Hutan Papua Hancur demi Kertas Korea Selatan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hutan
Kamis, 17 Maret 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Surga keanekaragaman hayati, kekayaan budaya masyarakat adat dan tangkapan karbon di wilayah paling timur Indonesia dalam ancaman. Kali ini ancaman itu datang dari perusahaan asal Korea Selatan yang terindikasi melakukan penghancuran hutan alam untuk produksi serpihan kayu pembuatan kertas yang dicap sebagai produk yang lestari dan beretika kepada konsumen di seluruh Dunia.
Penghancuran hutan itu diungkap secara terperinci dalam sebuah investigasi terbaru "Mencampakkan Hutan Hujan Terakhir: Bagaimana Harta Karun Papua Berakhir di Pembuangan sebagai Sampah Kertas" yang diterbitkan Environmental Paper Network (EPN), Mighty Earth, Pusaka, Solutions for Our Climate (SFOC), Korean Federation for Environmental Movement (KFEM) dan Advocates for Public Interest Law (APIL).
Sampai saat ini, hutan alam di provinsi paling timur di Indonesia ini relatif masih utuh. Namun, sejak gelombang perkebunan industri telah mengoyak wilayah tersebut, merusak seluruh ekosistem serta tanah masyarakat adat untuk menghasilkan komoditas di pasar global.
Tudingan perusakan hutan alam ini mengarah pada Moorim Paper. Perusahaan Korea Selatan ini--melalui anak perusahaannya PT Plasma Nutfah Marind Papua (PNMP)--diduga telah membabat hutan seluas 6 ribu hektare dalam rentang waktu 7 tahun, 2015 hingga 2021. Keberadaan perusahaan ini menjadikannya salah satu ancaman terbesar bagi hutan hujan di wilayah tersebut.
PT PNMP beroperasi di dekat Desa Buepe, Distrik Okaba dan Distrik Kaptel, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Di sana mereka menggunduli tumbuhan lokal dan menanam pohon akasia (Acacia mangium) dan kayu putih (Eucalyptus pelita).
Diperkirakan akan lebih banyak lagi hutan alam yang dihancurkan di tahun-tahun mendatang. Lantaran konsesi ini membentang lebih dari 64.050 hektare dan mencakup hutan alami dan bahkan sebagian hutan primer, lahan basah aluvial musiman, dan biomasa lainnya.
Menurut Global Forest Watch, sebelum penggundulan dimulai, konsesi milik PT PNMP mencakup hutan yang lebat. Lahan mereka termasuk 54.800 hektare hutan alami dan 9.610 hektare habitat lainnya, seperti padang rumput dan lahan basah aluvial musiman yang juga penting dikonservasi. Peta dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menandakan adanya hutan tanah kering primer dan hutan sekunder--baik rawa maupun tanah kering--di wilayah konsesi.
Konsesi ini terletak di pusat keanekaragaman hayati kunci yang sensitif, memiliki dua wilayah ekologis diidentifikasi oleh World Wildlife Fund (WWF) sebagai hutan rawa air tawar Papua Selatan dan hutan hujan dataran rendah Papua Selatan--yang disebut terakhir merupakan salah satu dari 200 lingkungan kunci terpenting di dunia. Seluruh konsesi ini merupakan bagian dari wilayah ekologis Trans-Fly yang memiliki status Warisan Dunia sebagai wilayah campuran alam dan kultural.
Wilayah tersebut merupakan pusat keanekaragaman hayati kunci. Di mana hutan, rawa, dan padang rumput bersatu dalam ekosistem unik dan rentan, yang bercirikan perubahan aluvial. Di dalam hutan-hutan ini, kanguru pohon yang cerdik melompat dari dahan ke dahan, sementara burung kasuari berlarian di bawahnya dengan bulu kasar khas mereka.
Wilayah ini juga merupakan rumah bagi 40 spesies mamalia, 30 spesies reptil, dan 130 spesies ikan yang semuanya termasuk dalam Daftar Merah Spesies Terancam Punah International Union for Conservation of Nature (IUCN). Surga ini sedang dimusnahkan untuk memproduksi serpihan kayu untuk pembuatan bahan kertas.
