Walhi Pertanyakan Klaim Keberhasilan Food Estate Mentan
Penulis : Aryo Bhawono
Food Estate
Senin, 18 April 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mempertanyakan klaim keberhasilan program food estate oleh Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Program ini justru membahayakan lingkungan dan berdampak buruk bagi petani.
Klaim keberhasilan ini diucap Syahrul ketika rapat dengan Komisi IV DPR RI pada Senin lalu (11/4/2022). Ia menyebutkan program food estate berhasil 100 persen wilayah pertama yang terdiri dari tiga lokasi, yakni Kalimantan Tengah seluas 30.000 hektar (lahan Intensifikasi), Humbang Hasundutan di Sumatera Utara seluas 1.500 ha ( pembukaan lahan hutan), dan di NTT seluas 5.000 ha.
Walhi beranggapan klaim ini mengabaikan dua fakta mendasar. Pertama, pengabaian terhadap lingkungan hidup. Food estate di Kalteng mengabaikan ekosistem gambut dan kawasan hutan. Program ini dilakukan dengan monokultur skala luas
Pada paparan Kajian Lingkungan Hidup Strategis oleh Kementerian Pertahanan menyebutkan setidaknya 486.164 Ha lahan awal food estate di Kalteng berasal dari Kawasan Hutan (Lahan AOI, Blok Katingan, Kapuas, Blok Gunung Mas). Sedangkan, Rencana pembangunan food estate di Papua akan mengkonversi kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Tetap, dan Hutan Konversi seluas 2.684.461 ha.
Kedua, pengabaian terhadap petani, komunitas masyarakat adat dan lokal sebagai subyek produsen pangan. Konsep food estate sebagai pangan skala luas tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada hak masyarakat adat .
Food estate Sumatera Utara berada di lahan seluas 1.500 ha hasil pembukaan lahan kawasan hutan. Pembagian lahan tersebut terdiri dari : Dirjen Hortikultura seluas 200 ha (sudah beroperasi), Balitbang Kementan seluas 15 ha (sudah beroperasi), PT. Indofood seluas 200 ha (sudah beroperasi), PT. Indofood seluas 200 ha (sudah beroperasi), PT. Champ seluas 250 ha (sudah beroperasi), PT. Calbee Wings seluas 200 ha (sudah beroperasi), Sebanyak empat perusahaan swasta seluas 225 Ha (sudah beroperasi), PT. DEL seluas 500 ha (sudah beroperasi).
Kawasan itu bersinggungan dengan hutan adat Pandumaan Sipituhuta sekitar 2.041 ha. Sedangkan, pada kawasan food estate di NTT subyek produsen pangan juga bukan petani kecil.
Merujuk pada sejarah food estate, dari PLG (Proyek Lahan Gambut) pada orde baru, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada masa Presiden SBY, hingga saat ini, program tidak pernah berdampak signifikan pada ketersediaan pangan. Selama ini penyediaan pangan yang teruji bersandar pada produksi petani berbasis keluarga, serta memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Direktur Walhi Kalteng, Bayu Herinata; menyampaikan pembukaan kawasan hutan seluas 600 ha dari luas Area of Interest seluas 32.000 ha justru menimbulkan dampak kerusakan lingkungan karena terjadi banjir yang melanda desa-desa terdekat dari lokasi yang telah di buka.
Sedangkan untuk food estate komoditas padi, dari luasan 30.000 Ha lahan untuk intensifikasi yang dialokasikan oleh Kementan justru menyalahi pemeliharaan lahan gambut. Mereka membuka lahan lahan gambut dan kanal-kanal yang berada di ekosistem gambut yang berfungsi melindungi kawasan, salah satu lokasinya nya yaitu areal blok A Ex-PLG yang berada di kecamatan Dadahup kabupaten Kapuas. Lokasi yang sama juga merupakan areal prioritas restorasi gambut yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut sebelumnya.
Kegiatan pembukaan lahan gambut dan kanal-kanal untuk pengairan lahan pertanian dinilai kontraproduktif dengan upaya restorasi gambut dengan membangun infrastruktur pembasahan gambut berupa sekat kanal dan penanaman kembali.
“Pemerintah harus menghentikan upaya perluasan atau ekstensifikasi lahan food estate di kawasan gambut dan kawasan hutan di kalteng,” kata dia.
Sementara Direktur Walhi Papua, Maikel Primus Peuki, menyatakan bahwa arahan lokasi food estate di Papua seluas lebih kurang 2.684.680,68 hektar. Lebih dari dua juta hektar berada di kawasan hutan. Kebijakan tersebut akan mendorong laju konversi dan deforestasi di Papua;
Sebagian besar Tanah Papua merupakan wilayah adat, program food estate yang berbasis korporasi petani akan mengorbankan wilayah adat dan kearifan dalam pemanfaatannya.
“Program food estate hanya akan mempertegas dominasi investasi, meningkatkan pelanggaran HAM sekaligus pengabaian hak konstitusional Orang Asli Papua diatas tanahnya sendiri,” katanya.
Roy Lumban Gaol dari Walhi Sumatera Utara menyampaikan program food estate justru menjadi karpet merah bagi korporasi untuk penguasaan lahan dan sumber daya alam.
Umbu Wulang, Direktur Walhi NTT menyampaikan klaim menteri pertanian itu menyesatkan dalam konteks keberpihakan pada petani miskin. Klaim 5000 hektar yang dimaksud oleh Mentan adalah kawasan food estate yang ada di Sumba Tengah.
“Tagline dari food estate di Sumba Tengah adalah untuk mengurangi kemiskinan namun laporan masyarakat yang diterima Walhi NTT, kepemilikan lahan di kawasan food estate itu diduga justru didominasi para pejabat daerah dan kalangan menengah ke atas secara ekonomi,” akunya.