Catatan Pelanggaran HAM di Tanah Papua Pada 2021

Penulis : Kennial Laia

HAM

Rabu, 23 Februari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Kekerasan terhadap warga dan pembela hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan terus berlangsung di Papua. Menurut Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, terdapat puluhan kasus yang ditemukan sepanjang tahun 2021.

Dalam catatan akhir tahun 2021 (Catahu) Pusaka, terjadi 30 kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua. Di antaranya adalah empat kasus kekerasan dan dua ancaman terror terkait aktivitas bisnis dan investasi di wilayah tersebut.

“Sepanjang tahun 2021, terjadi kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua. Bentuknya bermacam-macam,” kata Natalia Yewen, peneliti Pusaka, dalam diskusi publik, pekan lalu.

Jumlah pelanggaran tertinggi adalah pelanggaran hak atas hidup, sebanyak 15 kasus. Khususnya di daerah yang sedang mengalami konflik politik, seperti Kabupaten Intan Jaya,Yahukimo, dan Pegunungan Bintang. “Pelanggaran hak untuk hidup terjadi sangat keras hingga menyebabkan  korban  jiwa,  didahului  aksi  kekerasan, penyiksaan, dan dalil salah tembak.”

Karya seni yang memprotes kekerasan dan diskriminasi di Tanah Papua. Foto: @inisayavicky via @papuaitukita

Pelanggaran terbanyak kedua adalah terkait hak atas kebebasan berekspresi sebanyak sembilan kasus, hak atas rasa aman lima kasus, dan hak atas pendidikan satu kasus. Pusaka menyatakan bahwa kekerasan HAM  ini melibatkan  pihak-pihak aparat keamanan negara dan non-negara.

Salah satu contoh yang menyita perhatian publik adalah kasus penyiksaan Steven Yadohamang. Pemuda difabel berusia 24 tahun itu dibentak dan diinjak kepalanya oleh dua anggota polisi militer Angkatan Udara (Pomau) di Kabupaten Merauke, Papua, pada 26 Juli 2021. 

“Peristiwa  penyiksaan  ini  merupakan  bentuk  diskriminasi  rasial  dan  merendahkan martabat manusia. Kejahatan ini melanggar konstitusi UUD 1945, Pasal 28B ayat (2), yakni  setiap  orang  berhak  untuk  bebas  dari  penyiksaan  dan  perlakuan  yang merendahkan  derajat  martabat  manusia,” tutur Pusaka.

Pada Juli 2022, video dua anggota polisi militer angkatan udara yang memiting dan menginjak kepala seorang pemuda difabel di Kabupaten Merauke, Papua, viral di media sosial. Foto: Tangkapan layar video/Instagram

Pusaka juga mendokumentasikan kasus kekerasan yang menimpa pembela lingkungan dan hak masyarakat adat. Hal ini dialami oleh Markus Baba Wehu (31 tahun) bersama saudaranya Finsensius Katamote Wehu (24 tahun) di Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Papua, pada 25 Januari 2021. 

Menurut catatan Pusaka, kedua anggota Suku Awyu, asal Kampung Getentiri tersebut, kehilangan tanah dan hutan adat akibat aktivitas perusahaan kelapa sawit PT Tunas Sawa Erma POP B, anak perusahaan Korindo Group.

Pada 25 Januari 2021, keduanya mendatangi kantor polisi sub-sektor POP B Getentiri yang berlokasi di lingkungan perusahaan kelapa sawit PT Tunas Sawa Erma POP B, yang berlokasi di Distrik Jair. Ihwalnya, mereka hendak melaporkan kecelakaan yang menimpa Finsensius akibat diserempet mobil truk milik perusahaan tersebut.

“Namun, anggota polisi AIPTU AS menanggapi dengan membentak dan mengucapkan kata yang membuat Markus terintimidasi. Lalu terjadi kekerasan pemukulan dan baju Markus ditarik paksa hingga robek. AS mengancam menembak Markus dan Finsensius, sehingga keduanya kabur meninggalkan kantor polisi,” ungkap Pusaka.

Pusaka juga mencatat kriminalisasi yang menimpa aktivis terkait isu Papua namun terjadi di luar wilayah tersebut. Haris Azhar dan Fatia Maulida dilaporkan ke polisi lantaran mendiskusikan hasil  riset  ekonomi-politik penempatan militer di Papua melalui kanal Youtube.

Temuan dalam riset bahwa salah satu perusahaan PT Madinah Qurrata’Ain menguasai konsesi lahan dalam bisnis tambang Blok Wabu. Perusahaan ini diduga  berhubungan dengan perusahaan PT Tobaco Del Mandiri, anak perusahaan Toba  Sejahtera  Group, yang sahamnya dipegang Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. 

Menurut Pusaka, kekerasan dan pelanggaran HAM terjadi sejalan dengan kehadiran dan meluasnya investasi dan proyek-proyek pembangunan industri ekonomi yang didominasi  korporasi dan pemilik modal. Aktivitas ini secara langsung memengaruhi ruang hidup masyarakat adat dan lokal.

“Kepentingan yang berbeda, pengabaian hak masyarakat, minimnya akses keadilan dan pembagian manfaat, serta penggunaan dan pendekatan keamanan merupakan sumber konflik dan terjadinya kekerasan pada daerah bisnis di Tanah Papua.” 

Feki Mobalen, direktur Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong, mengatakan situasi di Tanah saat ini adalah terjadi perebutan wilayah antara perempuan adat dan komunitas adat yang ingin mempertahankan ruang hidup serta investor dengan kepentingan bisnisnya.

Menurut Feki, meski investor telah lama bercokok di Tanah Papua, dimulai oleh perusahaan tambang emas Freeport pada 1953, belum ada dampak signifikan pada peningkatan taraf hidup masyarakat adat. 

“Hingga saat ini bisnis dan investasi di Tanah Papua belum berdampak signifikan bagi komunitas adat di Sorong maupun wilayah lainnya,” kata Feki. 

Dia menyebut, aktivitas bisnis di Papua semakin meminggirkan masyarakat adat. “Situasi terakhir hari ini adalah masyarakat adat akan sangat sulit untuk menjaga dan mengukuhkan wilayah adatnya.”