Bencana Hidrometeorologi Makin Sering Karena Perubahan Iklim
Penulis : Kennial Laia
Perubahan Iklim
Jumat, 11 Maret 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Sejumlah bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor terjadi di beberapa wilayah Indonesia, sepanjang musim hujan mulai Desember 2021 hingga awal Maret 2022. Rangkaian bencana ini adalah bukti nyata untuk segera memperkuat upaya mitigasi perubahan iklim Indonesia yang saat ini sedang menjadi sorotan dunia sebagai Presidensi G20 sepanjang tahun ini.
Bencana banjir dan longsor pada periode tersebut antara lain terjadi di Jawa Tengah (Semarang, Salatiga, dan dataran tinggi Dieng, Wonosobo), Jawa Timur (Jember, Probolinggo dan kawasan Gunung Lawu, Magetan), Bengkulu (terjadi di delapan daerah), dan Kalimantan Barat (Kabupaten Sintang).
Dalam catatan akhir tahun 2021 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 3.092 kejadian yang didominasi bencana hidrometeorologi. Banjir paling sering terjadi (1.298 kejadian), disusul cuaca ekstrem (804), tanah longsor (632), kebakaran hutan dan lahan (265), gelombang pasang dan abrasi (45), gempa bumi (32), kekeringan (15), dan erupsi gunung api (1).
Curah hujan dengan intensitas tinggi juga diduga menyebabkan terjadinya banjir lahar di Gunung Semeru pada Desember 2021. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan beberapa peringatan dini cuaca ekstrem. Sejumlah wilayah yang masuk ke dalam kategori waspada potensi cuaca ekstrem meliputi beberapa kawasan, mulai dari Aceh hingga Papua Barat.
Prof Edvin Aldrian, ahli meteorologi dan klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional dan Vice Chair Working Group 1 Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), mengatakan bahwa saat ini La Nina masih terjadi. Fenomena ini ketika suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan di bawah kondisi normal.
Salah satu dampaknya, misalnya, air hangat masuk ke perairan Indonesia. Ini memengaruhi pembentukan awan yang lebih banyak dari biasanya. “Fenomena alam inilah yang mendorong terjadinya peningkatan intensitas hujan di Indonesia,” jelas Prof Edvin dalam keterangan tertulis, Selasa, 8 Maret 2022.
“Akibatnya, musim hujan kali ini lebih basah dari sebelumnya. Tingginya curah hujan selanjutnya mengakibatkan banjir dan tanah longsor,” tambahnya.
Curah hujan yang tinggi juga diduga sebagai penyebab terjadinya erupsi atau banjir lahar di Gunung Semeru pada akhir tahun 2021. Dengan kata lain, bencana hidrometeorologi ini ternyata ikut memperparah bencana vulkanologi yang masih berpeluang untuk terjadi di waktu mendatang.
Guru Besar Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Prof Nana Sulaksana mengatakan, proses pembentukan kubah di Gunung Semeru berhubungan dengan perubahan iklim.
“Bencana vulkanologi pada Gunung Semeru saat musim hujan menunjukkan kegiatan erupsi. Proses magmatisme bergerak ke atas dan membeku di puncak gunung. Pembekuan inilah yang kemudian membentuk kubah. Adanya perubahan iklim, menyebabkan hujan yang sangat ekstrem, sehingga tumpukan dari material tersebut bercampur dengan tambahan air dari hujan,” jelas Prof Nana.
“Untuk itu, saat hujan turun dengan intensitas tinggi, material vulkanik pun ikut terbawa melalui sungai. Banjir lahar ini terbawa arus melalui lembah dan menerpa pemukiman dengan kecepatan yang sangat tinggi,” tambahnya.
Rangkaian peristiwa bencana hidrometeorologi tersebut terjadi saat penyelenggaraan Presidensi Indonesia di G20, saat pemerintah berkomitmen untuk mengatasi perubahan iklim dan mengelola lingkungan secara berkelanjutan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa negara G20 harus berupaya mencari cara memperoleh pembiayaan dan investasi ekonomi hijau dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 pada pertengahan Februari 2022. Bahkan, ia menekankan bahwa perubahan iklim bisa berdampak lebih besar dibandingkan pandemi.
Untuk itu, langkah yang diambil negara-negara G20 saat ini akan menjadi penentu keberlanjutan kehidupan dunia depannya, baik untuk masyarakat Indonesia maupun masyarakat global.
Berikut adalah beberapa rekomendasi aksi nyata yang bisa menyumbang pada upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia.
Perlambatan laju deforestasi perlu menjadi komitmen G20
Berdasarkan laporan Working Group II IPCC bertajuk “Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability” yang diluncurkan akhir Februari lalu, kebutuhan untuk melakukan upaya global penanganan perubahan iklim sangat mendesak karena bencana kekeringan dan banjir semakin berdampak pada kehidupan banyak orang.
