Stimulus G20 untuk Pemulihan Pandemi, Hanya 6% Dinilai "Hijau"

Penulis : Tim Betahita

Perubahan Iklim

Minggu, 06 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Analisis terhadap stimulus fiskal dari negara anggota G20 untuk pemulihan pandemi Covid-19 menunjukkan hanya sekitar 6% ditujukan untuk pengeluarah “hijau”. Jumlah ini dianggap sangat rendah dari total USD 14 triliun yang dicurahkan.  

Selain itu, sekitar 3% dari jumlah yang dikeluarkan pemerintah di seluruh dunia untuk menyelamatkan ekonomi global dihabiskan untuk kegiatan yang akan meningkatkan emisi karbon, seperti subsidi untuk batu bara. Hanya sedikit yang digunakan untuk mengurangi gas rumah kaca atau menggeser dunia ke pijakan rendah karbon.  

Analisis pengeluaran stimulus fiskal G20 ini diterbitkan di jurnal Nature, Rabu, 2 Maret 2022. Hasil dari kajian ini membantah berbagai klaim dari pemerintah di seluruh dunia mengenai kemajuan “pemulihan hijau” yang akan “membangun kembali secara lebih baik” dari pergolakan akibat pandemi dan lockdown.  

Analisis itu muncul tepat usai terbitnya laporan dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), yang disebut sebagai “peringatan paling suram” tentang kerusakan akibat krisis iklim yang tengah berlangsung. IPCC juga memperingatkan bahwa hanya tindakan mendesak untuk mengurangi emisi yang dapat mencegah hasil terburuk.

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga uap batu bara. Foto: Getty Images

Jonas Nahm, penulis utama studi dari School of Advanced International Studies di Johns Hopkins University, Amerika Serikat, mengatakan bahwa pengeluaran yang diarahkan untuk pemulihan ekonomi dapat meningkatkan peluang umat manusia untuk berada dalam ambang batas kenaikan suhu 1,5C.  

“Kita secara kolektif telah melewatkan hal itu,” kata Nahm, dikutip The Guardian. 

“Sangat mengecewakan karena pemerintah belum sepenuhnya memahami bahwa pertumbuhan ekonomi, kemakmuran, dan pengurangan emisi sebenarnya saling melengkapi,” jelasnya.  

Sebagian besar pengeluaran pemerintah terkait pandemi berkontribusi pada pendanaan untuk sistem kesehatan dan upah. Namun negara-negara kehilangan kesempatan untuk melampirkan “prasyarat hijau” pada paket penyelamatan untuk industri bahan bakar fosil.  

Prancis, misalnya, bersikeras bahwa maskapai yang menerima dana talangan harus berhenti bersaing untuk mendapatkan penumpang dengan layanan kereta api di sebagian besar rute domestik. Namun, tidak ada negara lain yang membuat ketentuan signifikan untuk industri di negaranya.  

Analisis tersebut menilai Inggris berkinerja sangat buruk. Pasalnya, hanya 10% dari pengeluaran stimulusnya digunakan untuk langkah-langkah yang dapat mengurangi emisi. Ini terjadi meskipun retorika hijau meningkat dari perdana menteri Boris Johnson.  Uni Eropa mendapat penilaian yang lebih baik. Lebih dari 30% dari stimulusnya dinilai hijau.

Sementara itu Amerika Serikat menunjukkan gambaran yang lebih beragam. Beberapa paket stimulus berhasil lolos, dan beberapa memerlukan pengeluaran hijau lebih lanjut dihadang di Kongres.  

Beberapa pemerintah mengarahkan sejumlah besar dana untuk memulihkan sektor bahan bakar fosil. India menghabiskan USD 14 miliar untuk menopang industri batu baranya selama krisis ekonomi. Afrika Selatan mengalokasikan USD 11,4 miliar dalam jaminan untuk membeli listrik, yang sebagian besar dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Sementara itu Cina meningkatkan produksi dari tambang batu bara, yang menyebabkan peningkatan tajam dalam penggunaan batu bara. 

Para ekonom telah menunjukkan bahwa berinvestasi di banyak bidang yang diperlukan untuk mengubah ekonomi ke pijakan rendah karbon akan memiliki dampak yang menguntungkan secara ekonomi, yang mengarah pada pekerjaan jangka pendek dan jangka panjang.

Contohnya, memasang jaringan pengisi daya kendaraan listrik, membangun pembangkit energi terbarukan, menanam pohon, dan membangun pertahanan banjir. Ini semua membutuhkan tenaga kerja terampil dan tidak terampil, dan menghasilkan manfaat kesehatan dan sosial serta mengurangi emisi karbon. 

Tingkat pengeluaran rendah karbon yang kecil yang diungkapkan dalam studi Nature menunjukkan pemulihan dari Covid-19 kurang ramah lingkungan dibandingkan dengan krisis keuangan 2008. Kala itu sekitar 16% dari pengeluaran pemulihan digunakan untuk kegiatan yang mengurangi emisi gas rumah kaca atau meningkatkan kualitas lingkungan.

The Guardian