Larangan Ekspor Produk Sawit Berimbas Pada Petani Kecil Indonesia
Penulis : Kennial Laia
Sawit
Kamis, 12 Mei 2022
Editor : Kennial Laia
BETAHITA.ID - Larangan ekspor crude palm oil (CPO) berimbas pada petani sawit di Indonesia. Hal ini terasa pada penurunan harga tandan buah segar, yang diklaim merugikan hingga miliaran rupiah.
Pada 28 April 2022, pemerintah Indonesia menerbitkan larangan ekspor produk sawit. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized palm olein dan Used Cooking Oil.
Kebijakan ini diberlakukan sementara untuk memenuhi pasokan dan menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri. Meski demikian, dampaknya langsung terasa di sejumlah sentra sawit.
Menurut Serikat Petani Indonesia (SPI), harga tandan buah segar atau TBS turun 30-50 persen usai larangan ekspor CPO diumumkan. Akibatnya, TBS yang semula dibanderol Rp 3.000 per kilogram merosot ke Rp 1.500-1.600 per kilogram. Estimasi organisasi tersebut, anggotanya menderita kerugian Rp 250 miliar pada periode 23-28 April 2022. Estimasi kerugian dihitung dari luas lahan kurang lebih 100 ribu hektare.
Anjloknya harga berpengaruh pada pendapatan petani. “Terasa tentunya, apalagi sewaktu Lebaran orang (petani) yang (biasanya) dapat harga Rp 3.000 tiba-tiba cuma jadi Rp 1.500-an, kan berkurang harga hampir separuhnya. Bahkan di tempat lain katanya ada yang sempat tidak terjual,” kata Ketua Umum SPI Henry Saragih, dikutip Tempo.co.
Kalimantan Timur merasakan kegelisahan serupa. Seminggu sebelum Lebaran, petani tidak dapat memanen sawit. Sebab, tidak ada pengepul yang mau menampung. Tandan buah segar yang sempat dipanen juga rusak karena gagal terjual.
Kalimantoro, petani sawit di Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara, berharap larangan ekspor segera dibatalkan atau diatur ulang. “Kami berharap bisa segera dicabut atau diatur ulang lebih baik lagi agar minyak goreng dalam negeri aman dan kami bisa menjual hasil sawit kami. Tidak seperti sekarang ini,” ujar Kalimantoro dikutip JPNN.com.
Desakan serupa diutarakan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) cabang Kalimantan Barat. Dikhawatirkan larangan ekspor dapat mengurangi aktivitas pabrik, sehingga berdampak pada berkurangnya penyerapan tenaga kerja. Selain itu, ada kemungkinan pabrik akan mengurangi pasokan dari petani swadaya.
Upaya lain dilakukan oleh gubernur Kalimantan Tengah, dengan membentuk tim penetapan harga pembelian tandan buah segar berdasarkan Surat Edaran Gubernur Nomor: 525/432/P2HP/DISBUN tentang Penetapan Harga TBS.
Per Selasa, pemerintah Kalimantan Tengah menetapkan harga TBS per kilogram di wilayahnya untuk Mei 2022. Di antaranya sawit umur tanam tiga tahun Rp 2.688,70; empat tahun Rp 2.934,55; lima tahun Rp 3.170,86; enam tahun Rp 3.263,18; tujuh tahun Rp 3.328,60; delapan tahun Rp 3.474,85; dan tanam sembilan tahun Rp 3.566,86.
Tim penetapan harga TBS Provinsi Riau juga menentukan harga sawit untuk mencegah kerugian petani. Sawit umur tiga tahun dipatok Rp 2.210,58 per kilogram; empat tahun Rp 2.378,78; lima tahun Rp 2.585,13; enam tahun Rp 2.645,16; tujuh tahun Rp 2.748,26; dan delapan tahun Rp 2.822,36.
Sementara itu sawit umur 10-20 tahun turun Rp 972,29 per kilogram menjadi Rp 2.947,58 per kilogram. Harga yang ditetapkan berlaku untuk periode 11-18 Mei 2022.
Meskipun demikian, upaya tersebut tak sontak melindungi petani. Berbagai laporan menyebut sejumlah pabrik kelapa sawit milik perusahaan melanggar harga TBS yang ditentukan pemerintah. Dengan kata lain, mereka membeli tandan buah segar jauh di bawah harga yang telah ditetapkan pemerintah daerah.
Presiden Joko Widodo menerbitkan larangan ekspor CPO dan turunannya sejak 28 April 2022. Menurut pemerintah, aturan tersebut berlaku hingga harga minyak goreng curah turun ke level harga eceran tertinggi (HET) Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram.