Berbagai Cara Berkelit dari Putusan MK
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Jumat, 11 Februari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - DPR menyepakati Revisi Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan (UU PPP) menjadi rancangan UU inisiatif DPR pada rapat paripurna Selasa (8/2). Pengesahan ini diyakini menjadi rencana pemerintah dan DPR memaksakan pemberlakuan UU Cipta Kerja setelah diputus inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Pengesahan Revisi UU PPP sebagai rancangan UU inisiatif DPR hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Delapan dari sembilan fraksi menyerahkan sikap tertulis dan menyambut dengan sahutan setuju atas pertanyaan pimpinan sidang, wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra, Sufmi Dasco.
Satu fraksi, PKS, menyatakan menolak dan membacakan sikapnya selama 7 menit.
Revisi UU PPP ini menjadi rangkaian tindakan carut marut DPR dan pemerintah atas putusan inkonstitusional bersyarat Mahkamah Konstitusi terhadap UU Cipta Kerja. MK menyebutkan pembentukan UU Cipta Kerja harus diperbaiki paling lama dua tahun agar memenuhi kaidah pembentukan UU.
Namun bukannya memenuhi putusan ini, DPR justru mengubah aturan mengenai kaidah pembentukan UU dan memasukkan metode penggunaan metode omnibus law dalam aturan itu. Hal ini menjadi jalan pintas, tak perlu memperbaiki UU Cipta Kerja yang diubah aturan soal kaidah itu sendiri.
Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, Roni Saputra, menyebutkan tindakan DPR ini memaksakan kehendak dan mengabaikan putusan MK. Sehingga bisa dikatakan keputusan DPR untuk menetapkan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang PPP inis sebagai akal bulus terhadap putusan MK
“Yang salah adalah UU Cipta Kerja, bukan revisi ini. Makanya harusnya disesuaikan baru perbaiki UU PPP. Ini sama saja tidak menghormati putusan MK,” ucap dia.
DPR memiliki kecenderungan membuat perundangan bukan berdasar kebutuhan dan keinginan publik. UU Cipta kerja sendiri cenderung memudahkan investasi dan penguasaan perizinan secara terpusat. Berbagai kebutuhan publik, soal jaminan kesejahteraan, kelestarian lingkungan, hingga perlindungan kepemilikan justru dikesampingkan.
Seharusnya, kata dia, DPR mengedepankan hal ini, bukan kepentingan pemerintah pusat. Makanya perbaikan yang dilakukan juga menyangkut soal aspirasi publik dalam pembentukan UU Cipta Kerja.
Namun DPR sendiri sudah memiliki gelagat tak baik sejak putusan MK soal UU Cipta Kerja. Pada 18 Januari 2022 lalu mereka mengesahkan UU IKN. Proses pembahasannya dilakukan dengan kilat, hanya 42 hari.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako), Feri Amsari, menyebutkan proses pembahasan hingga pengesahan UU IKN sama dengan UU Cipta Kerja. Cacat pembahasan UU IKN itu mulai dari naskah akademis, aspirasi publik, hingga pertimbangan lingkungan dan sosial.
Artinya, ketika MK memutus UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, DPR tak pernah peduli.
“Jika konsisten maka seharusnya ketika UU IKN ini diajukan ke MK maka putusannya sama dengan UU Cipta Kerja,” ucap dia dalam diskusi tinjauan lingkungan hidup di Walhi pada akhir Januari lalu.
Celakanya pemerintah sendiri juga melakukan hal yang sama, konstitusional bersyarat tak bermakna apapun. Misalnya saja soal kebijakan pengupahan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian tetap mengirimkan Instruksi Menteri Dalam Negeri kepada kepala daerah untuk tetap mengacu pada UU Cipta Kerja.
Padahal salah satu poin putusan MK menyebutkan menangguhkan segala tindakan dan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, termasuk tidak boleh menerbitkan PP baru yang berkaitan dengan UU CK selama proses perbaikan.
Puncak ketidakpedulian atas putusan MK ini adalah terbitnya Perpres 113 Nomor 2021 yang disahkan pada 30 Desember 2021. Peraturan ini mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2021 Tentang Badan Bank Tanah yang merupakan aturan turunan Omnibus.
Jika sudah demikian melenceng perilaku eksekutif dan legislatif terhadap putusan MK seharusnya sudah saatnya penjaga konstitusi itu bicara dan bersikap. Jika diam saja maka konstitusi tinggal nama saja.