Masalah Pertumbuhan dan Ketenagakerjaan

Penulis : Redaksi Betahita

Analisis

Kamis, 13 April 2017

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas tak sekadar dilihat dari tingginya angka pertumbuhan. Tapi, ditentukan oleh seberapa besar pertumbuhan mampu menyerap tenaga kerja dan menurunkan kemiskinan.

Satu dekade terakhir, baik di kawasan Asia maupun di kelompok negara G-20, Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi fantastis. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5%-6,5% per tahun. Laju pertumbuhan ini hanya kalah dari China dan India.

McKinsey memprediksi tahun 2030, perekonomian Indonesia akan masuk menjadi sepuluh terbesar di dunia. Faktor pendorong utama adalah: penduduk usia produktif yang besar, meningkatnya jumlah penduduk kelas menengah, permintaan konsumsi yang terus tumbuh, iklim investasi yang mulai membaik dan kaya sumber daya alam.

Semua persyaratan untuk masuk kelompok sepuluh negara dengan perekonomian terbesar di dunia sudah mulai terpenuhi. Tapi, pertanyaan adalah: apakah peningkatan skala ekonomi dan pertumbuhan tersebut mampu optimal menciptakan lapangan pekerjaan?

Demonstrasi unjuk rasa karyawan freeport

Ini masalah utama yang menghinggapi pembangunan di Indonesia. Setengah dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi semakin tak bertenaga untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Saat ini, 1% pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap 230.000-250.000 tenaga kerja.

Padahal, idealnya 1% pertumbuhan ekonomi harus mampu menyerap 450.000-500.000 tenaga kerja. Sehingga, dengan pertumbuhan sebesar 5%, tenaga kerja yang terserap hanya sebanyak 1,15 juta-1,25 juta tenaga kerja. Yang idealnya mencapai 2 juta-2,5 juta pertahun.

Jika menelisik lebih spesifik, sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja paling besar seperti: industri, pertanian dan konstruksi justru sektor yang paling loyo menyerap tenaga kerja. Sektor industri dalam rentang 2016 hanya mampu menyerap 285.000 tenaga kerja atau tumbuh 1,9%. Sedangkan, sektor pertanian hanya menyerap 21.000 tenaga kerja, atau tumbuh sebesar 0,1%.

Anehnya, sektor konstruksi juga mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja sebesar 229.000 tenaga kerja atau turun 2,8%. Padahal, pemerintah dalam dua tahun terakhir telah menggenjot pembangunan infrastruktur. Artinya, proyek infrastruktur baik yang dibiayai negara maupun swasta belum optimal menyerap tenaga kerja.

Mendorong sektor industri

Selama ini, penyebab utama pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas adalah hilangnya momentum transformasi struktural. Sesudah fase pertanian dilalui dengan baik, Indonesia terlalu cepat meloncat pada sektor jasa dan keuangan. Padahal, sektor industri belum stabil dan membutuhkan proses menuju kemapanan terutama industri berbasis pertanian (agro industri).

Setelah tumbuh cukup tinggi sejak tahun 1990-an, Indonesia mengalami stagnasi pertumbuhan sektor industri. Malahan, sejak tahun 2001, Indonesia mengalami deindustrialisasi. Kontribusi sektor industri terhadap produk domestik bruto (PDB) semakin menurun. Perusahaan manufaktur semakin enggan beroperasi di Indonesia dan cenderung memindahkan pabriknya ke India, Vietnam dan Myanmar. Sehingga, jumlah tenaga kerja di sektor industri semakin menurun (jobless growth).

Sudah saatnya pemerintah kembali merancang ulang strategi industrialisasi. Program hilirisasi terutama di sektor pertanian dan industri harus menjadi prioritas untuk dikembangkan. Indonesia memiliki kemampuan bersaing untuk industri agro dan industri berbasis pertambangan karena melimpahnya faktor produksi di sektor ini.

Kemacetan proses industrialisasi (industrialization gridlock) yang diakibatkan faktor struktural seperti infrastruktur, perizinan dan regulasi ketenagakerjaan harus segera diatasi. Pembangunan infrastruktur harus fokus pada perbaikan sistem logistik untuk pengembangan sektor industri agar tingginya biaya produksi dapat ditekan.

Proses perizinan yang rumit dan biaya tinggi harus diperbaiki. Dan terakhir, regulasi ketenagakerjaan juga harus dibenahi serta mempersiapkan tenaga kerja untuk mendukung sektor industri dengan meningkatkan skill dan produktifitas tenaga kerja. Dengan kebijakan ini, diharapkan pertumbuhan ekonomi lebih berkualitas dan mampu optimal menyerap tenaga kerja.

Wiko Saputra, Peneliti Kebijakan Ekonomi Yayasan Auriga Nusantara