Sejumlah Komunitas Adat Tano Batak Terima SK Hutan Adat
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Senin, 07 Februari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Enam komunitas masyarakat hukum adat yang berada di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba di Sumatera Utara (Sumut) menerima Surat Keputusan (SK) Penetapan Hutan Adat dan SK Indikatif Hutan Adat dari Presiden Joko Widido (Jokowi). Luas hutan adat dan indikatif hutan adat yang diberikan SK-nya tersebut mencakup luas sekitar 6.884 hektare.
SK Penetapan Hutan Adat itu diberikan kepada komunitas masyarakat adat Onan Harbangan Nagasaribu seluas 1.586 hektare di Kabupaten Tapanuli Utara, komunitas masyarakat adat Bius Hutaginjang Siopat Marga di Kabupaten seluas 340 hektare di Kabupaten Tapanuli Utara, dan komunitas masyarakat adat Tornauli Aek Godang Adiankoting seluas 340 hektare di Kabupaten Humbang Hasundutan.
Kemudian, komunitas adat yang menerima SK Indikatif Hutan Adat yakni komunitas ada Janji Maria seluas 118 hektare di Kabupaten Tapanuli Utara dan komunitas adat Smenak Henak seluas 200 hektare di Kabupaten Toba. Selain itu diserahkan pula satu revisi SK Penetapan Hutan Adat bagi komunitas adat Pandumaan Siputuhuta seluas 4.300 hektare di Kabupaten Humbang Hasundutan.
Meski demikian, penyerahan 6 SK Penetapan Hutan Adat dan Indikatif Hutan Adat ini bukan berarti menuntaskan permasalahan tenurial masyarakat adat di Tano Batak. Karena masih banyak komunitas adat yang masih berjuang mendapatkan kembali hak ulayat atas hutan adatnya.
"Penyerahan 6 SK hutan adat ini belum menjawab persoalan terkait tuntutan masyarakat untuk tutup TPL (Toba Pulp Lestari). Tapi paling tidak pemberian SK terhadap 6 komunitas masyarkat adat ini membuktikan peluang masyarakat adat untuk dikembalikan hutan adatnya sangat terbuka," kata Rocky Pasaribu, Koordinator Studi dan Advokasi dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Kamis (3/2/2022).
Rocky menganggap, penyerahan SK hutan adat dalam bentuk PPS HKm ini menjadi strategi bagi masyarakat adat dalam perjuangan menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang dianggap banyak menimbulkan konflik tenurial di Tano Batak. Ia berpendapat, semakin banyak berkurang konsesi PT TPL maka semakin besar kemungkinan bahwa PT TPL ditutup.
"Tapi walaupun demikian tuntutan kita untuk tutup TPL masih akan terus berlanjut, dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi pihaknya juga memberikan catatan berisi alasan mengapa masyarakat adat Tano Batak menginginkan PT TPL ditutup."
Untuk wilayah adat yang sudah diverifikasi namun belum diberikan SK hutan adatnya, kita meminta komitmen KLHK agar memberikan alternatif lain seperti memberikan SK pencadangan hutan adat. Sebagai langkah awal sebelum diberikan SK Penetapan Hutan Adat. Untuk saat ini pemberian SK Pencadangan Hutan Adat ini sangat relevan diberikan, karena dapat mengurangi konflik masyarakat adat dengan PT TPL.
"Dan itu sangat terbuka, karena SK Pencadangan ini pernah diberikan oleh Presiden dengan Togu Simorangkir, waktu itu Bapak Presiden memberikan 5 SK Pencadangan. Jadi kami sangat berharap ada kebijakan dari negara dari KLHK memberikan SK Pencadangan terhadap wilayah-wilayah adat yang belum ditetapkan."
Usulan itu, lanjut Rocky, telah pihaknya sampaikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya saat acara penyerahan SK Hutan Adat yang dilaksanakan di Desa Simangulampe, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, pada Kamis (3/2/2022) kemarin. Meskipun, saat itu Menteri Siti tidak secara tegas mengamini usulan tersebut, namun Menteri Siti mengatakan akan berkomitmen untuk menindaklanjuti usulan-usulan penetapan hutan adat yang diperjuangkan masyarakat adat Tano batak.