Menurut masyarakat lokal, banyak satwa langka dan terancam yang tinggal di wilayah tersebut. Yang paling tampak adalah kanguru pohon (genus Dendrolangus), yang meningkat kategorinya dari Terancam Kritis (Critically Endangered, CR) ke Rentan (Vulnerable, VU) pada Daftar Merah IUCN68 dan dilindungi oleh hukum Indonesia.
Mereka juga melaporkan keberadaan kuskus putih, dingiso, kura-kura moncong babi, dan burung kasuari, yang semuanya termasuk dalam Daftar Merah IUCN.
Cap: Tampak dari ketinggian jalan yang ada di areal konsesi PT PNMP di Merauke, Provinsi Papua./Foto: Pusaka
Hutan Papua Ada Pemiliknya
Hutan-hutan yang dibabat oleh Moorim di Papua ini bukanlah tanah kosong. Hutan itu adalah milik suku tradisional, yang telah membentuk kehidupan dan budaya mereka. Namun, bulldozer perusahaan menghancurkan tempat mencari ikan, berburu, dusun sagu, dan bahkan situs keramat mereka, di mana tanah suku-suku tersebut memiliki nilai-nilai sosial dan spiritual bagi mereka.
Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante mengatakan, Moorim telah gagal untuk menghormati hak-hak masyarakat adat dan menerapkan Persetujuan atas Dasar Informasi Awal tanpa Paksaan (Free Prior Informed Consent) untuk setiap kegiatan di tanah mereka.
“Kegagalan perusahaan untuk menghormati hak-hak masyarakat adat menyebabkan kerugian sosial ekonomi, budaya dan lingkungan. Masyarakat adat sudah menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan mereka akan pangan dan air yang berkualitas, penghidupan, dan harmoni. Yang mana semua itu tidak bisa diganti dengan kompensasi yang tidak adil. Pemerintah harus memberikan sanksi atas dugaan pelanggaran terhadap perusahaan," kata Franky.
Pulau Papua merupakan tempat tinggal bagi 312 suku adat, dengan 257 bahasa daerah yang tersebar di kedua provinsi Indonesia itu. Hal ini menjadikan wilayah tersebut sebagai titik paling kaya berkenaan dengan keanekaragaman budaya manusia.
Sebagian besar kelompok etnis Papua merupakan suku tradisional yang memiliki hubungan sejarah dan spiritual yang mendalam pada tanah mereka, serta seluruh hewan dan tumbuhan yang ada di sana. Pada 2010, 44 suku di Papua Indonesia diperkirakan belum tersentuh peradaban lebih luas.
Konsesi kayu bubur yang dimiliki oleh PT PNMP terletak di lahan adat yang dimiliki dan ditinggali oleh Masyarakat Adat Malind (Malind-anim). Meski demikian, PT PNMP terus menerus melanggar prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC) Struktur sosial masyarakat Malind terbagi ke dalam suku tradisional, sub suku , dan keluarga besar.
Beberapa orang tinggal di Desa Buepe, di pesisir selatan Sungai Mbyan. Penduduk asli Buepe adalah anggota masyarakat Malind dan mereka masih menghabiskan sebagian waktu mereka di hutan tradisional. Budaya masyarakat Malind melakukan praktek keseharian dan tradisi mereka melalui warisan kuno.
Tiap anggota suku terhubung dengan persaudaraan, mitos, dan pengejawantahan beberapa hewan, tumbuhan, dan ciri alami hutan. Mereka menganggap hewan dan tumbuhan ini serupa dengan kakek nenek (amai), diberkahi kesadaran dan perasaan.
Bersama dengan roh leluhur (dema), mereka berperan dalam keberlangsungan hidup suku terkait, dan setiap suku mengidentifikasi diri mereka dengan leluhur mitologis ini. Perebutan lahan dan deforestasi tidak hanya merenggut penghidupan masyarakat setempat, namun juga menodai nilai-nilai sosial dan spiritual mereka.
