Pesisir dan Pulau Kecil dalam Ancaman Perubahan Iklim
Penulis : Wahyu Eka Styawan - Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur
OPINI
Rabu, 30 Maret 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Catatan ini mencoba membaca problem pesisir dan pulau-pulau kecil dengan pendekatan ruang dan perubahan iklim, salah satu yang menjadi contoh kasus pembahasan adalah Pulau Jawa, lebih spesifiknya Jawa Timur. Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provisi yang wilayah lautnya hampir 3.498 kilometer, kurang lebih terdapat 446 pulau-pulau kecil yang sebagian besar berada di wilayah Madura Kepulauan.
Wilayah Jawa Timur memiliki biodiversitas yang kaya, merupakan rumah dari berbagai jenis terumbu karang, ikan, mangrove dan aneka biota unik lainnya. Sehingga keterancaman pulau-pulau kecil dan pesisir di Jawa Timur akan menghilangkan biodiversitas yang kaya, serta sejarah sosial budaya di wilayah tersebut.
Keterancaman pulau-pulau kecil dan pesisir di Jawa Timur ada beberapa faktor yang perlu disoroti. Pertama, perubahan iklim yang mengakibatkan peningkatan permukaan air laut, anomali cuaca dan terancamnya biodiversitas.
Berdasarkan catatan dari Ardiansyah dkk (2017) dalam Pemodelan Genangan Kenaikan Muka Air Laut (Sea Level Rise) Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi di Wilayah Pesisir Selat Madura mengatakan bahwa kenaikan permukaan air laut mencapai 1,2 cm per tahun.
Kondisi ini akan diperparah dengan potensi rusaknya Mangrove di Madura, total kawasan Mangrove dalam kondisi yang baik seluas 8.794,1 ha (58,2 %) dan kawasan Mangrove dalam kondisi buruk mencapai luas 6.324,1 ha (41,8%) seperti dalam catatan Munsoni (2017) yang berjudul Pemetaan Kerusakan Mangrove di Madura dengan Memanfaatkan Citra Dari Google Earth dan Citra Ldc.
Padahal kawasan Hutan mangrove mempunyai beberapa fungsi yakni pengikat karbon, penahan substrat pantai dari abrasi, penahan angin tau gelombang, penahan instrusi air laut. Selain itu peningkatan suhu akibat perubahan iklim memicu rusaknya terumbu karang seperti bleaching, sebagaimana diungkapkan di dalam riset Labiyanto (2017) “Studi Perubahan Luasan Terumbu Karang Dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh Di Perairan Pulau Bawean Gresik, Jawa Timur.”
Selain berbicara soal perubahan iklim dan degradasi magrove, kedua persoalan terbesar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah tata kelola ruang. Baik di wilayah darat maupun lautan kondisi keterancaman ini sangat mengkhawatirkan, karena memiliki resiko besar memperentan wilayah tersebut, termasuk resiliensi terhadap bencana, karena perpaduan bencana perubahan iklim dan rusaknya kawasan yakni memunculkan potensi kerentanan wilayah.
Merujuk pada catatan advokasi Walhir Jawa Timur yang menghimpun dari jaringan di tapak, untuk Madura secara keseluruhan terancam oleh besarnya konsesi migas baik di darat dan laut. Selain Migas, terdapat ancaman pertambangan fosfat di Sumenep yang mengancam kawasan karst, serta lahan pertanian produktif.
Tidak hanya karst, ekspansi tambak udang di pesisir Sumenep juga menjadi faktor yang mengancam kawasan lindung pesisir, khususnya kawasan Mangrove. Di Selat Madura, sekitar Bangkalan dan Surabaya terancam pertambangan pasir laut, sebab di RZWP-3K Provinsi Jawa Timur.
Sementara di Bawean juga terancam pertambangan pasir laut untuk kebutuhan proyek strategis nasional, meski konsesinya sudah muncul atas nama PT Hamparan Laut Sejahtera salah satu aktor yang turut berkonflik dengan nelayan di Kodingareng, Sulawesi Selatan. Artinya ancaman tata kelola ruang baik alih fungsi kawasan penting seperti karst, lalu pesisir hingga dalam laut, mempertinggi resiko kerusakan dan bencana di kawasan pesisir serta pulau-pulau kecil.
