Hari Perempuan Sedunia, Begini Kata Mereka Soal Krisis Iklim

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Selasa, 08 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Setiap 8 Maret, masyarakat di seluruh penjuru dunia memperingati Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day (IWD). Di tengah krisis iklim yang semakin mengancam umat manusia di bumi peringatan IWD di 2022 memiliki makna penting.

Dalam konteks krisis iklim di Indonesia, perempuan menghadapi meningkatnya frekuensi bencana ekologis akibat krisis iklim. Di sisi lain, 350.org Indonesia menilai masih banyak pihak belum peduli pada isu ini, termasuk perbankan. Di Indonesia misalnya, empat bank papan atas masih mendanai bisnis pertambangan batu bara

“Di hari perempuan internasional ini penting bagi kita memahami bahwa perempuan merupakan kelompok paling rentan terdampak krisis iklim,” ungkap Astrid Pradana dari Climate Rangers Jakarta, dalam keterangan yang diterima Betahita, Selasa, 8 Maret 2022. 

“Walau demikian, gerakan perempuan dalam aksi iklim ada bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk keselamatan semua penduduk bumi.”

Dian Paramita dari Indonesia Digital Organizer 350.org mengatakan, ada banyak perempuan yang menjadi pejuang iklim, beberapa terkenal dan yang lainnya adalah pahlawan dalam senyap. 

“Banyak dari mereka kekurangan informasi dan pendidikan. Selain itu, perempuan pejuang iklim juga harus menghadapi perundungan, diskriminasi, dan kekerasan. Karena itu, dukungan dari masyarakat adalah salah satu faktor terpenting dalam kesuksesan mereka,” ujar Dian.

Seorang perempuan muda melakukan aksi teatrikal dalam aksi damai mengenai krisis iklim dan peran perbankan mendanai industri batu bara di Jakarta, awal Maret 2022. Foto: Istimewa

“Pada akhirnya, masa depan perempuan adalah masa depan kita. Gerakan perempuan dalam aksi iklim akan menyelamatkan dunia,” tukasnya.

Krisis iklim, menurut Shanaz dari komunitas Fosil Free Universitas Indonesia, memengaruhi perempuan dan laki-laki. “Namun, seringkali perempuan mengalami diskriminasi,” ungkapnya, “Saat terjadi alih fungsi lahan di desa, misalnya, hanya laki-laki yg dilibatkan dalam bernegosiasi.”

Menurut Arami Kasih dari Komunitas Fossil Free Jogjakarta, krisis iklim itu akar masalah dari berbagai fenomena alam dan bencana yang terjadi di seluruh dunia. Dampaknya meluas, mulai dari curah hujan ekstrem, banjir, kekeringan, hingga mencairnya es di kutub.

“Dampaknya bisa jauh dan kemana-mana. Perempuan harus ikut bergerak dalam aksi iklim, karena kita punya peran besar,” tandas Arami.