Pendanaan terhadap Perusahaan yang Izinnya Dicabut Harus Disetop

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Lingkungan

Senin, 24 Januari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menerbitkan dokumen Taksonomi Hijau sebagai upaya mempercepat program pembiayaan dengan prinsip berkelanjutan di sektor jasa keuangan. Langkah ini mendapatkan apresiasi dari organisasi masyarakat sipil yang melihat hal ini sebagai langkah positif Pemerintah Indonesia, sejalan dengan keputusan Presiden Jokowi mencabut lebih dari 2 ribu izin untuk perkebunan, kehutanan dan pertambangan di seluruh nusantara pada 5 Januari 2022 lalu untuk menangani ilegalitas di sektor Sumber Daya Alam (SDA).

Taksonomi Hijau sendiri merupakan dokumen hidup berisi panduan dalam pengembangan produk dan jasa keuangan berkelanjutan yang inovatif, selain itu dokumen ini juga memuat klasifikasi sektor berdasarkan kegiatan usaha yang mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia.

Masyarakat sipil menuntut lembaga jasa keuangan untuk berhenti mendanai perusahaan sawit dan kehutanan yang dicabut izinnya. Tak henti di situ, pemerintah juga diminta untuk lebih transparan dan akuntabel dalam proses evaluasi dan pencabutan perizinan pemanfaatan sumber daya alam.

Direktur Eksekutif TuK Indonesia, Edi Sutrisno mengatakan, masih ada tantangan yang dihadapi dalam implementasi Taksonomi Hijau yang baru saja diterbitkan OJK. Tantangan dimaksud, pemahaman para pihak tentang Taksonomi Hijau dan keuangan berkelanjutan yang masih kurang, arah pembangunan masih banyak mengandalkan bisnis ekstraktif sumber daya alam, dan sinergitas antar kementerian/lembaga berkenaan dengan keterbukaan informasi dan koordinasi.

Tampak dari ketinggian pembukaan lahan dilakukan untuk perkebunan sawit oleh PT Tunas Sawa Erma di Boven Digoel, Papua./Foto: Greenpeace/Ulet Ifansasti

"Maka perlu pengawasan, koordinasi dan perencanaan strategis," Edi dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Kamis (20/1/2022).

Edi melanjutkan, pencabutan izin-izin kehutanan, sawit dan pertambangan ini menunjukkan risiko material bagi bank-bank yang terpapar pada sektor-sektor yang berisiko terhadap hutan seperti kelapa sawit dan kayu, di mana ilegalitas dan ketidakpatuhan begitu merajalela.

"Tanpa uji tuntas yang lebih tinggi dan perlindungan lingkungan, sosial dan tata kelola yang kuat, kemungkinan besar bank akan terus menempatkan pendanaanya pada sektor berisiko. Penerapan Taksonomi Hijau OJK ini bisa langsung diuji pada perusahaan yang dicabut izinnya ini," kata Edi.

Edi menguraikan, berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) Nomor: SK.01.MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan, ada 192 izin konsesi kawasan hutan yang dicabut pada 5 Januari 2022 lalu. 192 izin itu mencakup lahan seluas 3.126.439,36 hektare.

Pencabutan izin ini terluas terjadi di Provinsi Papua, Papua Barat dan Kalimantan Tengah. Sebagian besar izin yang dicabut itu adalah Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, dengan jumlah 126 izin.

Berdasarkan penelusuran TuK Indonesia, 46 persen dari luas izin yang dicabut, atau sekitar 1.438.162,10 hektare, terindikasi terafiliasi dengan 41 grup perusahaan. 10 di antaranya, Menara Group/Pacific Interlink, Mitra Jaya, DSN Group, Musim Mas, Salim Group, Austindo Nusantara Jaya, Tadmax Sdn Bhd, Korindo, RGE Group dan Sime Darby.

Penelusuran yang dilakukan melalui forest and finance forestsandfinance.org menunjukkan, sepanjang 2017-2021, terdapat USD26,62 milyar utang dan penjaminan yang telah dikucurkan kepada perusahaan-perusahaan yang izinnya dicabut pada 5 Januari 2022 lalu. BCA, BRI, Bank Mandiri dan Bank Sinar Mas tercatat menjadi pihak penyandang data terbesar dengan menyediakan USD8,09 miliar atau 30 persen dari total kredit. Selain bank kreditur dalam negeri, ada pula sejumlah lembaga jasa keuangan luar negeri yang tercatat menjadi kreditur untuk perusahaan-perusahaan yang izinnya dicabut 5 Januari 2022 lalu.

Selain dalam bentuk utang dan penjamnian, ada pula dana yang dikucurkan oleh investor kepada perusahaan-perusahaan yang izinnya dicabut itu. Bila ditotal, jumlahnya sekitar USD1,25 miliar telah dikucurkan oleh investor (obligasi dan shareholders).

