Indonesia Disarankan Hentikan Produksi Migas di 2045
Penulis : Aryo Bhawono
Perubahan Iklim
Sabtu, 26 Maret 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Indonesia termasuk dalam 19 negara dengan kategori ‘berkapasitas rendah’ yang memproduksi 13 persen minyak dan gas global dan disarankan menghentikan produksi minyak dan gas (migas) pada 2045 demi mengerem pemanasan global. Negara kaya pun turut disarankan hentikan produksi lebih cepat, yakni 2034.
Sebuah laporan yang dilakukan oleh Tyndall Centre for Climate Change Research di Manchester University mengatakan harus ada pergeseran cepat dari ekonomi yang menggantungkan bahan bakar fosil. Pergeseran ini perlu dilakukan dengan cara yang adil dan merata.
“Ada perbedaan besar dalam kemampuan negara untuk mengakhiri produksi minyak dan gas, sambil mempertahankan ekonomi yang dinamis dan memberikan transisi yang adil bagi warganya,” kata Profesor Kevin Anderson yang memimpin studi itu, seperti dikutip dari Guardian.
Laporan tersebut mengkaji kekayaan masing-masing negara dan seberapa bergantung ekonominya pada produksi bahan bakar fosil. Banyak negara miskin akan dilumpuhkan secara ekonomi dan politik oleh perpindahan cepat dari minyak dan gas. Sedangkan negara-negara kaya mampu mengakhiri produksi bahan bakar fosil sambil tetap relatif makmur.
Negara-negara kaya harus mengakhiri semua produksi minyak dan gas dalam 12 tahun ke depan, sementara negara-negara termiskin harus diberikan waktu 28 tahun, untuk memberikan transisi yang adil dari bahan bakar fosil, menurut sebuah penelitian.
Negara-negara kaya seperti Inggris, AS, dan Australia memiliki waktu hingga 2034 untuk menghentikan semua produksi minyak dan gas untuk memberi dunia peluang 50 persen untuk mencegah kerusakan iklim. Sementara negara-negara termiskin yang juga sangat bergantung pada bahan bakar fosil harus diberikan waktu hingga 2050.
Mantan Kepala Iklim PBB yang mengawasi KTT Paris 2015, Christiana Figueres, menyambut baik temuan tersebut. Studi baru ini adalah pengingat tenggat waktu bagi semua negara untuk menghentikan produksi minyak dan gas secara bertahap dengan cepat.
“Negara-negara kaya pun harus melakukan lebih cepat,” kata dia.
Temuan laporan tersebut muncul di tengah fokus keadilan iklim di antara kelompok masyarakat sipil dan negara-negara di selatan, khususnya pada konferensi COP 26 pada tahun lalu di Glasgow.
Tetapi Anderson memperingatkan banyak negara kaya yang masih sekedar ‘membasahi bibir’ atas gagasan itu. “Saya tidak melihat rasa kesetaraan ditanggapi secara serius oleh para pembuat kebijakan di bagian dunia yang kaya,” katanya.
Pembuatan studi ini ditugaskan oleh International Institute for Sustainable Development, menghitung seberapa banyak produksi minyak dan gas di masa depan yang konsisten dengan target iklim Paris. Laporan studi ini sekaligus menghitung dampak bagi 88 negara yang bertanggung jawab atas 99,97 persen pasokan minyak dan gas global.
Hasilnya, untuk mencapai peluang 50 persen membatasi kenaikan suhu global tak lebih dari 1,5 Derajat Celcius maka negara-negara harus mulai mengurangi produksi minyak dan gas sesuai kategori ekonomi mereka, yakni:
-Sebanyak 19 negara masuk kategori ‘berkapasitas tertinggi’, dengan rata-rata PDB non-minyak per kapita lebih dari 50.000 Dolar AS. Mereka harus mengakhiri produksi pada tahun 2034, dengan pemotongan 74 persen pada tahun 2030. Kelompok ini menghasilkan 35 persen minyak dan gas global, diantaranya adalah AS, Inggris, Norwegia, Kanada, Australia, dan Uni Emirat Arab.
-Sebanyak 14 negara ‘berkapasitas tinggi’ dengan rata-rata PDB non-minyak per kapita hampir 28.000 Dolar AS. Mereka harus mengakhiri produksi pada tahun 2039, dengan pengurangan 43 persen pada tahun 2030. Mereka menghasilkan 30 persen minyak dan gas global, diantaranya Arab Saudi, Kuwait dan Kazakstan.
-Sebanyak 11 negara ‘berkapasitas menengah’ dengan rata-rata PDB non-minyak per kapita sebesar 17.000 Dolar AS. Mereka harus mengakhiri produksi pada tahun 2043, dengan pengurangan 28 persen pada tahun 2030. Mereka menghasilkan 11 persen minyak dan gas global, diantaranya Cina, Brasil, dan Meksiko .
-Sebanyak 19 negara ‘berkapasitas rendah’ dengan rata-rata PDB non-minyak per kapita 10.000 Dolar AS. Mereka harus mengakhiri produksi pada tahun 2045, dengan pengurangan 18 persen pada tahun 2030. Mereka memproduksi 13 persen minyak dan gas global, diantaranya Indonesia, Iran, dan Mesir.
-Sebanyak 25 negara ‘berkapasitas terendah’ dengan rata-rata PDB non-minyak per kapita 3.600 Dolar AS. Mereka harus mengakhiri produksi pada tahun 2050 dengan pengurangan 14 persen pada tahun 2030. Mereka menghasilkan 11 persen minyak dan gas global, diantaranya Irak, Libya, Angola dan Sudan Selatan.
Studi tersebut menyebutkan dengan skala waktu ini, negara-negara miskin tetap membutuhkan dukungan keuangan untuk melakukan transisi jika mereka ingin menghindari pergolakan ekonomi dan politik yang besar.
Juru Kampanye Keadilan Iklim dan Koordinator Asian Peoples Movement on Debt and Development, Lidy Nacpil, mengatakan pengurangan dan produksi minyak dan gas yang cepat, adil dan merata masih dimungkinkan dengan kerangka waktu yang disarankan dalam laporan ini.
“Selama karena negara-negara kaya memberikan dukungan finansial, teknis dan politik yang substansial, dan membatalkan utang,” ucap dia.