Studi: Energi Angin dan Surya Sumbang 10% Listrik Global 2021

Penulis : Kennial Laia

Energi

Kamis, 21 April 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Analisis terbaru mengungkap, sumber energi angin dan matahari menghasilkan 10% listrik global untuk pertama kalinya pada 2021. 

Hasil penelitian itu tertuang dalam Global Electricity Review 2022 oleh wadah pemikir iklim dan energi Ember. Menurut lembaga tersebut, saat ini sebanyak 50 negara mendapatkan lebih dari sepersepuluh daya dari sumber angin dan matahari.

Menurut Ember, permintaan terhadap listrik bertumbuh dengan cepat. Sehingga berdampak pada kenaikan drastis penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Pada 2021, misalnya, pertumbuhan kebutuhan listrik setara dengan menambahkan satu negara baru seukuran India ke dalam jaringan kelistrikan global. Di sisi lain, sumber energi terbarukan seperti angin, matahari, dan lainnya telah menghasilkan 38% listrik dunia pada 2021. 

Pembangkit Tenaga Listrik di Kupang./Foto: Dok. EBTKE ESDM

Dari total tersebut, pembangkit turbin angin dan panel surya menyumbang 10% untuk pertama kalinya sejak 1985. Menurut Ember, kenaikan terjadi usai Perjanjian iklim Paris ditandatangani. 

Peralihan tercepat ke angin dan matahari terjadi di Belanda, Australia, dan Vietnam. Ketiganya memindahkan sepersepuluh dari kebutuhan listrik mereka dari bahan bakar fosil ke sumber hijau dalam dua tahun terakhir.

“Belanda merupakan contoh yang baik negara di garis lintang utara yang membuktikan bahwa ini bukan hanya soal di mana matahari bersinar, tapi juga tentang memiliki lingkungan kebijakan yang tepat untuk membuat perbedaan besar dalam penggunaan energi matahari,” kata Hannah Broadbent.

Vietnam juga mengalami pertumbuhan spektakuler. Khususnya di bidang solar yang naik lebih dari 300% hanya dalam satu tahun. 

"Dalam kasus Vietnam, ada langkah besar terkait pembangkit listrik tenaga surya dan itu didorong oleh tarif feed-in. Ini merupakan uang yang dibayarkan pemerintah kepada Anda untuk menghasilkan listrik - yang membuatnya sangat menarik bagi rumah tangga dan utilitas untuk menyebarkan jumlah besar," kata Dave Jones, pemimpin global Ember. 

Menurut Jones, penggunaan pembangkit listrik tenaga surya tidak hanya memenuhi kebutuhan listrik yang meningkat. Tetapi juga menurunkan listrik dari PLTU gas dan batu bara.

Namun di beberapa negara penggunaan tenaga batu bara mengalami peningkatan yang besar pada 2021. Hal itu terlepas dari pertumbuhan lebih dari 50% listrik dari angina dan matahari. Ini terjadi di beberapa negara, seperti Denmark. 

Sebagian besar peningkatan permintaan listrik pada 2021 dipenuhi oleh bahan bakar batu bara. Kenaikan sebesar 9%, tingkat tercepat sejak 1985.

Sementara itu, mayoritas peningkatan penggunaan batu bara terjadi di negara-negara Asia termasuk China dan India. Namun, peningkatan energi fosil tersebut tidak diimbangi dengan penggunaan gas yang meningkat secara global sebesar 1%. Ini menunjukkan bahwa kenaikan harga gas telah menjadikan batu bara sebagai sumber listrik yang lebih menguntungkan.

"Yang kami lihat saat ini adalah harga gas di seluruh Eropa dan sebagian besar Asia menjadi 10 kali lebih mahal ketimbang tahun lalu, di mana batu bara tiga kali lebih mahal,” kata Jones.  

Jones menyebut kenaikan harga gas dan batu baru sebagai “alasan ganda bagi sistem kelistrikan untuk beralih ke energi yang lebih bersih, karena ekonomi telah berubah secara fundamental.”

Penelitian tersebut juga mengungkap bahwa negara ekonomi besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Kanada berencana untuk mengalihkan jaringannya ke listrik bebas karbon 100% dalam 15 tahun ke depan. Rencana itu dibuat terlepas dari kenaikan permintaan terhadap batu bara pada 2021. 

Rencana peralihan tersebut dipicu oleh target mempertahankan kenaikan suhu bumi di bawah 1.5C abad ini. Hal itu untuk mencegah bencana iklim. Untuk mencapai hal tersebut, para ilmuwan mengatakan bahwa sumber energi angin dan matahari harus bertumbuh sekitar 20% setiap tahun hingga 2030.