BBKSDA Papua Barat dan BRIN Berburu Anggrek di Pulau Batanta
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Biodiversitas
Sabtu, 26 Maret 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Tim kajian Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat berkolaborasi dengan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), telah melaksanakan studi inventarisasi keragaman anggrek dan potensi pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan oleh masyarakat adat di Pulau Batanta, Papua Barat. Studi tersebut dilaksanakan sejak pertengahan Maret 2022 kemarin.
Koordinator tim kajian BBKSDA Papua Barat Reza Saputra menjelaskan, Pulau Batanta memiliki beragam tipe ekosistem yang masih sangat alami, mulai dari ekosistem pantai, hutan hujan tropis, dataran rendah, sampai dengan hutan pegunungan bawah pada ketinggian sekitar 1100 mdpl. Bagian barat Pulau Batanta merupakan kawasan konservasi Cagar Alam Batanta Barat yang berfungsi untuk kegiatan penelitian dan perlindungan biodiversitas beserta ekosistemnya.
“Penelitian botani di Pulau Batanta tergolong masih relatif jarang dilakukan,” kata Reza, Jumat (25/3/2022).
Reza menambahkan tim melakukan eksplorasi pada jangkauan area jelajah yang terbatas, namun telah berhasil menemukan sekitar 90 nomor koleksi anggrek. Sebagian masih dalam proses identifikasi untuk memastikan nama spesiesnya. Sedangkan sebagian lainnya ditemukan dalam kondisi tanpa bunga.
“Spesimen anggrek yang tanpa bunga harus dipelihara terlebih dahulu hingga berbunga agar dapat diidentifikasi lebih lanjut secara akurat,”
Dari hasil studi sementara, tim riset telah menemukan berbagai temuan menarik. Salah satunya temuan record baru anggrek Dendrobium cuneatum di region Papua.
Peneliti BRIN, Destario Metusala menjelaskan anggrek berbunga mini berwarna kehijauan ini sebelumnya hanya ditemukan di region Sulawesi dan Maluku saja.
“Temuan spesies ini di Pulau Batanta (region Papua) akan menambah informasi terkait jangkauan distribusi alaminya yang ternyata melewati zona Wallacea dan mencapai zona biogeografi Australasia,” jelasnya.
Selain itu, hasil studi juga telah menemukan anggrek akar Taeniophyllum torricellense yang sebelumnya hanya ditemukan di dua lokasi, yaitu Pulau San Cristobal di Kepulauan Solomon dan pegunungan Torricelli di Papua Nugini.
Tim juga menemukan anggrek epifit Dendrobium incumbens yang sebelumnya hanya terekam berasal dari dua titik lokasi di Papua Nugini, yaitu Distrik Sepik dan Morobe. Lokasi-lokasi yang disebutkan tadi berjarak sangat jauh dengan Pulau Batanta di Papua Barat. Penemuan anggrek Taeniophyllum torricellense dan Dendrobium incumbens ini akan menambah jumlah keragaman spesies anggrek untuk negara Indonesia.
Tidak hanya melakukan inventarisasi anggrek, tim juga melakukan observasi dan perekaman berbagai upaya pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan oleh masyarakat adat setempat sebagai petunjuk awal kajian lebih lanjut terkait potensi keanekaragaman hayati di Pulau Batanta.
“Hasil observasi sementara memperlihatkan total lebih dari 100 jenis tumbuhan digunakan oleh kelompok masyarakat adat untuk berbagai keperluan, mulai dari obat-obatan, pangan lokal, pakaian, upacara tradisional, kerajinan, perlengkapan rumah, bangunan, hingga material untuk membuat perahu,” lanjut Reza.
Di sisi lain, Destario menambahkan berbagai sample tumbuhan yang dikumpulkan dan dicatat menggunakan nama lokal bahasa Batanta/Batta. Selanjutnya tim akan melakukan identifikasi untuk mengetahui nama ilmiahnya, sehingga akan memudahkan untuk dilakukan kajian lebih mendalam.
Penelitian ini memiliki nilai urgensi yang tinggi, mengingat jumlah masyarakat suku Batanta yang tergolong terbatas dan umumnya mendiami kawasan selatan Pulau Batanta, tepatnya di tiga kampung yaitu Yenanas, Waiman dan Wailebet.
Kearifan lokal masyarakat adat dalam memanfaatkan tumbuhan di sekitarnya perlu didokumentasikan agar pengetahuan tersebut tidak punah. Terlebih kearifan lokal tersebut umumnya lebih dikuasai oleh kelompok lanjut usia dan banyak tidak diketahui oleh kelompok generasi mudanya.
Contoh kearifan lokal masyarakat adat Batanta adalah pemanfaatan tumbuhan “wil-gelfun” (Coscinium fenestratum) yang banyak tumbuh liar di hutan dan digunakan untuk pengobatan tradisional malaria, sakit mata, gangguan pencernaan, serta badan letih.
“Tumbuhan “teliih” (Terminalia catappa) yang banyak tumbuh liar di pesisir yang digunakan untuk mengobati luka terbuka, gangguan pencernaan, hingga diare,” tutup Destario.