Munculnya Kerentanan Masyarakat
Selanjutnya, persoalan sosial ekonomi. Perubahan iklim memicu anomali cuaca sehingga mengacaukan kalender musim nelayan, sehingga banyak nelayan yang merasakan dampaknya terutama menurunnya hasil tangkapan serta keselamatan mereka saat melaut.
Ini yang dialami oleh nelayan tradisional di Masalembu, Sumenep dan Bawean, Gresik. Mereka mengeluhkan anomali cuaca berpengaruh pada penghasilan sehari-hari mereka, karena seharusnya sudah memasuki musim panen ikan, karena tidak tentunya cuaca menyebabkan mereka harus batal melaut, selain itu beberapa titik lokasi berkumpulnya ikan juga berubah akibat perubahan cuaca. Tidak hanya itu saja, cuaca yang tidak menentu juga menambah beban operasional kapal dan meningkatkan resiko kecelakaan.
Persoalan lain yang tengah dihadapi oleh nelayan tradisional ialah maraknya kapal-kapal besar yang beroperasi menggunakan cantrang dalam melaut, memasuki zona nelayan tradisional sehingga memicu konflik. Pertarungan ini diakibatkan oleh dampak cantrang yang menghancurkan biodiversitas laut, seperi terumbu karang yang merupakan rumah bagi beberapa spesies terutama ikan karang, seperti kerapu.
Keberadaan tambang di wilayah pesisir dan laut akan mengancam biodiversitas, berpotensi menghancurkan terumbu karang dan hilangnya ikan-ikan karang dan spesies lainnya. Konfisi ini paling tidak akan mendorong kerentanan sosial dan ekonomi masyarakat lokal, khususnya nelayan tradisional.
Memicu cultural shift atau pergeseran kultural, dari memiliki kelekatan dengan alam lalu perlahan meluntur hingga teralienasi, yang menjadi salah satu faktor cepatnnya kerusakan lingkungan. Nelayan kehilangan mata pencaharian, beralih profesi ke sektor lain, sebuah pertanda kerusakan ekologis di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Lantas Harus Bagaimana?
Persoalan perubahan iklim harunya menjadi kerisauan bersama bukan hanya nelayan atau masyarakat pesisir pada umumnya, tetapi harus menjadi perhatian pemerintah baik level pusat hingga daerah. Kebijakan di sektor pesisir harusnya berbasis pada kondisi faktual, terukur dan benar-benar menekankan pada kepentingan penyelamatan jangka panjang.
Selama ini regulasi yang ada yakni RZWP-3K belum memfasilitasi perihal persoalan-persoalan masyarakat pesisir dan wilayah kelolanya, apalagi terkait perubahan iklim. Karena logika yang tersaji di dalam regulasi tersebut masih top-down dan orientasinya investasi yang mengarah ke bisnis sumber daya alam.
Belum juga kehadiran UU Cipta Kerja yang membuka investasi seluas-luasnya melalui persetujuan lingkungan dan penetapan zonasi ekonomi khusus, serta penataan tata ruang yang semua wewenangnya ditarik ke pusat, sehingga daerah tidak memiliki kewenangan untuk membuat tata ruangnya sendiri atau memutuskan sesuatu yang krusial seperti pencabutan izin usaha yang berbahaya bagi lingkungan atau tidak sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah. Kondisi ini paling tidak koheren dengan persoalan penataan ruang yang sensitif ekologi dan iklim, karena sedari awal tidak memfasilitasi kepentingan tersebut.
Maka untuk mengatasi problem yang demikian, seperti persoalan semakin terancamnya pesisir dan pulau-pulau kecil, memang membutuhkan sebuah kebijakan dan regulasi yang berbasis pada kondisi faktual dan masyarakat. Serta memiliki perspektif sensitif ekologi dan perubahan iklim, di mana suatu kebijakan dan regulasi nantinya melihat aspek perlindungan, rehabilitasi dan memperhitungkan loss and damage untuk menghitung potensi yang akan hilang serta dampaknya bagi keberlanjutan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Sebagai penutup, mustahil memang berbicara mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim tanpa berbicara pada politik kebijakan dan regulasi, terutama membuat sebuah perubahan aturan hingga pendekatan yang lebih mengedepankan aspek keberlanjutan atau berparadigma ekologis dan berprinsip partisipatif. Karena yang kita hadapi bukan sekedar mitigasi dan adaptasi, tetapi bagaimana ke depan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dipertahankan dan dipulihkan untuk generasi yang akan datang.