Direktur Eksekutif KSPPM, Delima Silalahi menambahkan, akar konflik tenurial yang ada di Tano Batak adalah politik teritorialisasi kontrol Negara di wilayah Adat. Yang mana secara sepihak Negara mengklaim wilayah adat menjadi Kawasan Hutan Negara dan memberikan izin kelola kepada pihak lain atau perusahaan.
"Pemberian SK Penetapan Hutan adat salah satu skema penanganan konflik tersebut," kata Delima, Kamis (3/2/2022).
Delima melanjutkan, pemerintah sebelumnya memang pernah berjanji akan menyerahkan SK Hutan Adat kepada 15 hingga 20 komunitas adat di Tano Batak pada 2021 lalu. Namun yang teralisasi hingga saat ini hanyalah 6 SK saja. Terhadap komunitas adat lain yang belum mendapatkan SK, pemerintah berjanji akan melakukan mediasi kepada komunitas adat yang belum mendapatkan SK penetapan.
"Ada (SK Indikatif Hutan Adat) di Kabupaten Toba. Karena Bupati Toba belum menandatangani SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat di Toba, terhadap dua komunitas yang mendapatkan SK tersebut," terang Delima.
Presiden Serahkan SK Hutan Sosial dan TORA 20 Provinsi
Pada Kamis kemarin, Presiden Jokowi menyerahkan SK Perhutanan Sosial yang telah diterbitkan selama tahun 2021 kepada petani hutan seluruh Indonesia, yaitu sebanyak 723 SK, seluas 469.667,12 hektare untuk 118.368 Kepala Keluarga di 20 provinsi, di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Khusus Hutan Adat, diserahkan sebanyak 12 SK Penetapan Hutan Adat dan 2 SK Indikatif Hutan Adat, dengan total luas 21.288,83 hektare untuk 6.170 KK dan Surat Keputusan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) sebanyak 19 unit seluas 30.274 hektare untuk 5 Provinsi, yaitu Sumatera Utara, Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua.
Penyerahan SK ini diikuti dengan penyerahan secara virtual di 19 provinsi, yaitu Sumatera Barat, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
"Setelah Bapak Ibu dan Saudara-saudara menerima SK baik Hutan Sosial maupun TORA ataupun Hutan Adat, segera manfaatkan lahan yang ada sesegera mungkin," kata Presiden Joko Widodo dalam acara penyerahan SK Perhutanan Sosial dan TORA di Humbang Hasundutan, seperti dikutip dari siaran pers Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Presiden menjelaskan aturan main pemanfaatan lahan yang sudah diberikan kepada masyarakat. Aturan tersebut yakni segera tanami 50 persen dari lahan yang ada dengan pohon berkayu, 50 persen sisanya boleh ditanami tanaman semusim, seperti jagung, kedelai, padi hutan, buah-buahan, ataupun kopi dengan pola agroforestry, atau juga bisa dikembangkan bersama usaha ternak (sylvopasture), atau jika lahan terletak di hutan mangrove bisa dikembangkan bersama usaha perikanan (sylvofishery).
"Ini saya titip betul agar lahan yang sudah kita berikan SK-nya, baik Bapak, Ibu, saudara-saudara sekalian, untuk betul-betul dipakai untuk kegiatan produktif, jangan dipindah tangankan ke orang lain, karena ini laku. Hati-hati," ucap Presiden.
Presiden mengatakan, pemerintah tidak segan untuk mencabut kembali SK yang telah diberikan, jika lahan tersebut tidak digunakan secara produktif. Menurut Presiden, sudah ada tiga juta hektare lahan yang SK-nya dicabut kembali oleh pemerintah karena ditelantarkan.
"Tiga juta hektare kita cabut, cabut, cabut, cabut, karena enggak diapa-apakan, sudah lebih dari 10 tahun enggak diapa-apakan, ya sudah ambil lagi."
Presiden Jokowi juga meminta masyarakat untuk tetap menjaga kelestarian hutan yang ada. Selain itu, jika dalam pengelolaannya ingin bekerja sama dengan pihak swasta atau bank, Presiden berpesan untuk berhati-hati dan melakukannya secara cermat.