Tampak dari ketinggian konsesi PT PNMP./Foto: Pusaka
Penghidupan Hilang Seiiring Hutan Menghilang
Desa Buepe dihuni sebagian besar oleh orang dari Suku Malind Tumid, Darat dan Rawa. Suku Darat tinggal dengan meramu, berburu, dan memancing. Suku Rawa kebanyakan meramu. Pendatang dari berbagai daerah Papua lain dan dari Sulawesi, Maluku, Toraja, dan Timor juga ada.
Masyarakat terbagi ke dalam Suku dan sub Suku, seperti Suku Moyuwend atau Moyuen, Suku Kinamde, Suku Yolmen, Suku Balagaize, Suku Basik-Basik, Suku Ndiken, Suku Yahimahe, Suku Walinaulik, Suku Moaend (atau Moain), Suku Yaneten, dan Suku Biluken. Sub-sub Suku ini tinggal di wilayah tersebut, dan delapan dari mereka tinggal di Desa Buepe.
Berburu, memancing, dan meramu merupakan penghidupan utama bagi penduduk desa yang masih bergantung pada hutan tradisional untuk menemukan sagu, umbi-umbian, sayur mayur alami, ikan, dan daging. Seringkali mereka pergi ke hutan ulayat mereka dan tinggal selama beberapa minggu atau beberapa bulan.
Busur panah dan tombak merupakan peralatan utama yang diberikan pada anak-anak ketika memasuki masa remaja. Bagi masyarakat adat Malind, hutan merupakan sumber kehidupan yang tak tergantikan. Mereka mengamankan pangan (ikan, daging, sagu, sayuran), serat, dan obat obatan dari hutan.
Daerah berburu dan memancing diturunkan dari generasi ke generasi, namun tak pernah menjadi eksklusif. Anggota Suku lain atau bahkan pendatang pun diperbolehkan memanfaatkan hutan ulayat untuk berburu dan memancing, jika mereka berbagi hasil tangkapan mereka dengan masyarakat setempat atau Suku yang memiliki hutan tersebut.
Ladang sagu./Foto: Okto
“Dulunya mereka dekat, namun sekarang kami merawat kebun sagu kami dari kejauhan. Perusahaan telah menggunduli hutan, dan sekarang kami kesulitan mendapatkan kayu dan kulit pohon atau merawat sagu. Sebagian besar sudah mati, dan ladang yang masih hidup pun semakin jauh,” ujar Ani Kaize, perempuan yang tinggal di Buepe.
Perempuan memegang peranan penting dalam produksi makanan. Mereka bertanggung jawab memelihara dan memanen sagu, ikan, kerang, remis, dan dalam taraf tertentu hasil perkebunan.
Sagu, khususnya, adalah sumber karbohidrat terpenting bagi masyarakat Malind, menyediakan tepung sagu yang merupakan bahan pokok. Tumbuhan sagu juga penting dalam budaya dan mitos masyarakat Malind sebab diasosiasikan dengan pertumbuhan “kebasahan” (dubadub) dan kesuburan, seringkali dengan roh.
Sebagai timbal baliknya, manusia menjaga tumbuhan sagu secara langsung maupun tidak langsung, serta berbagai ritual. Hubungan ini tak hanya sekadar berlandaskan asas kebermanfaatan, namun juga dicirikan koneksi yang dalam. Perempuan pada umumnya merawat sagu, memanen dan memprosesnya (dengan memeras dan mencuci intisarinya).
Menghabisi ladang sagu sekitar desa berdampak besar dan langsung terhadap mereka. Ketika perusahaan menebang hutan, para penduduk desa kehilangan sumber pangan utama mereka, dan harus berjalan berjam-jam atau bahkan berhari-hari sebelum menemukan hutan yang masih utuh agar mereka bisa berburu, memancing, dan meramu. Namun, hutan-hutan tersebut merupakan milik suku lainnya.
