Krisis Iklim Memburuk, Aktivis Desak Bank Stop Pendanaan Batubara

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Rabu, 02 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Aktivis iklim di Indonesia mendesak sektor perbankan agar berhenti mendanai bisnis batu bara, mulai dari aktivitas pertambangan hingga pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Untuk diketahui, bahan bakar fosil tersebut merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca, yang menyebabkan pemanasan global. 

Desakan itu seiring dengan terbitnya laporan terbaru Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada Senin, 28 Februari 2022. Secara gamblang, laporan menyajikan berbagai dampak mengerikan bagi peradaban di bumi, mulai dari bencana kekeringan, banjir, gelombang panas, hingga kebakaran hutan dan lahan. Manusia dan makhluk hidup lainnya akan menderita dari bencana iklim ini jika tidak ada tindakan segera. 

Jeri Asmoro, pengkampanye digital 350.org Indonesia, mengatakan bahwa laporan tersebut menegaskan bahwa harus ada tindakan segera untuk meredam dampak krisis iklim. Pasalnya, membahayakan kehidupan di bumi dan seluruh penghuninya. Menurutnya, untuk mencegah konsekuensi terburuk, seluruh pihak mempunyai peran untuk menghentikan krisis, termasuk sektor perbankan.

“Perbankan punya peran besar di sini. Sebagian masih menjadi pihak yang menyebabkan berbagai bencana iklim terus terjadi ketika masih mendanai proyek energi fosil,” kata Jeri kepada wartawan dalam konferensi pers daring, Selasa, 1 Maret 2022.

Seorang demonstran memegang spanduk dalam aksi iklim oleh gabungan komunitas dan organisasi sipil di depan Gedung Grha BNI, Jakarta, Senin, 28 Februari 2022. Aksi tersebut mendesak sektor perbankan menghentikan pendanaan kepada industri batu bara. Foto: Istimewa

“Kita semua mempertanyakan peran mereka, apakah mereka bagian dari solusi dengan melakukan praktik keuangan berkelanjutan?”. 

Menurut Koordinator Asosiasi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pius Ginting, saat ini terdapat empat bank besar di Indonesia yang masih mendanai proyek energi batu bara. Di antaranya adalah Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Central Asia (BCA).

Pius menjelaskan bahwa tren pinjaman bank dalam negeri terhadap industri batu bara masih tinggi. Pada periode 2018-2019, terdapat Rp 89 triliun uang mengalir ke sektor tersebut. Angka itu jauh lebih tinggi dari investasi di sektor energi terbarukan sebesar 21,5 triliun.

“Sudah waktunya (perbankan) berkomitmen untuk berhenti mendanai batu bara. Karena pendanaan ini yang memungkinkan kenaikan produksi batu bara terus terjadi,” kata Pius. 

Secara global, tren investasi di sektor energi terbarukan mulai meningkat. Berbagai bank internasional juga telah menyatakan komitmen untuk berhenti mendanai industri batu bara. Pada 2021, bank asal Inggris HSBC menyatakan berencana mengurangi pendanaan pertambangan batu bara sebesar 25% pada 2025 dan 50% pada 2030. 

“Bisa jadi (tren dunia) berada dalam jalur yang tepat, tapi apakah cukup cepat? Kita tahu batas waktu untuk mitigasi dampak perubahan iklim sekitar delapan tahun lagi,” kata Pius.

Pada 2020, para ilmuwan terkemukan yang tergabung dalam IPCC telah mengingatkan bahwa dunia memiliki waktu 10 tahun untuk mengurangi emisi sebesar 45% demi mitigasi dampak krisis iklim. Namun, meski emisi karbon berkurang pada tahun pertama pandemi Covid-19, berbagai laporan menyebut kenaikan kembali seiring kembali normalnya aktivitas ekonomi di berbagai belahan dunia. 

Menurut Interim Indonesia Team Leader 350 Firdaus Cahyadi, peran perbankan dalam krisis iklim melalui pendanaan energi kotor batu bara sangat mengecewakan. Sementara itu, klaim beberapa bank untuk mendukung sistem keuangan berkelanjutan tidak dilakukan.

“Beberapa kali BNI mengklaim mendukung upaya pengurangan gas rumah kaca, penyebab krisis iklim, namun ternyata masih mendanai batu bara. Ini sungguh mengecewakan,” tutur Firdaus.

Sementara itu jurnalis lingkungan  Brigitta Isworo Laksmi mengatakan, pemerintah bisa melibatkan masyarakat adat dalam mengatasi krisis iklim. “Dalam laporan IPCC yg berkaitan dengan dampak, adaptasi, dan kerentanan ini ditekankan pentingnya peran masyarakat adat dan masyarakat lokal karena mereka memiliki pengetahuan tentang dunia, tentang alam,“ ujar Brigitta.

“Karena itu penting untuk melibatkan mereka karena mereka yg  tahu cara mengatasi krisis iklim.”

Menurutnya, banyaknya masyarakat adat di Indonesia seharusnya memungkinkan pemerintah mengambil langkah strategis dengan pelibatan dalam merencanakan pembangunan untuk ketahanan iklim.