Kekerasan Aparat Polisi terhadap Pejuang Lingkungan kian Panjang
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Pejuang Lingkungan
Senin, 14 Februari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Tindakan aparat kepolisian terhadap para warga penolak tambang emas PT Trio Kencana, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, yang mengakibatkan penangkapan lebih dari 60 warga dan seorang warga tewas, Sabtu (12/2/2022) kemarin, menambah panjang angka kekerasan aparat kepolisian terhadap para pejuang lingkungan.
Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Eksekutif Nasional Walhi, Fanny Tri Jambore menyatakan, tindakan kekerasan dan penangkapan tanpa prosedur oleh aparat kepolisian di Sulteng terhadap massa aksi tolak tambang yang mengakibatkan meninggalnya satu orang warga ini menambah daftar panjang catatan hitam kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga yang tengah memperjuangkan ruang hidupnya.
Menurut catatan Walhi, sepanjang awal 2021 hingga saat ini, setidaknya terdapat 182 warga yang mengalami kekerasan oleh aparat kepolisian. Dengan catatan ini Walhi mendesak Kapolri untuk melakukan evaluasi secara serius ditingkat jajaran Polri.
"Kejadian berulang ini harus dihentikan. Kapolri harus memberi perhatian serius berkaitan dengan konflik-konflik agraria dan lingkungan," ujar Fanny, Sabtu (12/2).
Terkait kasus di Sulawesi Tengah ini, Walhi berharap adanya proses yang transparan untuk mengusut tuntas kasus yang menewaskan satu orang warga disana. Selain itu, Fanny meminta pemerintah untuk melakukan evaluasi yang serius terhadap pemberian izin-izin pertambangan yang telah menimbulkan sejumlah konflik karena mengancam keselamatan wilayah kelola rakyat dan ruang hidupnya.
"Harus ada evaluasi yang serius kali ini," katanya.
Warga Sejak Lama Tolak Tambang PT Trio Kencana
Terpisah Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Tengah (Sulteng), Sunardi Katili mengungkapkan, penolakan tambang PT Trio Kencana oleh warga di tiga kecamatan di Kabupaten Parigi Moutong, yakni Toribulu, Kasimbar, dan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah ini, sebetulnya sudah lama berlangsung, sejak 2010.
“Ketika izin PT Trio Kencana dikeluarkan Pemprov Sulteng, penolakan sudah muncul dari masyarakat Kecamatan Tinombo Selatan," ungkap Sunardi dalam keterangan persnya, Sabtu (12/2/2022).
Seiring waktu, lanjut Sunardi, aktivitas pertambangan perusahaan itu tidak lagi berjalan. Namun secara tiba-tiba, pada Agustus 2020 lalu, status Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Trio Kencana dinaikkan menjadi IUP Operasi Produksi oleh Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), dengan luasan 15.725 hektare.
"Terkait hal ini, masyarakat merasa tertipu. Pasalnya, tidak pernah ada sama sekali sosialisasi yang dilakukan baik dari pihak perusahaan maupun pemerintah," ungkapnya.
Sejak mengetahui munculnya IUP baru ini, tercatat beberapa kali masyarakat telah melakukan aksi protes dan penolakan. Masyarakat mulai melakukan aksi protes pada 31 Desember 2020. Aksi protes terus terjadi, hingga 17 Januari 2022, masyarakat Kecamatan Kasimbar kembali melakukan aksi protes.
Kali ini masyarakat menuntut pencabutan IUP PT Trio Kencana, karena dampak pertambangan telah dirasakan. Salah satu dampak yaitu berupa keberadaan 3 lubang tambang di kebun milik masyarakat.
Tidak mendapat respon apapun, masyarakat kembali melakukan aksi pada tanggal 7 Februari 2022. Masyarakat menuntut kehadiran dan sikap Gubernur Sulawesi Tengah untuk mencabut IUP PT Trio Kencana. Saat itu masa aksi ditemui oleh perwakilan pemerintah provinsi.
Sunardi menerangkan, kala itu, melalui staf ahli Gubernur, Ridha Saleh, yang menyambungkan via telepon seluler dengan Gubernur Sulteng Rudy Mastura menjanjikan selambat-lambatnya dalam satu pekan Gubernur akan menemui masyarakat.
“Aksi pada 12 Februari 2022 ini justru aksi menagih janji pertemuan yang dijanjikan oleh Gubernur sendiri sebetulnya,” imbuhnya.
Masyarakat menuntut janji Gubernur untuk bertemu dan mendengarkan aspirasi masyarakat. Aksi menunggu kedatangan Gubernur ini kemudian direspon dengan kekerasan oleh aparat kepolisian. Tindakan-tindakan kekerasan kepolisian di lapangan sampai menyebabkan satu orang korban meninggal, yakni Erfaldi (21) mahasiswa dari Desa Tada Kecamatan Tinombo Selatan.
Polisi terus memburu peserta aksi. Hingga saat ini tercatat setidaknya 60 orang telah ditangkap oleh pihak kepolisian hanya karena berjuang untuk menjaga kelestarian ruang hidupnya.