Angka di Balik Konflik Papua: 63 Tewas Puluhan Ribu Mengungsi
Penulis : Kennial Laia
HAM
Selasa, 22 Februari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan, 63 orang meninggal akibat konflik bersenjata di Tanah Papua sepanjang tahun 2021. Sementara itu puluhan ribu Orang Asli Papua (OAP) juga mengungsi dari rumahnya akibat kehilangan rasa aman.
Berdasarkan Catatan Akhit Tahun 2021 Pusaka, konflik bersenjata terjadi di enam Kabupaten, yakni Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Puncak, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Nduga, dan Kabupaten Maybrat. Mobilisasi aparat keamanan seperti polisi dan tantara juga terus bertambah ke daerah tersebut.
Konflik terjadi hampir sepanjang tahun, di mana polisi maupun tentara berhadapan dengan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
Pusaka mencatat terdapat 66 peristiwa terkait konflik bersenjata di enam kabupaten yang mengalami konflik, disertai dengan tindakan kekerasan, penangkapan, pengrusakan dan pembakaran fasilitas publik maupun swasta.
Menurut Pusaka, ada tiga motif yang memicu konflik di Tanah Papua. Di antaranya adalah motif politik untuk pemisahan diri dari Indonesia; motif pengendalian gerakan politik melalui operasi keamanan dan kekerasan; serta motif ekonomi untuk ekspansi dan eksploitasi sumber daya alam.
Pada 2021, konflik terjadi hampir sepanjang tahun. Pada Januari dan Februari, terjadi kontak senjata dan kekerasan terutama di Kabupaten Intan Jaya.
Pada April dan Mei, terjadi 18 kontak senjata dan kekerasan di Kabupaten Puncak. Kemudian pada September dan November, terjadi 19 kontak senjata dan kekerasan di Kabupaten Puncak, Pegunungan Bintang, Yahukimo, dan Maybrat.
Pusaka mengatakan, ketegangan dan tindakan peperangan antara dua kelompok bersenjata tidak hanya berdampak pada pasukan bersenjata itu sendiri, akan tetapi meluas ke penduduk sipil yang tidak terlibat.
“Penduduk sipil kerap menjadi sasaran kekerasan dengan berbagai tuduhan yang dibuat, serta terpaksa atau dipaksa mengungsi ke wilayah setempat untuk mendapatkan perlindungan keamanan,” tulis Pusaka.
Selain korban dari TNI/Polridan TPNPB-OPM, 63 penduduk sipil meninggal di daerah konflik. Latar belakang beragam termasuk warga biasa, pedagang kios, pelajar, tukang ojek, kuli bangunan, karyawan swasta, tenaga kesehatan, dan satu bayi berusia dua tahun.
“Dalam kasus ini, aparat keamanan diduga melakukan dan melanggar tindak pidana yang menghilangkan nyawa dan atau kekerasan secara bersama-sama dan atau penganiayaan yang mengakibatkan kematian, sebagaimana diatur dalam Pasal 338 jo Pasal 170 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 351 ayat (2) dan (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” tulis Pusaka.
Ribuan orang juga terpaksa mengungsi dari rumahnya. Diperkirakan terdapat 51.422 pindah ke daerah baru atau hutan yang sulit dijangkau. Pengungsi dari Kabupaten Nduga sebanyak lebih dari 37.000 jiwa yang tersebar di beberapa daerah sejak 2019.
Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat (2021) melaporkan jumlah pengungsi dari Kabupaten Maybrat sebanyak 3.121 orang, diantaranya 575 orang merupakan anak usia sekolah dengan umur 7 –18 tahun.
Berdasarkan pemantauan lapangan, Pusaka melaporkan perlindungan serta pemenuhan kebutuhan dasar para pengungsi sangat terbatas. Sebagian juga mengalami sakit dan trauma.
Dilaporkan ada 8 warga pengungsi Maybrat meninggal di tempat pengungsian. Sementara itu pengungsi dari Nduga dan kabupaten lainnya juga mengalami perlindungan dan akses bantuan minim.
Menurut Pusaka, para pengungsi juga tetap mengalami kekerasan. Mereka ditangkap dan diintimidasi dalam proses pemeriksaan yang mengaitkan dengan konflik atau operasi pengejaran orang dalam DPO.
“Kami menilai masyarakat Papua telah kehilangan rasa aman karena konflik yang terjadi. Pemerintah mengembangkan program pembangunan dan peningkatan kesejahteraan untuk menyelesaikan konflik di Tanah Papua. Namun hal ini belum menunjukkan akan berakhirnya konflik,” tutur Pusaka.
Pusaka menambahkan, berbagai pihak telah menyerukan adanya dialog damai dan bermartabat untuk menyelesaikan konflik. Mulai dari organisasi akar rumput, sosial politik, hingga keagamaan di Tanah Papua. “Namun, sejauh ini belum ada tanda berarti yang mempertemukan para pihak.”
Enembe Klaim Warga Papua tak Aman di Negeri Sendiri
Sebelumnya, Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan warga Papua merasa tidak aman hidup di negeri sendiri. Lukas menyebut semua orang Papua menangis.
Pernyataan itu terekam dan beredar di media sosial. Lukas berkata warga Intan Jaya, Puncak, Nduga, Boven Digoel, dan Maybrat hidup dalam kesedihan.
"Orang menangis, orang tidak hidup aman di negeri kita sendiri, tidak hidup aman!" kata Lukas dalam video berdurasi 44 detik tersebut.
Lukas menyampaikan warganya tidak hidup dengan kebahagiaan. Dengan nada meninggi, ia menegaskan tak ada warga Papua yang senang.
"Seluruh Papua, di muka bumi ini, yang tidak happy itu orang Papua. Kamu catat itu," ujarnya.
Juru Bicara Gubernur Papua Muhammad Rifai Darus mengonfirmasi pernyataan Lukas tersebut. Rifai berkata pernyataan Lukas merupakan bentuk empati karena melihat masih banyak orang Papua menderita karena persoalan keamanan.
"Seperti kejadian yang terjadi di Kabupaten Puncak, Pegunungan Bintang, dan di Maybrat Papua Barat. Di mana masih banyak orang Papua menangis karena faktor keamanan. Jadi, jangan diartikan sempit," ucap Rifai, dikutip dari keterangan tertulis di situs resmi Pemerintah Provinsi Papua.
Rifai meminta seluruh pihak tidak memolitisasi video Lukas tersebut. Dia juga meminta tak ada pihak yang mengaitkan pernyataan Lukas dengan gerakan separatis di Papua.
"Termasuk dalam hoaks yang baru beredar berkenaan dengan Deklarasi Independent Papua Movement di Bali tanggal 16 Februari 2022 yang menggiring keterlibatan beliau," ujarnya.