PBB: Industri Perikanan Ancam Pangan di Afrika Barat
Penulis : Kennial Laia
Konservasi
Rabu, 16 Februari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Eksploitasi berlebihan sektor perikanan demi industri minyak ikan dan tepung ikan laut di Afrika Barat memiliki dampak negatif yang cukup besar pada ketahanan pangan di wilayah tersebut.
Menurut Badan Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO PBB) dalam laporan terbarunya, praktik eksploitatif tersebut telah merusak kemampuan masyarakat lokal untuk memberi makan diri mereka sendiri.
Menurut laporan tersebut, antara 2015 dan 2019, berdiri tiga pabrik tepung kan besar yang “kemungkinan meningkatkan risiko” eksploitasi berlebihan sardinella dan bonga. Dua ikan pelagis ini merupakan andalan masyarakat sehari-hari.
Di Uganda, pabrik bergantung terutama pada spesies ikan yang dimakan oleh masyarakat miskin, sehingga menciptakan persaingan. FAO menuliskan bahwa hal tersebut membuat harga ikan melambung dan tidak terjangkau oleh “konsumen termiskin” di wilayah tersebut.
FAO menyerukan agar tangkapan spesies sardinella dikurangi setengahnya sebagai hal yang mendesak.
Oktober 2021, aktivis Greenpeace mencegat sebuah kapal tanker sepanjang 96 meter di Selat Inggris. Kapal tanker tersebut membawa minyak ikan dari Afrika Barat ke Eropa di Selat Inggris.
Aksi tersebut untuk menyoroti ancaman industri terhadap ketahanan pangan dan mata pencaharian di Afrika Barat.
“Bisnis besar ini melucuti kehidupan dari laut kita, dan merampas mata pencaharian komunitas nelayan kita. Sains sudah jelas, bahwa sebentar lagi segala upaya akan terlampat. Mereka harus berhenti sekarang,” kata Dr Aliou Ba, manajer kampanye laut Greenpeace Afrika.
Menurut Greenpeace Afrika, setiap tahun lebih dari setengah juga ton ikan ditangkap dari perairan Afrika Barat untuk diproses sebagai tepung ikan dan minyak ikan untuk memberi makan ikan budidaya, ternak, dan hewan peliharaan di Asia dan Eropa.
Jumlah ikan tersebut cukup untuk memberi makan 33 juta orang di wilayah yang mengalami kerawanan pangan yang signifikan. Ini juga berguna bagi wilayah yang mengalami kenaikan harga yang sangat tinggi akibat menurunnya populasi ikan.
“Ikan yang mereka gunakan untuk memproduksi minyak ini harus dibeli dan dijual di pasar lokal,” kata Fatou Samba, presiden asosiasi pengolah ikan wanita di Bargny, Senegal.
“Itu bisa menciptakan lapangan kerja dan memberi makan orang-orang di komunitas saya, atau di mana pun di Afrika Barat. Sebaliknya ini diumpankan ke ikan dan ternak di Eropa. Ini harus diakhiri, sebelum sumber makanan dan pekerjaan penting bagi kita ini dihancurkan.”
Laporan FAO berfokus pada sembilan negara bagian, menyimpulkan bahwa meskipun sektor tersebut menawarkan beberapa peluang ekonomi, seperti lapangan pekerjaan. Namun, banyak pekerjaan tidak aman, bersifat sementara, dan tak selalu mempekerjakan orang lokal. Di Mauritania, contohnya, mayoritas pekerja berasal dari Republik Rakyat Tiongkok dan Senegal.
Sementara itu di Senegal, pabrik minyak ikan dan makanan ikan mempekerjakan sebanyak 129 pekerja tetap dan 264 pekerja tidak tetap pada 2018. Dibandingkan dengan total 600,000 pekerja di sektor perikanan di wilayah tersebut.
Sehingga FAO menyimpulkan bahwa industri perikanan di Afrika Barat memiliki “manfaat sosial yang tetap terbatas.”
Hampir semua bahan yang berasal dari ikan yang diproduksi di Kongo, Gambia, Mauritania dan Senegal diekspor ke Republik Rakyat Tiongkok dan Turki. Menurut laporan FAO, pemilik dan investor di pabrik-pabrik Afrika Barat dan armada industri perikanan sebagian besar berasal dari kedua negara tersebut.
Secara global, 69% tepung ikan dan 75% minyak ikan digunakan untuk memberi makan ikan budidaya seperti salmon dan trout.