“Ladang sagu desa, tempat sakral, lahan perburuan untuk semua-semua telah dihabisi oleh perusahaan. Sekarang kalau mau cari makan harus berjalan jauh sekali,” kata Seblum Kinamde, Ketua Adat Desa Buepe.
“Kini masyarakat Buepe mulai mencari makanan di dekat Sungai Mbyan, tapi wilayah tersebut merupakan milik desa lainnya. Cuma karena masih ada ikatan keluarga saja mereka masih diperbolehkan mencari makan di sana,” lanjut Seblum.
Indimidasi, Konflik dan Janji Palsu
Walau merupakan perusahaan swasta berorientasi laba, PT PNMP dilindungi oleh aparat keamanan pemerintah. Konsesi mereka dijaga oleh pos permanen Korps Brigade Mobil (Brimob), unit taktis operasi khusus paramiliter yang bertugas melawan pemberontakan dan perlawanan. Tiga personel Brimob mengelilingi konsesi bersama dua aparat militer dari garnisun Koramil Okaba.
Menurut Manajer PT PNMP, perusahaan berkontribusi rutin pada keduanya. Saat petugas perusahaan menemui penduduk desa, mereka umumnya didampingi aparat militer. Petugas aparat ini tak hanya hadir untuk mengintimidasi.
Menurut para penduduk desa para aparat itu juga ikut campur dalam diskusi bersama penduduk desa. Menurut perusahaan, tentara tersebut tidak secara langsung terlibat dalam percakapan. Apapun itu, menghadirkan seseorang yang berseragam (tentara) selama percakapan, adalah bentuk intimidasi.
“Saya dipaksa menandatangani surat itu, saat Nelwan Kosa, Manager CSR PT PNMP, datang menemui saya bersama aparat Brimob,” aku Luke Samkakai, Kepala Suku Samkakai.
Sebagian besar orang yang dipekerjakan oleh PT PNMP datang dari luar Papua, beberapa dari kota Merauke, beberapa dari Jawa. Hanya sedikit penduduk desa yang bisa bekerja di konsesi. Menurut Pak Jafar Kaize, mantan pekerja bagian penanaman, hanya tiga penduduk Desa Buepe yang bekerja di perusahaan tersebut.
“Kami bekerja tanpa jaminan apapun dari perusahaan, ” kata Jafar Kaize.
Karena PT PNMP tidak secara langsung mempekerjakan tenaga manusianya, sebagian besar penduduk desa dipekerjakan sebagai subkontraktor. Keadaan kerja mereka suram, dan pekerja lapangan hutan seringkali menderita penyakit seperti batuk kronis, flu, malaria, dan keracunan.
Tak ada jam kerja pasti. Setiap pekerja hanya diberikan target tanpa peduli jam kerja. Target tidak dibedakan atas kondisi fisik, usia, atau jenis kelamin. Gaji yang diberikan tergantung kategori pekerjaan dan hasil, berkisar dari Rp1 juta hingga Rp5 juta per bulan.
Sebagian besar gaji habis untuk melunasi hutang pada toko bahan pangan setempat yang menjual makanan dengan harga mahal. Namun, karena wilayahnya terpencil, mereka bertindak sebagai monopoli. Para pekerja tak punya alternatif lain.
Keluarga pekerja PT PNPM./Foto: Okto
Keberadaan PT PNMP juga telah menyulut konflik horizontal antarsuku, konflik internal di dalam suku, dan konflik antara warga lokal dan pendatang. Perusahaan tak pernah menemui semua penduduk desa sekaligus, maupun menanyakan kerangka konsultasi apa yang mereka anggap pantas, sebagaimana diwajibkan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC).
“Perusahaan ini penuh tipu daya dan manipulasi,” imbuh Luke Samkakai.
