Jerman: Negara G-7 Dapat Pimpin Penghentian Penggunaan Batu Bara
Penulis : Aryo Bhawono
Perubahan Iklim
Sabtu, 28 Mei 2022
Editor : Raden Ariyo Wicaksono
BETAHITA.ID - Menteri Energi dan Iklim Jerman, Robert Habeck, mengatakan negara-negara kaya yang tergabung dalam Kelompok Tujuh (Group of Seven/ G-7) dapat memimpin jalan untuk mengakhiri penggunaan batu bara. Bahan bakar fosil paling mencemari lingkungan ini bertanggung jawab atas seperlima dari emisi gas rumah kaca global yang disebabkan oleh manusia.
Pernyataan ini ia keluarkan pada Kamis lalu (26/5/2022) saat pejabat senior dari negara-negara G-7 mengadakan pertemuan tiga hari di Berlin untuk menyepakati target bersama peralihan bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Para ilmuwan beranggapan peralihan ini sangat dibutuhkan untuk menahan perubahan iklim.
“Negara G-7 mungkin dapat mengambil peran perintis tertentu untuk mendorong ke depan mengakhiri penggunaan batubara untuk listrik dan dalam dekarbonisasi sistem transportasi,” kata Habeck seperti dikutip dari APNews.
Anggota G-7 Inggris, Prancis dan Italia telah menetapkan tenggat waktu penghentian penggunaan batu bara untuk listrik dalam beberapa tahun ke depan. Jerman dan Kanada menargetkan tahun 2030. Jepang menginginkan lebih banyak waktu. Sementara pemerintahan Joe Biden di AS telah menetapkan target untuk mengakhiri penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik di Amerika Serikat pada tahun 2035.
Menetapkan tenggat waktu yang sama akan menekan pencemar udara utama lainnya, sesuai kesepakatan yang dicapai pada KTT iklim PBB tahun lalu. Saat itu negara-negara berkomitmen hanya untuk mengurangi secara bertahap daripada menghapus batubara, tanpa kalender tepat.
Habeck mengatakan masalah itu dapat dibawa ke pertemuan puncak para pemimpin G-7 di Elmau, Jerman, bulan depan. Lantas ke pertemuan Kelompok 20 (G-20), negara ekonomi maju dan berkembang akhir tahun ini.
Mendorong negara-negara G-20 untuk menandatangani target ambisius yang ditetapkan oleh beberapa ekonomi maju akan menjadi kunci peralihan ini karena negara-negara seperti China, India dan Indonesia tetap sangat bergantung pada batu bara.
Ada juga tekanan bagi negara-negara kaya untuk meningkatkan bantuan keuangan mereka kepada negara-negara ekonomi rendah menjelang pertemuan iklim PBB tahun ini di Mesir. Secara khusus, negara berkembang menginginkan komitmen jelas bahwa mereka akan menerima dana untuk mengatasi kerugian dan kerusakan yang diderita akibat perubahan iklim.
Negara-negara kaya telah menolak gagasan itu karena takut dianggap bertanggung jawab atas bencana yang disebabkan oleh pemanasan global.
Habeck, seorang anggota partai lingkungan hijau, bersikeras bahwa Jerman berkomitmen pada Kesepakatan Iklim Paris 2015 meskipun berusaha keras untuk mengamankan sumber bahan bakar fosil baru, termasuk dari Amerika Serikat, untuk memotong pembelian energinya dari Rusia.
“Apa yang kita lihat saat ini adalah percepatan transformasi ekologis,” katanya.
Pertemuan di Berlin juga akan berusaha untuk mencapai kesepakatan tentang penghapusan kendaraan mesin pembakaran secara bertahap, meningkatkan pendanaan untuk program keanekaragaman hayati, melindungi lautan dan mengurangi polusi plastik.