"Tapi hati-hati mesti dihitung, mesti dikalkulasi semuanya, saya kembali ke anda kalau mengambil bank hati-hati, pas ngambilnya enak nanti pas ngembalikannya baru pusing tujuh keliling," tutur Presiden.
Presiden Jokowi pun menginstruksikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya untuk memberikan pendampingan kepada masyarakat terkait tata kelola perhutanan sosial. Presiden berharap masyarakat dapat mengelola secara baik sehingga lahan yang diberikan menjadi produktif dan dapat ditindaklanjuti menjadi hak milik.
"Setelah ini diberikan hak milik, hak milik, kalau memang benar produktif tindaklanjuti ke Kementerian (ATR) BPN, kantor BPN untuk mendapatkan hak milik."
Pendampingan, integrasi dan kolaborasi antar kementerian dan lembaga terkait, juga dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota menjadi bagian yang perlu diperkuat agar program perhutanan sosial tidak berhenti hanya sampai aspek pembagian lahan, melainkan manfaatnya harus benar-benar secara nyata dirasakan masyarakat, yaitu kesejahteraan.
"Saya minta Bu Menteri nanti ada pendampingan dari pemerintah. Dan saya kira bisa Bapak Ibu semuanya ini perlu di ajak ke perhutanan sosial yang sudah berhasil, cara mengelolanya bagaimana, tata kelolanya gimana, manajemennya seperti apa semuanya. Oh kayak gini, pulang tinggal langsung terapkan laksanakan. Pendampingan yang cepet itu tunjukan contoh-contoh yang benar aja itu cara paling gampang."
Sementara itu Menteri LHK Siti Nurbaya dalam laporannya kepada Presiden menyebutkan jika capaian Perhutanan Sosial sampai dengan Januari 2022 sebanyak 7.479 unit SK, seluas 4,901 juta hektare lebih, melibatkan sebanyak 1,049 juta Kepala Keluarga (KK).
Khusus untuk Hutan Adat yang merupakan bagian dari Perhutanan Sosial, saat ini telah ditetapkan sebanyak 75.783 hektare, dengan jumlah SK sebanyak 89 unit melibatkan 44.853 Kepala Keluarga, serta Wilayah Indikatif Hutan Adat seluas 1.091.109 hektare. Dari capaian tersebut, sampai saat ini telah diserahkan sebanyak 6.755 unit SK, seluas 4.431.752,52 hektare melibatkan 930.802 KK.
Sementara itu untuk program tanah obyek reforma agraria (TORA) sampai dengan November 2021 telah mencapai seluas 2.714.586 hektare. SK Pelepasan kawasan hutan sumber redistribusi lahan atau TORA yang telah diserahkan sebanyak 68 SK seluas 89.961 lebih hektare.
Kemudian terkait kesempatan usaha bagi para petani yang telah mendapatkan SK Hutan sosial juga terus diupayakan dan dibina oleh KLHK bersama KemenkopUKM dan Perbankan, Kementan serta Kementerian PDT dengan dukungan sarana/prasarana, permodalan dan perintisan bersama off taker dan penerima produk akhir, termasuk interaksi dalam forum seller dan buyer serta pelatihan dan pendampingan.
"Upaya untuk integrasi, inovasi dan kolaborasi program terus dikembangkan. Kini mulai berkembang klaster bisnis hutsos dan sudah berorientasi ekspor, seperti kopi, madu, gaharu, kayu manis/casiavera, kayu putih," ujar Menteri Siti.
Selanjutnya Menteri Siti juga menjelaskan terkait telah dimulainya perintisan pembangunan hutsos dalam bentuk integrated area development, pengembangan wilayah terpadu, dengan bobot kegiatan agroforestry, industri kecil dan ekowisata yang didukung lintas K/L seperti yang dikembangkan yaitu, Integrated Area Development Lumajang, Jatim dan Integrated Area Development Belitung, Babel.
"Contoh KUPS Lumajang dan Belitung akan dapat menjadi contoh bagi usaha hutsos berbagai daerah dalam membangun wilayah dan menjadikan hutsos dan kawasan hutan menjadi desa-desa pusat pertumbuhan ekonomi domestik," jelas Menteri Siti.