PT PNMP sudah berulang kali bertemu dengan penduduk desa secara individual maupun berkelompok, menjanjikan hal yang berbeda-beda setiap kalinya. Penduduk desa mencurigai adanya pemberian uang bagi individu-individu tertentu sebagai kongkalikong demi memuluskan perampasan lahan, dan hal ini memang amat susah dipastikan. Semua ini menciptakan ketidakpercayaan, ketegangan, dan kecurigaan antarberbagai komunitas yang dulunya hidup damai bersama.
Pada 2008, PT PNMP mengungkapkan minat berinvestasi di Merauke untuk mengembangkan perkebunan kayu (IUPHHK-HTI) sepanjang wilayah seluas lebih dari 60 ribu hektare di daerah Distrik Ngguti, Okaba, dan Kaptel--di mana konsesi saat ini berada.
Pada 21 Oktober tahun itu, Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, mengeluarkan Surat Rekomendasi untuk izin Hutan Tanaman Industri (HTI). Konsesi PT PNMP akhirnya ditambahkan dalam skema PPETM (Perkebunan Pangan dan Energi Terpadu Merauke), proyek besar yang bertujuan memperluas produksi pangan domestik. Pada akhirnya skema ini sekadar memindahtangankan lahan kepada perkebunan industrial yang memproduksi komoditas ekspor seperti kelapa sawit dan serpihan kayu tanpa memenuhi sasaran produksi pangan.
Pada Juli 2009, sebuah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) diterbitkan oleh konsultan, PT Inti Mitra Makmur. Pada 14 November 2011, Menteri Kehutanan mengeluarkan peraturan menteri yang memberikan konsesi HTI selama 60 tahun atas wilayah seluas 64.056 hektare kepada PT PNMP di wilayah Kaptel dan Okaba, Kabupaten Merauke.
Di 2012, makelar kontroversial bernama Acang mengorganisasi sebuah pertemuan antara PT PNMP dan dua pemimpin di Desa Buepe dan Desa Sanggape di dekatnya. Hingga hari ini, banyak penduduk Buepe dan Sanggase yang tidak tahu hasil dari pertemuan tersebut. Namun, mereka melaporkan bahwa Acang meminjamkan uang kepada beberapa penduduk kunci dan memberi tekanan agar mereka menerima kehadiran perusahaan di sana.
Dua tahun kemudian, makelar ini menghilang, dan PT PNMP, sementara memfinalisasi surat menyurat yang diperlukan untuk mendapatkan konsesi, menggelar rapat dengan warga setempat. Tetapi, perusahan tersebut tak pernah menanyakan persetujuan atas operasi mereka selama 60 tahun ke depan di konsesi itu.
Alih-alih, mereka bernegosiasi dengan satu desa, Desa Sanggase, atas 5 hektare lahan untuk kebun pembibitan--dan kemudian 12 hektare tambahan untuk kebun contoh. Bahkan ketika itu, mereka tak pernah melibatkan penduduk desa selain segelintir individu terpilih.
Menurut warga desa, perjanjian ini sukses digunakan untuk mengabsahkan seluruh operasi perusahaan di atas tanah suku-suku lainnya.
“Tanah ini adalah Ibu yang menjaga dan menyayangi kami, jadi ketika tanahnya sudah dicuri begini, kehidupan kami akan susah," kata Luke Samkakai.
Sejak 2014, hampir setiap tahunnya, warga setempat terus mengorganisasi protes, dan manajer perusahaan bertemu dengan perwakilan suku. Namun, pertemuan-pertemuan ini lagi-lagi gagal melibatkan masyarakat luas. Janji dibuat, terkadang dicatat di minuta--walau lebih sering tidak dicatat. Namun menurut para penduduk desa, banyak yang belum diwujudkan.
Pada 2018, setelah protes lebih lanjut yang melibatkan pemerintah provinsi, pertemuan-pertemuan baru diadakan, dimana perusahaan menulis draf Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara PNMP dan delapan Suku Buepe. Nota ini termasuk kompensasi, namun tetap tidak melibatkan suku yang secara adat merupakan pemilik tanah.
