Menguji Taji Komnas HAM RI demi Perlindungan Pejuang Lingkungan

Penulis : Ifziwarti, Peneliti Hukum Yayasan Auriga Nusantara

Opini

Kamis, 10 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Beberapa waktu lalu, deretan kasus kekerasan terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanah dan sumber kehidupannya, menambah panjang catatan kelam lemahnya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

Kasus kekerasan di Desa Wadas salah satu di antaranya. Pengerahan ratusan personel kepolisian dan tindakan represif dalam proses penangkapan yang terjadi kepada masyarakat Wadas pada 8 Februari 2022 lalu. Tindakan represif tersebut tidak hanya berdampak pada kondisi fisik dan ekonomi, namun juga kondisi psikologi masyarakat. Padahal untuk memperoleh rasa keadilan, rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman dan kekerasan merupakan hak asasi manusia sekaligus hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi.

Bahkan terhadap peristiwa kericuhan di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) menyampaikan adanya pelanggaran hak asasi manusia yakni tindak kekerasan dan pengabaian hak warga yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Namun temuan Komnas HAM RI tersebut tidak mendapatkan tindak lanjut apapun dari kepolisian atas peristiwa yang terjadi.

Kekerasan terhadap masyarakat terutama yang berjuang mempertahankan tanah dan sumber daya alam sering terjadi dan berulang-ulang tanpa ada pertanggungjawaban dari pelaku kekerasan. Ketika diusut pun berujung hanya pada penyampaian rekomendasi tanpa ada pertanggungjawaban dari tindak kekerasan dan pelanggaran HAM RI yang dilakukan.

Suasana penangkapan paksa warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Selasa, 8 Februari 2022. Foto: Tangkapan layar video @wadas_melawan/Betahita

Komnas HAM RI sebagai lembaga independen yang dibentuk untuk meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Diharapkan mampu memberikan perlindungan serta melaksanakan penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.

Komnas HAM RI Dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993, kemudian dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Keberadaan Komnas HAM RI pun diperkuat dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang memberikan wewenang kepada Komnas HAM RI untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Selain berwenang melakukan penyelidikan, Komnas HAM RI juga berwenang untuk melakukan pengawasan berupa evaluasi kebijakan pemerintah pusat maupun daerah terhadap ada atau tidaknya diskriminasi ras atau etnis. Dan untuk melaksanakan wewenang tersebut, Komnas HAM RI dapat melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi.

Terpisah-pisahnya pengaturan kewenangan Komnas HAM RI dalam manjalankan tugasnya juga menjadi salah satu lemahnya posisi Komnas HAM RI dalam sistem ketatanegaraan. Tidak seperti lembaga negara independen lain yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Hingga hari ini undang-undang tentang Komnas HAM RI belum tersedia.

Keberadaan Komnas HAM RI dalam Mengusut Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Eksistensi Komnas HAM RI sebagai lembaga negara yang dibentuk untuk penegakan dan perlindungan hak asasi manusia, sebenarnya sudah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Dapat dilihat dari Laporan Tahunan Komnas HAM RI dalam lima tahun terakhir, pengaduan yang disampaikan sebesar 2.000 hingga 6.000 berkas kasus per tahun. Untuk kasus pelanggaran HAM masa lalu sebanyak dua belas kasus sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti.

Walaupun di beberapa kasus, Komnas HAM RI dianggap tidak proaktif dalam merespon laporan yang sudah disampaikan. Seperti kasus penganiayaan anak di bawah umur yang menewaskan satu orang anak sekolah dasar di Papua yang terjadi pada 20 Februari lalu, yang di duga di aniaya oleh aparat keamanan di Distrik Sinak, Papua. Hingga peristiwa itu terjadi belum ada respon dari Komnas HAM RI sehingga beberapa mahasiswa Papua melakukan unjuk rasa di gedung Komnas HAM RI pada 7 Maret lalu.

Namun di tengah tuntutan penegakan hukum hak asasi manusia yang harus optimal dilakukan oleh Komnas HAM RI, kenyataannya tidak di dukung dengan desain kelembagaan dan kewenangan yang masih sangat lemah dan berdampak pada kemampuan institusi dalam melindungi dan menegakkan hak asasi manusia.

Desain kelembagaan Komnas HAM RI sebagai lembaga negara independen, mandiri bebas dari intervensi pihak manapun, berbanding terbalik dengan mekanisme rekrutmen komisioner Komnas HAM RI yang melalui mekanisme fit and proper test dan harus mendapat persetujuan DPR. Hal ini tentunya memberi peluang adanya intervensi kepentingan politik dalam pengambilan keputusan atau kebijakan.

Dari sisi kewenangan pun, sejumlah kewenangan yang dimiliki Komnas HAM belum efektif dan belum memadai. Yakni kewenangan melakukan penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM berat dengan membentuk tim pencari fakta atau Tim Ad Hoc. Hasil penyelidikan disampaikan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindak lanjuti. Dikarenakan hasil penyelidikan disampaikan dalam bentuk rekomendasi yang sifatnya tidak mengikat, maka tidak ada daya paksa untuk menindaklanjuti atau keharusan melaksanakan rekomendasi yang telah diberikan.

Terhadap temuan adanya pelanggaran HAM ringan pun, Komnas HAM RI hanya berwenang untuk menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah atau lembaga terkait untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya. Kewenangan yang dimiliki oleh Komnas HAM RI tidak cukup memadai jika tidak diberikan keharusan kepada penerima rekomendasi untuk melaksanakan rekomendasi tersebut.

Tujuan besar pembentukan Komnas HAM RI nyatanya tidak diiringi dengan pemberian kewenangan yang kuat untuk melindungi dan menegakkan hak asasi manusia di Indonesia. Di sini taji Komnas HAM benar-benar diuji.