Sentralisasi Pengelolaan Tambang Mirip Orde Baru

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Rabu, 23 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Ahli pemerintah anggap desentralisasi kewenangan justru mempersulit akses aspirasi masyarakat terkait pertambangan. Namun anggapan ini mendapat kritik karena sentralisasi kewenangan di masa orde baru tak hanya menutup akses aspirasi melainkan juga membungkam masyarakat. 

Ahli pemerintah dalam sidang judicial review UU Minerba pada Selasa (22/3/2022), Eko Prasojo, menyebutkan pemberian kewenangan berupa izin, pelaksanaan, dan pengawasan pertambangan kepada daerah selama ini belum memberikan dampak baik kepada masyarakat. Pembaruan perundangan mineral dan batu bara (minerba), UU No. 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Minerba, memperbaiki hal ini.

“UU Minerba menunjukkan liberalisasi yang tidak dilaksanakan dengan baik. Ada kelemahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah,” ucap dia dalam sidang di Mahkamah Konstitusi secara virtual. 

Ia menyebutkan paling tidak ada tiga dampak negatif ketika kewenangan pertambangan dikelola pemerintah daerah, pertama penyalahgunaan wewenang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Izin ini belum dipergunakan dengan bertanggung jawab dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan tidak dilakukan dengan benar. 

Ilustrasi tambang emas./Sumber: kravisolminerals.co.za

Kedua, terjadinya kerusakan lingkungan karena eksploitasi tidak bertanggung jawab. Rehabilitasi dan reboisasi pun tidak dilakukan dengan baik menyebabkan hilangnya kesuburan tanah.

Ketiga, kurangnya kontrol dan partisipasi masyarakat bahkan tidak ada. Tidak ada jaminan hukum dan tidak ada komitmen pemda sehingga ada indikasi transaksi ekonomi politik,” ucap dia.

Menurutnya upaya sentralisasi kewenangan minerba ini konstitusional prinsip negara kesatuan, seluruh kewenangan milik pusat. Pemerintah pusat lalu mendelegasikan sebagian ke pemerintah daerah. 

Terpisah, Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara sekaligus kuasa hukum pemohon UU Minerba, Roni Saputra, mengungkapkan pendapat ini janggal karena sentralisasi justru semakin menjauhkan kewenangan pertambangan dari partisipasi publik. 

Selama ini jika masyarakat memberikan aspirasi, protes, ataupun penolakanmereka pergi ke pemda. Tetapi ketika kewenangan tersebut diambil alih oleh pusat maka mereka hanya menjawab bahwa itu bukan kewenangannya. Masyarakat pun harus ke pusat.

Justru ketika kewenangan diberikan ke daerah maka ada banyak akses keterlibatan, selain karena kedekatan. Jika pemerintah daerah tak menggubris aspirasi maka masyarakat akan ke legislatif selaku pengawas eksekutif. 

“Parahnya adalah sentralisasi ini mengembalikan kewenangan ke era orde baru. Justru pemerintah daerah yang mengetahui potensi dan kebutuhan masyarakatnya. Bukan pusat yang datang tiba-tiba memberikan konsesi tambang,” tegasnya.