Melihat Super Enzim Pemakan Plastik, Bisa Jadi Solusi Sampah

Penulis : Kennial Laia

Sampah

Minggu, 13 Februari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Sampah plastik telah menjadi salah satu polusi terbesar di planet Bumi. Sebarannya dimulai dari Palung Mariana di Samudra Pasifik (terdalam di dunia) hingga puncak tertinggi Everest. Para peneliti pun menemukan mikroplastik pada bayi yang baru lahir hingga menyebabkan kerusakan sel. 

Di sisi lain, para peneliti terus melakukan penelitian untuk mencari solusinya. Belakangan, mikroorganisme menjadi pusat kajian. Dalam berbagai literatur, mahkluk hidup ini, khususnya bakteri, memiliki kemampuan untuk mengurai plastik. 

Sejumlah mikroba telah mengembangkan kemampuan untuk “memakan” plastik tertentu, atau memecahnya menjadi molekul. Para peneliti pun memprediksi bahwa organisme kecil ini berpotensi memiliki peran kunci dalam mengurangi sampah plastik dalam waktu dekat.

Pada tahun 2020, sebanyak 376 juta ton plastik diproduksi secara global, menurut asosiasi perdagangan Plastics Europe. Angka ini tak jauh berbeda dengan 2019, yang berkisar 368 juta ton. Studi pada 2017 memperkirakan terdapat 8,7 miliar ton plastik dihasilkan manusia sejak 1950-an. 

Kampanye anti-plastik sekali pakai (foto Daniel Muller/Greenpeace)

Telah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas sampah tidak dapat didaur ulang. Menurut World Bank, dunia menghasilkan sebanyak 242 juta ton sampah plastik. Sebagian, yakni sebanyak 10 juta ton plastik berakhir di laut setiap tahun. Ini menjadi ancaman terbesar bagi ekosistem laut, mulai dari penyu hingga paus.

Masalah utama dari sampah plastik ini adalah kebanyakan merupakan plastik sekali pakai, dibiarkan menggunung di tempat pemrosesan akhir (TPA). Jikapun didaur ulang, butuh ekstraksi bahan bakar fosil seperti minyak dari tanah dan berisiko polusi.

Selain itu, manufaktur plastik juga melepaskan gas rumah kaca yang berkontribusi pada pemanasan global. Laporan pada 2021 mengungkap bahwa industri plastik Amerika Serikat saja menghasilkan 232 juta ton gas rumah kaca setiap tahun. Ini setara dengan 116 pembangkit listrik tenaga batu bara. 

Sejarah penelitian enzim untuk solusi sampah plastik

Pada 2016, tim ilmuwan yang dipimpin oleh ahli biologi Kohei Oda di Kyoto Institute of Technology, Jepang, melaporkan penemuan mengejutkan. Tim Oda mengunjungi situs daur ulang yang berfokus pada barang yang terbuat dari polyethylene terephthalate (PET), plastik bening yang digunakan untuk membuat serat pakaian dan botol minuman.

Seperti semua plastik, PET merupakan bahan yang terbuat dari molekul seperti tali panjang yang terdiri dari rakitan molekul lebih kecil. Ikatan kimia dalam rantai PET sangat kuat sehingga tahan lama.

Tim Oda mengambil sampel sedimen dan air limbah yang terkontaminasi PET, dan menyaringnya dari mikroorganisme yang dapat tumbuh di plastik. Ia menemukan strain bakteri baru, yang disebut Ideonella sakaiensis 201-F6. Mikroba ini bisa tumbuh pada potongan PET.

Namun, tim Oda juga menemukan bahwa bakteri tersebut dapat menggunakan PET sebagai sumber nutrisi utama, sehingga menurunkan PET dalam prosesnya.

Kuncinya adalah ‘super enzim’

Kunci dari kemampuan ini terletak pada sepasang enzim yang dihasilkan bakteri. Pada umumnya enzim merupakan molekul kompleks yang dapat mempercepat reaksi kimia.

Bakteri Ideonella sakaiensis 201-F6 menghasilkan dua enzim unik. Pertama, PETase yang memecah molekul PET menjadi lebih kecil dengan sebutan MHET. Kedua, MHETase yang bekerja menghasilkan etilen glikol dan asam tereftalat. 

Kedua bahan tersebut merupakan penyusun plastik PET, sehingga bakteri ini disebut dapat sepenuhnya membalikkan proses pembuatan PET.

Sebenarnya organisme ‘pemakan plastik’ bukan hanya kali ini ditemukan. Penelitian mengenai mikroba pengurai plastik ini pertama kali terjadi pada awal 1990-an, walau tidak semenakjubkan yang terbaru. Saat itu temuan mikroba hanya dapat memakan dengan struktur kimiawi yang rapuh atau dapat terurai secara hayati.

