Bertaruh Keselamatan di Tengah Kepungan Industri Tambang

Penulis : Salsabila, Peneliti Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur.

Opini

Kamis, 24 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sejak Jumat 18 Maret 2022 hingga Senin 21 Maret 2022, masyarakat Kabupaten Kutai Timur kembali dilanda bencana banjir. Ada 18 kecamatan yang tedampak banjir besar ini, dan 3 desa di antaranya masih terendam banjir, yakni Desa Sangatta Selatan, Desa Pinang Raya, dan Kelurahan Singa Gaweh.

Bila diukur, ketinggian banjir yang terjadi kini rata-rata sepinggang orang dewasa. Namun, di beberapa tempat sudah sampai leher orang dewasa. Hal ini tentu saja melumpuhkan Kota Sangatta, karena akses jalan utama dan pintu masuk ke Sangatta juga tenggelam tinggi.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kutai Timur mencatat, ada sebanyak 366 unit bangunan rumah terdampak banjir di wilayah Sangatta Utara dan Selatan. Adapun sebanyak 3.937 kepala keluarga atau sebanyak 16.896 jiwa terdampak banjir dan merendam 690 rumah, 20 unit fasilitas umum, serta 203 hektare perkebunan.

Pada 19 Maret 2022 kemarin, banjir telah menelan korban jiwa. Warga atas nama Suriyati meninggal dunia setelah jatuh tersungkur dari tangga ketika terkejut melihat air yang sudah masuk dalam rumahnya.

Warga melintasi banjir yang menggenang di Kabupaten Kutai Timur./Foto: Fraksi Rakyat Kutim

Semua ini tidak terjadi begitu saja, seolah hujan turun ke Bumi lalu terjadilah banjir. Tidak juga mudah diterima oleh Warga Kutai Timur yang mengalami berbagai krisis akibat banjir besar yang menimpa mereka, tetapi ini semua adalah riwayat dosa dan kejahatan PT Kaltim Prima Coal (KPC).

Selama 39 tahun beroperasi di Kalimantan Timur perusahaan milik Bakrie ini memiliki catatan buruk. Di antaranya menggusur lahan warga, merusak sumber air, merampas tanah, dan terjadi kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Selain itu PT KPC juga memiliki jejak kerusakan lingkungan di sekitar izin konsesi perusahaan seluas 84.938 hektare.

Selanjutnya, ada 71 lubang tambang yang ditinggalkan begitu saja oleh PT KPC. Sepanjang 2012-2014 ada 50 keluarga di Desa Keraitan yang mengalami pencemaran Sungai Keraitan sehingga sulit untuk mendapatkan air bersih, PT KPC didenda Rp11,39 miliar. Pada 2015 PT KPC terbukti mencemari Sungai Bendili yang menyebabkan perusahaan air minum daerah mengurangi produksi air bersih.

Masa berlaku izin tambang PT KPC ini sebetulnya habis pada 31 Desember 2021 lalu, namun diperpanjang oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga 2031 dan berubah status menjadi IUPK (izin usaha pertambangan khusus).

Pelanggaran HAM juga terjadi. Pada Agustus 2004 PT KPC mencaplok 630 hektare tanah Masyarakat Adat Dayak Basap di Kampung Keraitan. Pola pengambilan tanah tersebut mendapatkan dukungan dari pemerintah kabupaten dengan membentuk Tim Pembebasan Tanah sebagai pihak yang memperantarai warga Dayak Basap dengan pihak PT KPC.

Warga diiming-imingan ganti rugi sebesar Rp1,3 milliar untuk lahan seluas 630 hektare. Pada 27 Agustus 2004 proses penyerahan uang dilakukan di Desa Keraitan. Namun dalam proses penyerahan uang itu setiap warga dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan bermaterai yang dibuat oleh Tim Pembebasan Tanah.

Begitupun pada 12 Februari 2016, PT KPC lagi-lagi mengkriminalisasi masyarakat adat, dengan melakukan pemaksaan agar masyarakat Dayak Basap dipindah ke desa buatan, terbukti terjadinya tindakan kekerasan yang dialami tiga warga Desa Sepaso Selatan, yakni Dahlia, Nursal dan Nursiah.

Kriminalisasi juga dialami oleh tiga petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Multiguna, bernama H. Andi Baso, Abd. Panjaitan dan Mashuri. Mereka ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Kutai Timur pada 12 Januari 2021 karena dilaporkan oleh PT KPC.

Ketiganya dituduh menghalangi operasional kerja pertambangan dengan menyandera satu unit dump truck milik perusahaan. Itu terjadi saat aksi damai di lokasi arus jalan pertambangan yang digelar pada 29 Juli 2019 lalu.

Aksi damai itu mereka gelar di atas tanah mereka sendiri. Pada saat menggelar aksi, petani didampingi oleh sejumlah aparat kepolisian. Sehingga penetapan tersangka karena menghalang-halangi dan mengganggu aktivitas tambang itu terkesan mengada-ada dan tidak benar. Banyak lagi tindakan kriminal yang dilakukan oleh perusahaan ini.

Kelompok Tani Multiguna sebelumnya telah melayangkan surat pemberitahuan rencana aksi sehubungan dengan perampasan lahan petani oleh PT KPC. Bahkan tuntutan petani agar lahan mereka dibayarkan tidak digubris.

“Kekerasan dan merusak lingkungan adalah tindakan kriminal, hal ini seringkali di lakukan oleh PT KPC selama 39 tahun yang menghabisi bentang alam dan menimbulkan kerusakan. Para pelaku seharusnya mendapatakan stempel haram dan hukuman yang setimpal dari Negara,” kata Anugrah Syam, warga Kutai Timur di tengah kemarahannya terhadap perusak lingkungan yang menyebabkan banjir besar.

Adakah agenda keselamatan rakyat selama beberapa hari ini? Berbagai daerah juga mengalami berbagai krisis yang sama. Jika Pemerintah Kabupaten Kutai Timur tidak segera membenahi tata ruangnya, maka bencana yang terjadi selama tiga hari ini, ke depan akan terukang lagi, bahkan bisa lebih parah.