Menurut para penduduk desa, berbagai ketentuan yang disetujui tetap tidak diberlakukan secara luas. Nota Kesepahaman mencakup uang jasa bagi para kepala suku, janji pembangunan infrastruktur, biaya pengganti kubikasi kayu--kompensasi produk kayu yang diwajibkan hukum, dan komitmen untuk membeli pangan dari para penduduk desa serta memberi mereka pekerjaan.
Banyak ketidaksepakatan yang terjadi dalam penyuntingan versi akhir Nota Kesepahaman yang dilakukan oleh perusahaan. Para penduduk desa mengatakan, dokumen tersebut ditandatangani oleh ketua suku berbulan-bulan kemudian di tengah tekanan berat, karena beliau dipanggil mendadak dari rumahnya oleh manajer perusahaan yang didampingi aparat kepolisian khusus, dengan tuntutan untuk segera menandatanganinya atau dia akan kehilangan semuanya.
Jalan di PT PNMP./Foto: Okto
Moorim dan Klaim Hijaunya
Shin Young Chung dari Advocates for Public Interest Law (APIL) menilai, Pemerintah Korea Selatan memiliki keterkaitan secara langsung dengan dampak lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia yang disebabkan oleh PT PNMP. Sebab telah memberikan pinjaman 9,1 miliar KRW kepada perusahaan induknya, Moorim P&P, untuk kegiatan bisnis kehutanannya di luar negeri.
"Pemerintah harus segera membuka penyelidikan yang transparan dan inklusif tentang kerugian yang ditimbulkan oleh PT PNMP serta meminta Moorim P&P untuk melakukan uji tuntas lingkungan dan hak asasi manusia terhadap PT PNMP termasuk memberikan solusi," kata Shin Young.
Secara kepemilikan, PT PNMP dimiliki oleh Moorim P&P (99,74 persen), dan oleh Moorim Paper (0,26 persen). Pada 2014, perusahaan tersebut diakuisisi oleh Moorim Group (walau sumber lain mengatakan perusahaan perkebunan Indonesia ini telah diakuisisi sejak 2011).
Moorim Paper tercatat bermarkas di Korea Selatan dan menghasilkan bubur kayu dan kertas untuk negara tersebut. Melalui tiga anak perusahaan Koreanya, Moorim menghasilkan produk bubur kayu dan kertas.
Moorim Paper Co., Ltd.--sebelumnya dikenal dengan nama Shinmoorim Paper Mfg. Co., Ltd.--merupakan afiliasi Moorim SP (yang secara bersama-sama dikenal sebagai Moorim). Didirikan pada 1973, Moorim memiliki 446 orang pegawai di Korea Selatan dan menghasilkan omzet USD929,91 juta.
Ada sembilan perusahaan di bawah grup Moorim Paper Co. Ltd. Moorim Pulp and Paper (Moorim P&P, sebelumnya dikenal dengan nama Donghae Pulp) merupakan anak perusahaan Moorim Paper. Moorim Group juga mengendalikan Shinmoorim Paper.
Di Papua Moorim Paper menghancurkan surga keanekaragaman hayati, namun perusahaan ini dengan bangga menyatakan dirinya sebagai perusahaan kertas ramah lingkungan karena mereka adalah yang pertama memperkenalkan gelas dan sedotan kertas sekali pakai ke pasar Korea.
Merk baru Moorim bernama “Neoforêt” bertujuan untuk menangkap permintaan pasar yang kian besar untuk produk-produk kertas ramah lingkungan sebagai alternatif produk plastik. Moorim mengklaim, produk produk Neoforêt merupakan produk yang lestari karena diambil dari hutan tersertifikasi dan bebas bahan bakar fosil.
Situs perusahaan juga menyatakan bahwa mereka tidak berkontribusi pada perubahan iklim karena tidak menggunakan bahan bakar fosil dalam kegiatannya, dan bahwa pohon-pohon yang mereka tanam menyerap karbon dioksida. Klaim-klaim tersebut tidak berdasar.
