Komnas HAM Selidiki Tewasnya Pendemo Tambang PT Trio Kencana
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Minggu, 13 Februari 2022
Editor :
BETAHITA.ID - Satu peserta demonstrasi penolakan tambang emas PT Trio Kencana, bernama Aldi, asal Desa Tada, Kecamatan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong tewas, diduga akibat tertembak peluru tajam aparat kepolisian, Sabtu (12/2/2022) kemarin. Dugaan penembakan peserta demonstrasi itu kini tengah diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Kepala Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Sulawesi Tengah (Sulteng), Dedy Askari mengatakan, setelah mendapat kabar adanya pembubaran unjuk rasa berujung tewasnya Aldi itu, pihaknya langsung memutuskan turun ke lapangan menuju lokasi. Komnas HAM akan melakukan penyelidikan yang mendalam terkait duduk permasalahan, termasuk akar persoalan yang menyebabkan peristiwa penembakan oleh aparat kepolisian itu terjadi.
"Ini kami sedang menuju langsung ke tempat kejadian. Ya akan melakukan interview dengan kelompok yang menolak tambang dan aparat kepolisian, termasuk Pak Kapolda dan Kapolres," kata Dedy, Minggu (13/2/2022).
Terkait penggunaan senjata api dan peluru tajam oleh aparat kepolisian dalam penanganan demonstrasi atau unjuk rasa, Dedy mengatakan, sepanjang situasi memungkinkan untuk penggunaan peluru tajam, sebagaimana diatur dalam prosedur tetap penanganan massa aksi, hal itu dapat dibenarkan. Tetapi apabila situasinya masih belum membahayakan maka hal itu tidak diperbolehkan.
Dedy menguraikan, dalam prosedur tetap pengamanan demonstrasi atau unjuk rasa dikenal tiga kondisi atau situasi yang menjadi acuan tindakan aparat keamanan. Yang pertama, situasi hijau, yang mana kondisi demonstrasi terbilang normal--massa berkumpul, berorasi dan menyampaikan pendapat. Selanjutnya situasi oranye, yang mana dalam kondisi itu massa aksi telah memperlihatkan gejala lain, seperti mendorong, memaksakan menerobos barikade aparat, di situasi ini biasa terjadi perubahan formasi ke pelopor atau PHH.
Kemudian situasi merah, massa aksi telah melakukan perlawanan dengan melempar batu, menyerang petugas dengan senjata tajam dan lain-lain. Mengendalikan situasi ini, aparat sudah harus mengambil tindakan preventif dengan mengeluarkan tembakan peringatan, memukul mundur massa aksi dengan gas air mata dan peluru karet. Jika tetap tidak terkendali, baru dapat menggunakan peluru tajam dengan maksud untuk melumpuhkan, seperti menembak di bagian kaki.
"Penggunaan peluru tajam, itu pilihan terakhir setelah dua tahapan atau situasi awal sudah dilalui," terang Dedy.
Kapolri Harus Lakukan Evaluasi
Terpisah, Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra berpendapat, seharusnya pendekatan persuasif menjadi pilihan yang harus dilakukan oleh aparat kepolisian dalam menghadapi aksi demonstrasi, unjuk rasa maupun aksi massa lainnya. Apalagi saat ini Polri mengedepankan moto polisi yang humanis.
"Tindakan-tindakan kekerasan atas dasar apapun tentu tidak dibenarkan dalam negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kapolri sudah seharusnya melakukan evaluasi atas setiap permintaan pengamanan dan setiap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap rakyat. Jika perlu terhadap aparat-aparat yang melakukan tindakan kekerasan haruslah dijatuhi hukuman," kata Roni.
Lebih lanjut Roni mengatakan, pendekatan kekerasan dan intimidasi aparat terhadap rakyat mengingatkan kita kembali pada sejarah kelam Indonesia ketika zaman orde baru, dan terkadang polanya hampir sama. Dengan dalih pembangunan warga dibungkam, dalih investasi warga dibui.
Melihat kondisi hari ini, bahkan jika merujuk pada kasus environmental defender (ED) atau pejuang lingkungan 2021, maka kecenderungan peningkatan kasus-kasus yang dialami oleh pejuang lingkungan akan semakin meningkat ke depannya. Lantaran kini banyak investasi yang masuk dalam lingkup proyek strategis nasional (PSN), ketiadaan perlindungan hukum oleh undang-undang bagi pejuang lingkungan, seringnya menggunakan pasal-pasal karet untuk menjerat pejuang lingkungan dengan tujuan memperlambat atau bahkan menghentikan upaya-upaya penyelamatan lingkungan.
"Seharusnya pemerintah sadar bahwa posisi mereka itu sebagai pelayan publik atau masyarakat, dan sudah seharusnya mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan golongan apalagi pribadi. Pun demikian denga penegak hukum, dalam hal ini polisi, bahwa dalam Undang-Undang Kepolisian salah satu tugasnya adalah mengayomi masyarakat, bukan menakut-nakuti apalagi menangkap masyarakat yang berjuang untuk menyelamatkan lingkungan demi keberlangsungan antargenerasi," urai Roni.
Warga 3 Kecamatan Tuntut Pencabutan IUP PT Trio Kencana
Kejadian berdarah itu bermula ketika pada 7 Februari 2022 lalu, warga dari tiga kecamatan, yakni Toribulu, Kasimbar, dan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong, yang mengatasnamakan Aliansi Rakyat Tani (ARTI) Koalisi Tolak Tambang (KTT) menggelar aksi tolak tambang menuntut gubernur Sulteng, Rusdy Mastura untuk mencabut izin usaha pertambangan emas PT Trio Kencana.
Gubernur Sulteng, melalui Tenaga Ahli Gubernur Bidang Kemasyarakatan Antar Lembaga dan HAM, Ridha Saleh, berjanji untuk menemui massa aksi sehingga bisa mendengar aspirasi dan tuntutan warga. Janji gubernur Sulteng itupun kemudian ditagih oleh masyarakat pada aksi Sabtu, 12 Februari 2022 kemarin.
Warga yang menggelar aksi sejak pagi sekitar pukul 10.30 WITA hingga malam hari itu, terus menunggu. Namun gubernur Sulteng tak kunjung datang menemui massa aksi.
Warga yang kecewa lantas memblokir jalan di Desa Siney, Kecamatan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong. Pemblokiran itu diharapkan bisa memantik respon gubernur untuk segera bertemu dan mengabulkan tuntutan warga untuk mencabut izin tambang PT Trio Kencana.
Warga yang enggan membubarkan diri sebelum bertemu gubernur itu, kemudian dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian yang berjaga. Dari video yang beredar, terdengar letusan tembakan yang berulang-ulang dari arah aparat kepolisian yang berjaga. Dalam insiden itu, seorang massa aksi atas nama Aldi tewas, diduga terkena tembakan peluru dari aparat kepolisian.
Sebagaimana diketahui, perjuangan penolakan tambang emas PT Trio Kencana oleh warga di Kecamatan Toribulu, Kasimbar, dan Tinombo Selatan, Sulawesi Tengah itu telah berlangsung lama. Berbagai aksi penolakan telah dilakukan, mulai sejak 31 Desember 2020, Januari 2020, 7 Februari 2022, hingga puncaknya pada Sabtu, 12 Februari kemarin.
Penolakan warga atas tambang emas PT Trio Kencana, itu disebabkan luas konsesi tambangnya yang mencapai 15.725 hektare, mencakup lahan pemukiman, pertanian dan perkebunan milik warga.