemerintah untuk secara aktif mengambil langkah-langkah nyata untuk melindungi masyarakat adat dari segala bentuk perampasan hak-hak mereka.”
Latar belakang
Pada 14 Januari 2022, Kepala Desa Kinipan, Wilem Hengki, ditahan di Polres Lamandau. Pada 17 Januari kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Lamandau.
Sebelumnya, pada 11 Agustus 2021 lalu, Kades Kinipan telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi terkait pembayaran atas pembangunan jalan di Desa Kinipan yang terjadi pada 2019.
Menurut catatan Amnesty International, sepanjang 2021 ada setidaknya 29 orang pembela hak masyarakat adat yang menjadi korban serangan, baik berupa penangkapan, kekerasan fisik, hingga intimidasi.
Hak-hak masyarakat adat sudah diakui dalam hukum HAM internasional maupun hukum nasional. Hak-hak masyarakat adat, terutama untuk untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menganut dan mengamalkan agama mereka sendiri, atau untuk menggunakan bahasa mereka sendiridiatur dalam Pasal 27 Kovenan Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Ketentuan ini didukung oleh Komentar Umum Komite Hak Asasi Manusia No. 23 Tahun 1994 yang menyatakan bahwa perlindungan budaya di bawah Pasal 27 ICCPR juga mencakup perlindungan tanah masyarakat adat dan penguasaan sumber daya. Hak masyarakat adat juga dijamin dalam Rekomendasi Umum Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial No. XXIII (51) tentang Masyarakat Adat.