Laporan ini telah disetujui oleh 195 negara anggota IPCC dan bersepakat bahwa kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim perlu ditingkatkan, selain tentunya dengan cepat melakukan pengurangan emisi karbon. Salah satu cara untuk melakukan pengurangan ini adalah dengan menekan laju deforestasi.
“Sebagai pemegang Presidensi G20, Indonesia berada pada posisi untuk melakukan negosiasi dengan negara-negara G20 untuk membahas mitigasi bencana cuaca ekstrem. Selain itu, sebaiknya kita juga menjadi contoh untuk negara-negara berkembang di G20. Hal ini penting karena penanganan perubahan iklim sangat tergantung dari komitmen negara-negara maju untuk berbagi dan melakukan alih teknologi kepada negara berkembang,” kata Prof Edvin.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim telah berhasil menurunkan laju deforestasi hingga 75% pada periode 2019-2020. Menurut KLHK, saat ini laju kehilangan tutupan hutan berada di angka 115,46 ribu hektare atau turun sebesar 462,46 ribu hektare dibandingkan periode sebelumnya.
Meski menurun, berbagai pengamat lingkungan menyatakan bahwa 10 provinsi kaya hutan alam terus mengalami deforestasi. Di antaranya, Papua, Papua Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Aceh, Maluku, dan Maluku Utara.
Ke-10 provinsi ini mengalami penurunan dalam rentang waktu 2015-2019. Analisis Yayasan Auriga Nusantara mengungkap, total deforestasi di 10 provinsi pada periode tersebut mencapai 1.854.317 hektare.
Prof Edvin mengatakan, Indonesia perlu menjaga hutannya. Dukungan finansial dibutuhkan untuk upaya tersebut, misalnya melalui pemberian insentif untuk hutan agar tidak ditebang. “Usulan insentif semacam ini perlu dirumuskan dalam G20 agar manfaatnya bisa dirasakan langsung hingga tingkat pemerintah daerah,” tuturnya.
Antisipasi banjir dan longsor harus jadi prioritas
Selain itu, tata kelola lahan secara berkelanjutan perlu dilakukan untuk mitigasi banjir dan longsor. Menurut Kepala Divisi Perlindungan dan Pengembangan Wilayah Kelola Rakyat WALHI Chaus Uslaini, skema perhutanan sosial dapat berkontribusi pada tujuan ini sekaligus mendukung perekonomian masyarakat di daerah.
“Namun, salah satu pekerjaan rumah bagi pemerintahan setempat adalah upaya untuk memastikan masyarakat yang sudah mendapatkan izin pengelolaan bagi kawasan hutan memiliki pemahaman yang baik untuk mengelola lahannya secara berkelanjutan dan aturan terkait izin, misalnya terkait jenis tanaman yang boleh ditanam,” kata Chaus.
Aturan lainnya adalah tidak diperbolehkan menanam kelapa sawit dalam areal perhutanan sosial apalagi kawasan tersebut berstatus hutan lindung atau kawasan hutan konservasi. Selain itu, tidak boleh membuka lahan dalam skala yang luas untuk mengganti tanaman yang lebih produktif.
“Penting bagi anggota masyarakat pengelola perhutanan sosial untuk mengelola lahan secara berkelanjutan, bermanfaat secara ekonomi tapi tidak meningkatkan ancaman bencana di masa depan karena kesalahan dalam tata kelola lahannya” tambah Chaus.
Chaus melanjutkan, masyarakat harus mendapatkan edukasi terkait antisipasi bencana cuaca ekstrem. Berbagai pemangku kepentingan seperti BMKG, akademisi, lembaga masyarakat, ahli, dan forum pengurangan risiko bencana diharapkan melakukan tugasnya untuk menyediakan informasi kepada masyarakat.
“Forum inilah yang kemudian diharapkan bergerak untuk melakukan edukasi dan pendampingan masyarakat untuk antisipasi bencana hidrometeorologi,” ujar Chaus.
“Bencana hidrometeorologi akibat curah hujan tinggi bisa jadi ancaman yang paling mendesak untuk ditangani saat ini. Ke depannya terdapat potensi bencana kekeringan yang juga perlu diantisipasi.”
Prof Nana mengatakan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci keberhasilan penanggulangan bencana. Selain Forum Pengurangan Risiko Bencana, forum yang terbentuk di perguruan tinggi juga dapat difungsikan untuk mengedukasi masyarakat dan bersinergi dengan pemerintah dalam upaya pengurangan risiko bencana.
“Mitigasi bencana bisa dilakukan dengan memetakan wilayah mana saja yang rawan bencana. Tapi ketika bencana terjadi, perlu ditetapkan siapa yang berhak memberikan peringatan kepada masyarakat di wilayah potensi bencana tersebut,” kata Prof Nana.
“Pemerintah daerah harus mendapatkan kewenangan lebih agar hasilnya bisa maksimal. Jangan sampai tidak ada sinergi antara Bupati, pejabat pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Apalagi kalau harus laporan dulu ke pemerintah pusat sebelum bisa bertindak,” tandas Prof Nana.