Tidak sedikit literatur ilmiah yang membuktikan sebaliknya: deforestasi dan pengalihfungsian lahan gambut, termasuk yang digunakan untuk mengembangkan perkebunan bubur kayu, merupakan salah satu faktor utama emisi karbon, yang bertanggungjawab pada 15 persen emisi gas rumah kaca (greenhouse gas, GHG)--angka ini jauh lebih tinggi di Indonesia, yaitu 63 persen.
Sebaliknya, produk kertas sekali pakai cenderung berumur pendek. Karbon yang ditangkap segera kembali ke atmosfer setelah penggunaan dan akan menyebab emisi metana--yang berdampak tinggi pada perubahan iklim--jika berakhir di tempat pembuangan akhir.
“Moorim Paper mengiklankan diri sebagai pemimpin industri kertas dan bubur kertas yang berkelanjutan, tetapi pelanggarannya terhadap hak asasi manusia dan perusakan hutan tropis asli di Papua tidak diketahui oleh masyarakat Korea.” kata Soojin Kim dari Solution for Our Climate (SFOC).
"Bahwa Moorim mengabaikan peringatan LSM Korea ini dan masih melanjutkan bisnis seperti biasa tanpa menyelesaikan masalah ini dalam tiga tahun terakhir, ini tidak bisa kita terima," lanjut Soojin Kim.
Baru-baru ini, 191 kelompok lingkungan mengkritik pergeseran dari plastik ke kertas sebagai solusi yang salah kaprah. Karena baik plastik maupun kertas sama-sama merupakan produk habis pakai yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan dalam jangka waktu yang panjang. Kelompok-kelompok ini menuntut penghentian produk-produk sekali pakai.
“Kertas dijual secara global sebagai pengganti plastik yang katanya ramah lingkungan, namun ternyata masih berasal dari deforestasi dan melecehkan hak masyarakat adat,” kata Sergio Baffoni dari Environmental Paper Network (EPN).
“Kita tidak dapat mengorbankan surga terakhir di planet ini untuk produk yang hanya berakhir di tempat sampah dalam beberapa jam setelah dipakai sekali.”
Pihak Moorim membela kredensial hijaunya, dengan menyebut bahwa mereka merupakan produsen kertas pertama yang mendapatkan sertifikasi FSC di Korea dan satu-satunya perusahaan kertas di Korea dengan hutan yang tersertifikasi Forest Stewardship Council (FSC). Tentunya, mereka tidak mengungkapkan bahwa aturan FSC dengan keras melarang pengalihfungsian hutan hujan alami menjadi perkebunan maupun pelanggaran hak masyarakat adat.
"Laporan ini menunjukkan bagaimana perusahaan seperti Moorim terus mencampakkan hutan hujan terakhir di Indonesia sambil bersembunyi di balik label hijau kehutanan FSC. FSC harus mengambil tindakan cepat terhadap setiap perusahaan yang melanggar standarnya. Jika tidak, maka label FSC hanyalah sebuah greenwash," kata Annisa Rahmawati, Advokat Mighty Earth untuk Indonesia.
Koalisi masyarakat sipil ini agar Moorim menyatakan komitmennya kepada publik untuk segera melakukan moratorium terhadap pembukaan hutan lebih lanjut. Selain itu, koalisi mendesak Forest Stewardship Council (FSC) untuk melakukan penyelidikan penuh atas masalah ini untuk menjaga integritas sertifikasi FSC.
Sambil menunggu analisis menyeluruh nilai-nilai lingkungan dan sosial yang harus dilindungi, mengadopsi dan melaksanakan kebijakan Tanpa Deforestasi Tanpa Pembukaan Gambut, Tanpa Eksploitasi atau No Deforestation No Peat No Exploitation (NDPE), termasuk di dalamnya Nilai Konservasi Tinggi-Nilai Stok Karbon Tinggi (HCV-HCSA), dan pemulihan wilayah yang telah dirusak, juga memulihkan hak-hak masyarakat adat yang telah diabaikan.