Pada 2000-an, peneliti menemukan enzim yang dapat mengatasi plastik yang lebih keras. Enzim tersebut bernama cutinases yang berasal dari bakteri seperti Thermobifida cellulosilytica, yang dapat mengurai PET. Hingga 2010-an, enzim pengurai plastik dari mikroba telah menjadi popular di kalangan ilmuwan.

Lalu apa yang membedakan Ideonella sakaiensis 201-F?

John McGeehan dari University of Portsmouth mengatakan, “Perbedaannya adalah studi pada 2016 meneliti mikroorganisme yang dapat menggunakan plastik sebagai satu-satunya sumber energi dan makanannya,” dikutip The Guardian, 5 Februari 2022.

“Hal ini sebenarnya cukup mengejutkan. Ini menunjukkan tekanan evolusioner dalam tindakan. Jika Anda adalah bakteri pertama di tumpukan sampah yang tiba-tiba menyukai plastik, maka Anda memiliki sumber makanan yang tidak terbatas,” kata McGeehan.

Dengan kata lain, enzim sebelumnya tidak berevolusi untuk plastik. Mereka berevolusi untuk memecah molekul rantai keras yang ditemukan pada makhluk hidup, dan kemampuan mereka untuk mendegradasi plastik adalah efek sampingnya. Sebaliknya, enzim dalam Ideonella sakaiensis 201-F6 memiliki fungsi yang sangat spesifik dalam hal mengurai plastik.

Enzim yang lebih baik

Pada 2018, John McGeehan bersama rekannya membuat struktur tiga dimensi dari Ideonella sakaiensis 201-F6 PETase. Mereka lalu mengubah strukturnya. Yang mengejutkan, hal ini membuat enzim lebih efisien dalam mendegradasi PET.

Tak berhenti di situ, tim McGeehan pun memodifikasi PETase dan enzim serupa lainnya agar dapat digunakan untuk memecah plastik pada skala industri. Dengan hibah £6 juta dari pemerintah, mereka memulai sebuah lembaga spesialis bernama Pusat Inovasi Enzim di Inggris.

Hasilnya, tim McGeehan berhasil menghubungkan enzim PETase dan MHETase. “Enzim super” ini dapat memakan PET sekitar enam kali lebih cepat ketimbang dua enzim yang bekerja secara terpisah. 

Pertanyaannya sekarang adalah: seberapa signifikan peran enzim ini dalam mengurangi polusi plastik?

Hingga saat ini, aktivitas yang mengurai plastik dengan super enzim terbatas pada tim peneliti di universitas. The Guardian melaporkan, beberapa perusahaan telah mulai mencoba mengkomersialisasi teknologi tersebut. Salah satunya adalah kerja sama dengan Coca Cola dan perusahaan bioteknologi Carbios di Prancis.  

Harapan dari proyek-proyek ini adalah agar dapat mendaur ulang plastik dengan hasil yang lebih berkualitas. Dengan demikian membuka kesempatan pada ekonomi sirkular.

Namun, tentu saja enzim bukan solusi tunggal. Menurut peneliti Lars Blank dari Aachen University di Jerman, enzim bekerja paling baik jika plastik telah dilunakkan dengan pemanasan (reaktor yang dikontrol suhu). Artinya, enzim tidak dapat dilepaskan begitu saja ke lingkungan.  

Maka, solusi untuk plastik di laut dan perairan lain masih lah sama: manusia harus berhenti membuang sampah sembarangan dari awal.  

McGeehan mengatakan: "Saya pikir dalam lima tahun ke depan kita akan melihat pabrik percontohan di semua tempat." 

Namun, tentu sama kegunaan enzim ini ada batasannya. Tiffany M Ramos dari Roskilde University, Denmark, mengatakan manusia tidak boleh mengandalkannya untuk membersihkan seluruh sampah plastiknya. Sebab, beberapa jenis plastik ada yang lebih keras dari PET.

Namun temuan ini tetap memungkinkan bahwa enzim ini akan berperan besar dalam mendaur ulang sebanyak mungkin sampah plastik. Sebab penelitian McGeehan memperkirakan bahwa biaya daur ulang PET secara enzimatik dapat bersaing dengan metode manufaktur standar, yang memakai bahan bakar fosil sebagai bahan bakunya.

Ke depan, enzim diperkirakan menjadi bagian dari revolusi dalam seluruh upaya mengelola sampah.

Namun, penting juga bahwa produk plastik dirancang sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah digunakan kembali dan didaur ulang. Selain itu, lagi-lagi manusia harus mengubah perilaku, yakni tidak membuang sampah ke lingkungan.

Artikel merupakan adaptasi dari artikel yang terbit di The Guardian.