Tantangan Besar Menyelamatkan Pelahlar Nusakambangan yang Tersisa
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Biodiversitas
Selasa, 31 Mei 2022
Editor : Kennial Laia
BETAHITA.ID - Pelahlar nusakambangan menjadi salah satu jenis tumbuhan terlangka di Indonesia yang tanpa perlindungan hukum. Terutama sejak ia dikeluarkan dari daftar spesies yang dilindungi yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) Nomor P.106 Tahun 2018.
Padahal berdasarkan ketentuan pengawetan jenis tumbuhan, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999, pemilik nama ilmiah Dipterocarpus littoralis ini dianggap telah memenuhi kriteria wajib dilindungi.
Sebab, persebaran jenis ini sangat terbatas (endemik), yakni hanya ada di Pulau Nusakambangan (Ashton, 1982). Kemudian jumlah pohon dewasanya tercatat hanya 47 individu saja dan tren populasinya menurun, sesuai daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).
Peneliti tumbuhan dari Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Iyan Robiansyah mengatakan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Peter Ashton, Dipterocarpus littoralis diduga merupakan segregasi dari Dipterocarpus retusus yang memiliki sebaran lebih luas di Jawa.
Namun jenis ini sudah lama terisolasi secara ekologis dan geografis, kemungkinan sejak jaman pleistosen. Sehingga jenis ini mengalami diversifikasi menjadi jenis tersendiri.
"Tapi untuk membuktikan apakah dia memang benar seperti itu diperlukan studi molekul," kata Iyan, Senin (16/5/2022).
Jenis pohon besar ini dapat tumbuh mencapai tinggi 50 m dan diameter lebih dari 150 cm. Memiliki kulit batang mengelupas, abu-abu, dan mengeluarkan resin bila ditakik.
Daun penumpu berbulu kasar, merah tua. Daunnya tunggal, tersusun berseling atau spiral yang mengelompok di sekitar ujung ranting. Helaian daun membundar telur, agak kaku dan berlipatan.
Pelahlar ini berbunga hanya sekali dalam empat tahun pada awal musim kemarau. Bisa jadi ini yang menyebabkan pertumbuhan populasinya lambat.
Habitat alami pelahlar ini di hutan campuran daerah rendah (lowland forest), di punggung bukit, lereng dan pinggiran aliran air, serta pada substrat tanah bukit kapur (limestone) di Nusakambangan bagian barat (Partomihardjo dkk, 2014).
Dipterocarpus sendiri merupakan salah satu jenis dari suku Meranti-merantian (Dipterocarpaceae) penghasil kayu berkualitas baik. Kayu pelahlar nusakambangan digunakan untuk bahan bangunan, pembuatan kapal dan pertukangan, sedangkan resin digunakan untuk menutup celah papan perahu.
Dalam Strategi Konservasi 12 Spesies Pohon Prioritas Nasional 2019-2029 pelahlar nusakambangan masuk dalam jenis Prioritas I. Ironisnya, kualitas yang baik ini secara alami justru malah menghadirkan ancaman. Seperti halnya jenis-jenis kayu komersil lainnya, jenis ini telah banyak dieksploitasi untuk diambil kayunya sehingga keberadaannya di Nusakambangan terancam.
Ancaman lain yang tengah dihadapi pelahlar adalah habitat alaminya yang berada di bawah ancaman serius pengembangan lahan pertanian dan pemukiman baru. Kemudian ada juga risiko gangguan yang datang dari spesies palem langkap (Arenga obtusifolia) yang invasif (dominan dan mengganggu) dan mengancam habitat Dipterocarpus littoralis (IUCN, 2018).
"Keberadaan tanaman langkap mungkin akan berdampak serius pada regenerasi Dipterocarpus littoralis, terutama dengan bersaing dengan individu muda. Ada penelitian yang dilakukan di Ujung Kulon, tentang invasi langkap yang membuat persaingan cahaya di daerah yang didominasi langkap sangat menurunkan kerapatan relatif semak dan bibit pohon," kata Iyan Robiansyah.
Selain ancaman-ancaman tersebut, lanjut Iyan, ada pula risiko ancaman lain yang bisa membahayakan pelahlar, seperti introduksi spesies asing, eksploitasi sumber daya alam berlebihan, polusi, penyakit dan perubahan iklim.
Menurut Iyan, upaya perbanyakan tumbuhan ini juga tidak mudah. Persentase perbanyakan secara vegetatif, karena metabolik sekundernya tinggi. Bahkan perbanyakan melalui stek pucuk maupun stek batang terbilang sangat rendah, bahkan nol persen.
"Kalau yang di lapangan kita kesulitan generatifnya, perbanyakannya itu karena kita belum pernah bijinya. Berdasarkan survei terakhir saya itu persentase terbanyak tahapan hidup itu seedling."
Salah satu pelahlar nusakambangan (Dipterocarpus littoralis) muda di Cagar Alam Nusakambangan Barat./Foto: BKSDA Jateng
Iyan mengatakan, menurut pengamatan di habitat alaminya, individu Dipterocarpus littoralis umumnya tumbuh secara bergerombol. Bijinya yang berukuran besar tidak memungkinkan tersebar jauh dari pohon induknya. Kecuali bila pohon induknya berada di tempat yang tinggi dengan sudut kemiringan yang besar.
