Masyarakat Pesisir Masuk Grup Paling Rentan Terhadap Krisis Iklim

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Sabtu, 05 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi salah satu yang terdampak parah akibat krisis iklim dalam tahun-tahun ke depan. Hal itu disampaikan dalam laporan terbaru Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang terbit awal pekan ini.

Laporan yang disusun oleh 300 ilmuwan terkemuka dari seluruh dunia itu menyajikan proyeksi mengerikan mengenai nasib bumi, peradaban manusia, dan seluruh ekosistem di dalamnya. Setiap orang akan terdampak, tanpa kecuali, dari naiknya suhu hingga cuaca ekstrem. 

Setengah dari populasi global, antara 3.3 miliar dan 3.6 miliar orang, tinggal di wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim.

Menurut laporan tersebut, salah satu yang akan mengalami dampak paling parah adalah wilayah pesisir di seluruh dunia dan pulau-pulau kecil di dataran rendah, yang akan menghadapi genangan/banjir dengan kenaikan suhu lebih dari 1.5C.

Perahu nelayan melewati air laut yang keruh akibat aktivitas kapal isap produksi milik PT Timah. Foto: @jatamnas

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, laporan yang terbit pada Senin, 28 Februari 2022, itu relevan dengan kondisi wilayah dan masyarakat pesisir di Indonesia.

“Ironisnya, dalam setiap konferensi iklim (COP), pemerintah selalu hadir dengan komitmen yang fantastis,” kata Susan kepada Betahita, Selasa, 1 Maret 2022. 

Aktivitas ini diakomodir pemerintah lewat berbagai perizinan dan kebijakan. Catatan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada 2018 menyebut terdapat sekitar 55 pulau kecil dengan total 164 izin tambang mineral dan batu bara di seluruh Indonesia. Di antaranya  termasuk Pulau Gee, Maluku Utara; Pulau Romang, Sulawesi Utara; Pulau Waonii, Sulawesi Tenggara; dan Pulau Bunyu, Kalimantan Utara.

Susan mengatakan, saat ini pemerintah tengah berupaya mendorong proyek Stream Estate, yang merupakan rencana pembangunan tambak udang di atas lahan seluas 2,6 juta hektare. Menurut Susan, hampir pasti proyek ini akan membabat mangrove. 

“Proyek ini berbanding terbalik dengan program pemerintah yang juga menanam mangrove di saat bersamaan. Ini keabsurdan pemerintah dalam merespons krisis iklim,” kata Susan.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah Chudiel mengatakan, masyarakat pesisir berada dalam posisi yang sangat rentan. Pasalnya, pengetahuan mengenai krisis iklim dan kapasitas menghadapinya. 

“Ini membuat masyarakat pesisir tidak siap menghadapi dampak krisis iklim di masa depan,” kata Afdillah.

Menurut Afdillah, pemerintah saat ini belum memiliki komitmen yang serius. Dia mendesak agar pemerintah memperhatikan laporan IPCC dan melihatnya sebagai peringatan keras untuk segera meningkatkan upaya mencegah bencana iklim dan mitigasi dampak di masa depan.

“Indonesia harus fokus pada kegiatan ekonomi yang mengurangi emisi, beralih ke energi terbarukan, dan menghindari kerugian ekonomi akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi,” tutur Afdillah.

Para ilmuwan dalam laporan IPCC menyebut bahwa adaptasi dampak harus segera dilakukan di kawasan pesisir, termasuk membangun benteng banjir, menanam tanaman berbeda penahan ombak, atau membangun infrastruktur tahan iklim.  

Susan mengatakan, adaptasi melalui pembangunan infrastruktur seperti tanggul laut, pemecah ombak, dan reklamasi dapat menyusahkan akses nelayan untuk melaut.

“Yang perlu dipikirkan adalah pola adaptasi disparitas geografis Indonesia untuk masyarakat beradaptasi. Misalnya di Talise, Palu, yang percaya bahwa salah satu yang membuat mereka terlindungi dari tsunami adalah pohon ketapang yang banyak tumbuh di area pantai,” jelas Susan.

“Namun pola adaptasi ini jarang sekali dilirik karena prosesnya panjang dan dananya tidak terlalu besar. Jelas ini tidak menarik para ‘pemain’ proyek infrastruktur yang uangnya besar,” kata Susan lagi.

Susan menambahkan, bahwa masyarakat tradisional di kawasan pesisir memiliki pengetahuan tradisional dalam kesiapsiagaan terhadap bencana pesisir. Di pulau Simeulue, Aceh, misalnya, memiliki kearifan lokal bernama nandong smong. Sebuah kesenian tradisional yang mengajarkan anak-anak dan segala usia untuk melihat gejala bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami. Rumah panggung berbentuk panggung milik masyarakat pesisir juga jadi salah satu bentuk adaptasi masyarakat. 

“Pengetahuan lokal ini yang harusnya disebarkan ke masyarakat luas. Namun saat ini kurikulum pun belum memasukkan isu lingkungan dan krisis iklim. Pemeritah pun punya versi sendiri terkait pola adaptasi yang justru tidak menjawab disparitas geografis kita,” kata Susan.