Dari daftar perusahaan yang telah dicabut izinnya, ada tiga anak perusahaan Korindo yang akan kehilangan area izin yang cukup besar, lebih dari 65.000 hektare. Tiga anak persuahaan Korindo yang dicabut itu yakni, Papua Agro Lestari (PLA) seluas 32.348 hektare, PT Tunas Sawa Erma (TSE) 19.001 hektare dan PT Berkat Cipta Abadi
II (BCA) 14.435 hektare.

Ini adalah area yang sebagian besar belum dikembangkan oleh perusahaan untuk perkebunan sawit dan memiliki area hutan hujan primer yang luas. Area izin yang dicabut setara dengan lebih dari 40 persen dari total area konsesi Korindo, dan hampir pasti akan berdampak pada nilai aset grup. Namun, Bank Negara Indonesia (BNI) secara konsisten tetap melaporkan Korindo sebagai 10 klien teratas mereka untuk pertanian, dan memberikan pinjaman terutang sebesar USD191 juta pada 2018 lalu.

"BNI seharusnya sangat memperhatikan bagaimana pembiayaan mereka terpapar pada perusahaan berisiko tinggi, sekarang dengan substansial aset terlantar, apapun keputusan negara, Lembaga Jasa Keuangan harus merespon ini," imbuh Edi.

Meski begitu, motivasi di balik pencabutan ribuan izin ini masih belum jelas dan tidak diketahui apakah langkah pencabutan ini akan membantu memulihkan hak atas tanah dan mengakhiri deforestasi, atau apakah tanah akan dialihkan ke perusahaan lain hingga melanggengkan perampasan lahan dan konflik dengan masyarakat dan menjadi pemicu deforestasi.

Dari sisi proses evaluasi, pencabutan izin HGU ini terlihat sangat tertutup dan tidak terkoordinasi hal ini mengindikasikan proses yang tidak transparan dan akuntabel. Pemerintah cenderung terlihat memilih perusahaan mana yang harus dicabut karena sampai saat ini kita tidak melihat proses penilaian terhadap perusahaan yang masuk dalam kategori dievaluasi dan apa indikator perusahaan yang harus dicabut.

Bukan hanya itu, tidak dilibatkannya masyarakat sipil dalam proses evaluasi ini menjadi salah satu fakta lemahnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses ini. Padahal sejak lama desakan dari masyarakat sipil untuk melakukan evaluasi dan pencabutan izin perusahaan yang bermasalah disuarakan. Bahkan berbagai laporan telah disampaikan kepada pemerintah terkait aktivitas beberapa perusahaan di lapangan, hal ini dilakukan sebagai bagian dari partisipasi perbaikan tata kelola sektor sumber daya alam.

“Kami mempertanyakan kenapa masih ada perusahaan bermasalah yang seharusnya dicabut tapi tidak dicabut," ungkap Abdul Haris, pengamat keberlanjutan Indonesia Timur.

Haris memberi gambaran perkebunan sawit di Sulawesi Tengah. Berdasarkan laporan rekapitulasi 2021, luas perkebunan swasta skala di provinsi itu jumlahnya sekitar 608.987 hektare, dengan total izin sebanyak 52 perusahaan perkebunan skala besar, 49 izin di antaranya merupakan perkebunan sawit. 52 izin itu tersebar di delapan kabupaten.

Izin-izin ini dimiliki oleh grup-grup besar seperti Astra Agro Lestari, SMART, Kencana Agri, BW Plantation, Cipta Cakra Murdaya, Sime Darby Plantation, Kurnia Luwuk Sejati dan sisanya adalah perusahaan yang tidak teridentifikasi.

Dari 49 izin areal perusahaan perkebunan sawit itu, hanya 12 izin saja yang memiliki realisasi luas tanaman. Sisanya tidak memiliki laporan realisasi, baik tanaman inti maupun tanaman plasma. Perusahaan-perusahaan ini terindikasi berafiliasi dengan grup besar di Indonesia maupun dari luar Indonesia. Bahkan tujuh perusahaan di antaranya telah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU).

Pengamat keberlanjutan yang berfokus pada pemanfaatan lahan di Sumatera, terutama wilayah Jambi, Rudiansyah menambahkan, apa yang akan terjadi pada lahan dan hutan di dalam areal kawasan izin yang dicabut, dan bagaimana risiko pencabutan ini terhadap pemulihan lingkungan dan sosial masih menjadi pertanyaan. Menurut Rudi, perusahaan seharusnya tetap bertanggung jawab untuk merehabilitasi lahan, sumber pangan serta hutan yang sudah rusak.

"Kami juga menyerukan kepada pemerintah untuk mengembalikan
hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hutan adat yang dilanggar melalui penerbitan izin dan mendesak kepada pemerintah untuk terbuka dan membuka ruang kepada publik untuk terlibat dalam perencanaan tata kelola atas izin yang dicabut tersebut," ujar Rudiansyah.