"Kalau berdasarkan penelitian Dipterocarpus yang lain, paling jauh 30 meter dari induknya. Kalau secara alami dia itu ngumpul penyebarannya. Bijinya itu tidak memungkinkan untuk terbawa ke tempat jauh karena dimakan burung atau hewan, karena tidak ada daging buahnya."
Mengenai pengaruh atau dampak yang timbul apabila pelahlar nusakambangan hilang atau punah. Iyan menjelaskan, setiap tumbuhan biasanya memiliki fungsi tertentu bagi suatu ekosistem. Sehingga ketika tumbuhan itu hilang, maka pasti akan ada fungsi yang hilang dari ekosistem tersebut.
"Cuma untuk mengkuantifikasi atau fungsinya apa, kemudian akibatnya kalau dia hilang, perlu penelitian lebih lanjut," terang Iyan.
Kemudian, bila pelahlar nusakambangan punah, juga dapat mengakibatkan potensi manfaat tertentu yang belum terungkap atau tergali dari tumbuhan tersebut juga akan ikut hilang. Manfaat di bidang kesehatan misalnya.
Menurut Iyan, perbanyakan jenis pelahlar untuk tujuan budidaya di luar habitat alaminya--Nusakambangan--masih diperbolehkan, sepanjang tidak ditanam di hutan alam. Karena dikhawatirkan jika cocok tumbuhnya, dapat mendominasi dan mengganggu ekosistem yang ada. "Jangan pelahlar yang berasal dari alam, tapi turunannya boleh."
Iyan berharap, selain upaya konservasi yang perlu terus dilakukan, studi yang berkaitan dengan pelahlar juga perlu untuk terus dikembangkan. Semisal studi mengenai kapan waktu pelahlar berbunga atau berbuah.
Menurut Iyan, studi tersebut penting dilakukan untuk dapat mengetahui pengaruh perubahan iklim terhadap tumbuhan itu. Sekaligus untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk mengumpulkan biji dalam upaya perbanyakan secara generatif.
"Agar bijinya bisa kita ambil untuk di tanam di tempat lain. Dipterocarpus itu kan biasanya ngumpul, dan anakan yang bisa menjadi dewasa itu satu saja. Karena akan terjadi kompetisi sumber makanan, sumber mataharinya tanahnya."
Penelitian lainnya yang perlu dilakukan adalah teknologi perkembangbiakan vegetatif. Sampai saat ini perkembangan vegetatif buatan terhadap pelahlar masih kurang membuahkan hasil posistif. Baik itu melalui stek batang, stek pucuk maupun kultur jaringan.
"Penelitian nilai manfaat dari kayunya. Karakteristiknya seperti apa, kelenturannya seperti apa, daya simpannya seperti apa. Kemudian kalau kita lihat daunnya, kita lihat metabolik sekundernya apa saja, apakah ada yang berpotensi sebagai anti virus atau anti jamur, kita belum sampai ke sana."
Kepala Resort Konservasi Wilayah Cilacap, BKSDA Jawa Tengah, Dedi Rusyanto mengatakan, berdasarkan hasil penelitian, Dipterocarpus littoralis yang masuk dalam kategori pohon (berusia dewasa, berukuran besar dan sudah menghasilkan buah) di CA Nusakambangan Barat jumlahnya tidak bisa dibilang banyak, tidak mencapai bilangan ratusan.
Meskipun langka, Dedi mengaku tidak menerapkan perlakuan khusus terhadap pohon-pohon itu, selain menjaganya dari aktivitas penebangan. Karena pohon-pohon itu memang sengaja dibiarkan tumbuh dan berkembang biak secara alami.
"Kalau yang di dalam kawasan kita tidak otak-atiklah. Biar secara alami tumbuh, berkembang untuk jadi standar bahwa vegetasi pelahlar di habitat aslinya itu bisa jadi penelitian dan sebagainya," ucap Dedi, Selasa (10/5/2022).
Dipterocarpus littoralis, imbuh Dedi, juga diketahui banyak tumbuh secara alami di luar kawasan CA Nusakambangan Barat. Akan tetapi hanya ada di bagian barat Nusakambangan saja, di bagian lainnya tidak. Namun habitat pelahlar di luar CA tersebut masuk dalam wilayah kelola Kementerian Hukum dan HAM (KemenkumHAM).
Meski demikian, bukan berarti BKSDA mengabaikan keberadaan pohon-pohon pelahlar yang berada di luar CA itu. Pihaknya tetap melakukan patroli rutin serta melakukan monitoring potensi keberadaan pelahlar di habitat alami pelahlar di luar CA.
"Karena kawasan di luar CA itu merupakan kawasan penyangga, yang diharapkan terjaga. Kita juga melibatkan teman-teman pemerhati lingkungan yang peduli, ada yang penelitian, ada yang edukasi endemiknya pelahlar, untuk bukan hanya sekedar menanam tapi juga untuk ikut menjaga dan merawatnya."
