Amnesty: Komnas HAM Harus Turun di Parigi Moutong
Penulis : Aryo Bhawono dan Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Senin, 14 Februari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Penggunaan senjata api dalam menghadapi pengunjuk rasa di Parigi Moutong harus dievaluasi. Kematian salah seorang warga dalam aksi penolakan tambang emas milik PT Trio Kencana karena tembakan memperpanjang daftar tindakan represi pemerintah menghadapi protes pertambangan.
Amnesty International Indonesia mengutuk tindakan polisi dalam pembubaran paksa demonstrasi di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah pada Sabtu lalu (12/2/2022). Demonstrasi yang digelar menolak tambang emas PT Trio Kencana itu berakhir rusuh. Upaya pembubaran paksa yang dilakukan paksa oleh kepolisian menyebabkan tewasnya warga Desa Tada Kecamatan Tinombo Selatan, Erfaldi (21).
“Tindakan itu brutal, sangat brutal. Penembakan terhadap pengunjuk rasa damai yang menolak pertambangan di Kabupaten Parigi Moutong tidak bisa dibenarkan,” ucap Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid melalui keterangan pers pada Minggu (13/2).
Aparat penegak hukum harus segera mengusut kejadian ini, termasuk menginvestigasi aparat yang terlibat penembakan atau tindakan kekerasan lain. Kami, kata dia, mendesak Komnas HAM melakukan penyelidikan.
Menurutnya dalam sepekan terakhir, negara begitu represif dan eksesif menangani protes tambang. Seharusnya pemerintah berhenti mengerahkan kekuatan dan kekerasan berlebihan dalam menanggapi protes-protes warga. Siklus kekerasan ini harus dihentikan.
Pemerintah lebih baik mengedepankan dialog dalam melaksanakan pembangunan. Dialog ini menjadi bagian penting untuk melindungi hak masyarakat di sekitar area pertambangan untuk memberikan persetujuan yang didasarkan informasi dan tanpa paksaan. Pembangunan tanpa persetujuan adalah pelanggaran HAM.
“Kami mendesak Presiden agar memerintahkan Kapolri untuk mengusut kejadian ini dan menindak dan menghadapkan pelakunya ke peradilan umum. Sanksi disiplin seperti yang selama ini diterapkan, jauh dari standar hukum yang benar, apalagi rasa keadilan masyarakat.”
Aksi demonstrasi ini sendiri digelar sekitar 700 orang dari Kecamatan Kasimbar, Kecamatan Tinombo Selatan, dan Kecamatan Toribulu pada Sabtu lalu. Mereka memblokade jalan Trans Sulawesi dalam rangka mengekspresikan penolakan mereka terhadap tambang emas yang beroperasi di daerah tersebut.
Menurut informasi yang diterima Amnesty, pada sekitar pukul 20.30 waktu setempat, anggota Brimob diturunkan ke lokasi untuk membubarkan massa aksi. Pada sekitar pukul 24.00, polisi menembakkan gas air mata dan terjadi aksi saling lempar antara massa dan polisi. Pada pukul 01.30, seorang warga Kecamatan Tinombolo Selatan tertembak di dada dan akhirnya meninggal dunia.
Polisi juga telah menangkap 70 orang massa aksi.
Usman mengingatkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 dan hak untuk berkumpul secara damai, sebagaimana diatur dalam Pasal 21.
Hak atas kebebasan berkumpul dan berekspresi juga telah dijamin dalam UUD Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, serta Pasal 24 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Selain itu, penggunaan senjata api oleh aparat juga harus sesuai dengan Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum yang dikeluarkan oleh PBB (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials). Aturan itu melarang penggunaan senjata api oleh aparat penegak hukum kecuali mutlak diperlukan untuk melindungi diri atau untuk membela orang lain dari ancaman kematian.
Pasal 3 Peraturan Kapolri No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian serta Pasal 9 dan Pasal 11 Peraturan Kapolri No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia juga melarang penggunaan senjata api secara berlebihan.
KOMNAS HAM Siap Selidiki
Kepala Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Sulawesi Tengah (Sulteng), Dedy Askari mengatakan, setelah mendapat kabar adanya pembubaran unjuk rasa berujung tewasnya Aldi itu, pihaknya langsung memutuskan turun ke lapangan menuju lokasi. Komnas HAM akan melakukan penyelidikan yang mendalam terkait duduk permasalahan, termasuk akar persoalan yang menyebabkan peristiwa penembakan oleh aparat kepolisian itu terjadi.
"Ini kami sedang menuju langsung ke tempat kejadian. Ya akan melakukan interview dengan kelompok yang menolak tambang dan aparat kepolisian, termasuk Pak Kapolda dan Kapolres," kata Dedy.
Terkait penggunaan senjata api dan peluru tajam oleh aparat kepolisian dalam penanganan demonstrasi atau unjuk rasa, Dedy mengatakan, sepanjang situasi memungkinkan untuk penggunaan peluru tajam, sebagaimana diatur dalam prosedur tetap penanganan massa aksi, hal itu dapat dibenarkan. Tetapi apabila situasinya masih belum membahayakan maka hal itu tidak diperbolehkan.
Dedy menguraikan, dalam prosedur tetap pengamanan demonstrasi atau unjuk rasa dikenal tiga kondisi atau situasi yang menjadi acuan tindakan aparat keamanan. Yang pertama, situasi hijau, yang mana kondisi demonstrasi terbilang normal--massa berkumpul, berorasi dan menyampaikan pendapat. Selanjutnya situasi oranye, yang mana dalam kondisi itu massa aksi telah memperlihatkan gejala lain, seperti mendorong, memaksakan menerobos barikade aparat, di situasi ini biasa terjadi perubahan formasi ke pelopor atau PHH.
Kemudian situasi merah, massa aksi telah melakukan perlawanan dengan melempar batu, menyerang petugas dengan senjata tajam dan lain-lain. Mengendalikan situasi ini, aparat sudah harus mengambil tindakan preventif dengan mengeluarkan tembakan peringatan, memukul mundur massa aksi dengan gas air mata dan peluru karet. Jika tetap tidak terkendali, baru dapat menggunakan peluru tajam dengan maksud untuk melumpuhkan, seperti menembak di bagian kaki.
"Penggunaan peluru tajam, itu pilihan terakhir setelah dua tahapan atau situasi awal sudah dilalui," terang Dedy.