Sumber: Kajian Populasi dan Analisis Spasial Tanaman Endemik Dipterocarpus littoralis Blume di Pulau Nusakambangan, Helmi Mukti Yulia.
Pengendali Ekosistem Hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah Wahyono Ristanto menambahkan, beberapa kegiatan in-situ dilakukan untuk menjaga eksistensi pelahlar nusakambangan. Dalam bentuk pengamanan dan perlindungan kawasan, monitoring terhadap pelahlar, membantu regenerasi spesies di habitat, maupun pengayaan jenis di kawasan penyangga dengan melakukan penanaman pelahlar.
Sementara untuk kegiatan ex-situ, Wahyono menyebut sudah beberapa kali mengupayakan perbanyakan individu pelahlar, namun diakuinya hasilnya masih belum optimal.
"Pernah giat setek batang sekitar 100, namun banyak yang tidak bertahan hidup. Kalau yang generatif jarang dapat bijinya. Mungkin karena karakternya pelahlar yang musim buahnya tidak tentu dan buahnya cepat busuk di lapangan," ujar Wahyono, Senin (30/5/2022).
Berharap pelahlar nusakambangan kembali dilindungi
Mengingat panjangnya upaya untuk memulihkan populasi pelahlar nusakambangan, tidak ada cara selain memasukkan kembali spesies itu ke dalam status dilindungi oleh negara.
Direktur Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati BRIN, Amir Hamidy, menyatakan pihaknya membuka diri untuk evaluasi Peraturan Kementerian LHK Nomor P.106.
Sekretaris Forum Pohon Langka Indonesia (FPLI) Arief Hamidi mengatakan, FPLI tetap berharap pelahlar nusakambangan bisa kembali masuk ke dalam daftar tumbuhan dilindungi.
"Pelahlar mesti banyak mendapat perhatian. Dari pemerintah terutama. Para pakar, dengan ilmu pengetahuan dan kepakarannya, bisa membantu memberi arahan untuk sama-sama menjaga," kata Arief, Sabtu (21/5/2022).
Pada 2020 lalu, kata Arief, sempat ada rencana untuk merevisi lagi daftar jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Rencana itu diinisiasi KLHK.
Rencana revisi itu dibahas dalam rapat bersama sejumlah pihak terkait, di antaranya Sekretariat Kabinet (Setkab) RI, Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves), KKP, LIPI, Institut Pertanian Bogor (IPB), Badan Litbang KLHK, Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan FPLI, 22 September 2020 lalu.
Berdasarkan rapat pembahasan dimaksud, para pihak yang hadir telah ditentukan tahapan-tahapan maupun estimasi waktu untuk proses memasukkan spesies dilindungi, hingga pada penetapan oleh menteri yang ditargetkan pada pertengahan Desember 2020.
Tahapan-tahapan dimaksud di antaranya penerimaan usulan secara tertulis dari para pihak. Selanjutnya disampaikan kepada LIPI sebagai otoritas keilmuan di Indonesia. Lalu, konsultasi publik membahas daftar jenis tumbuhan satwa liar yang dilindungi.
Namun rencana revisi kembali aturan itu tak berlanjut selama pandemi Covid-19. Padahal, imbuh Arief, dalam kesempatan itu FPLI telah mengusulkan 50 jenis tumbuhan untuk masuk dalam daftar spesies dilindungi. Sebanyak 12 jenis di antaranya masuk target Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK).
Pada 2019 lalu, FPLI bersama Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan KLHK, ikut menginisiasi penyusunan Strategis Konservasi 12 Spesies Pohon Prioritas Nasional 2019-2029. Dalam dokumen yang diterbitkan LIPI itu, pelahlar nusakambangan masuk dalam kategori Spesies Prioritas I.
Pada 28 Desember 2018 lalu, Menteri LHK Siti Nurbaya memilih mengeluarkan Dipterocarpus littoralis dari daftar jenis tumbuhan yang dilindungi. Meski semua hasil penelitian para ilmuan di negeri ini telah menunjukkan bahwa populasi pelahlar nusakambangan kritis, dan terancam punah.
Terlepas dari latar belakang pencabutan status perlindungan hukumnya yang kontroversial, penyelamatan populasi pelahlar nusakambangan yang tersisa di alam itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena saat ini nyaris tak ada jaminan masa depan spesies akan membaik.
Bukan hanya penyelamatan terhadap spesiesnya, perlindungan terhadap kelestarian dan keseimbangan ekosistem habitat alaminya di Nusakambangan juga menjadi hal yang sangat penting. Sebab ancaman terbesar yang menghantui jenis ini justru datang dari alih fungsi lahan habitatnya.
Bila hanya karena alasan bisnis, sosial, ekonomi dan hukum, kemudian spesies ini menjadi punah di alam, maka betapa sia-sianya ilmu pengetahuan.
*Tulisan ini adalah tulisan ketiga dari rangkaian Liputan Khusus Spesies Pelahlar Nusakambangan (Dipterocarpus littoralis).
Liputan ini merupakan program Fellowship "Meliput Kepunahan Senyap" kerja sama The Society of Indonesian Science Journalists (SISJ) dan Earth Journalism Network (EJN).