Para Pemohon JR UU Minerba Ajukan Dokumen Kesimpulan Sidang ke MK

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Senin, 06 Juni 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sidang judicial review (JR) atau pengujian yudisial Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Barat (Minerba) telah memasuki tahap akhir. Putusan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) akan menjadi putusan penting di tengah kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas komitmen iklim Indonesia jelang pertemuan G20.

Selama persidangan, terungkap sejumlah fakta kuat dan tak terbantahkan mengenai dampak kerusakan dari regulasi protambang ini bagi warga. Proses persidangan mengungkap hak konstitusi warga dalam mempertahankan lingkungan yang sehat dengan sengaja dihilangkan, dan semakin mudahnya pengusaha bersama aparat hukum melakukan kriminalisasi terhadap warga yang melakukan penolakan tambang. Dalam sidang terungkap pula bahwa bila regulasi ini tidak dicabut, perampasan lahan untuk tambang akan semakin mudah terjadi.

Atas hal itu, Tim Advokasi UU Minerba menyerahkan dokumen kesimpulan, yang berisikan sejumlah fakta persidangan JR UU Minerba yang dihimpun dari 11 kali persidangan yang telah berlangsung, pada Jumat (3/6/2022) siang. Penyerahan dokumen kesimpulan ini dilakukan oleh Tim Advokasi UU Minerba dengan dibarengi pembentangan spanduk dan banner bertuliskan tentang belasan warga yang telah dikriminaliasi meski UU yang disahkan pada pertengahan 2020 lalu itu baru seumur jagung.

Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 tersebut diajukan tepat di hari Presiden Jokowi berulangtahun ke-60, pada 21 Juni 2021 lalu dengan pemohon yakni Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur (Kaltim) dan dua warga yang menjadi korban kriminalisasi tambang Nurul Aini dan Yaman.

Sejumlah aktivis melakukan pembentangan spanduk dan banner berisikan beragam tulisan di depan Gedung MK, Jumat (3/6/2022)./Foto: Bersihkan Indonesia

"Dari keterangan ahli serta saksi-saksi fakta, dan alat bukti tertulis yang dihadirkan dalam persidangan, sangatlah jelas bahwa UU Minerba ini bermasalah. Bahkan telah berdampak besar di tengah masyarakat. Tren kriminalisasi warga dengan jeratan UU Minerba ini terus meningkat dan telah menjadi tameng bagi para pengusaha tambang untuk mengamankan bisnisnya," ujar Lasma Natalia, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandung, yang dalam hal ini menjadi Ketua Tim Advokasi UU Minerba, Jumat (3/6/2022).

Anggota Tim Advokasi UU Minerba lainnya, Muhammad M. Jamil dari Jatam menambahkan, regulasi yang disahkan tanpa partisipasi publik ini telah memperluas ancaman penguasaan lahan dan perampasan sumber ekonomi produktif warga. Partisipasi publik telah dipangkas dengan diserahkannya kuasa pertambangan kepada pemerintah pusat, sebagaimana telah diungkapkan oleh saksi Ali Fahmi, pensiunan PNS di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan (Kalsel).

"Kami sangat yakin dan percaya dengan melihat fakta persidangan, para hakim Mahkamah Konstitusi akan meletakkan kepentingan warga di atas kepentingan kelompok pebisnis tambang. Ini adalah momentum bagi para hakim untuk mengembalikan kepercayaan rakyat, bahwa konstitusi dan undang-undang dibuat untuk melindungi hak-hak konstitusi dan keselamatan rakyat," urai Jamil.

Berikut adalah kesimpulan yang disampaikan Pemohon berdasarkan fakta-fakta selama 1 tahun proses persidangan:

  • Bukti kedudukan hukum pemohon yang kuat.
  • Pemohon telah menyampaikan bukti dengan mengajukan 3 ahli yakni I Gusti Agung Made Wardana, Anugerah Rizki Akbari, dan Franky Butar-Butar, serta 5 saksi Taufik Iskandar, Herdiansyah Hamzah, Ali Fahmi, Anggi Maisya, dan Abdullah Ibrahim Ritonga.
  • Pemohon memberikan tanggapan terhadap ahli yang dihadirkan pemerintah, yaitu Abdul Kamarzuki yang merupakan Plt. Dirjen Tata Ruang Kementerian ATR/BPN RI dimana ahli tidak disumpah dan keterangan saksi tidak punya kekuatan pembuktian.
  • Pemohon juga memberikan tanggapan terhadap saksi yang dihadirkan pemerintah yakni Alwi Akbar (Direktur Operasi dan Produksi PT Timah) dan Dolok Robert Silaban (Direktur Pengembangan Usaha PT ANTAM), dimana keduanya BUMN, yang berarti saksi-saksi ini adalah bagian dari pemerintah sehingga keterangannya dapat menimbulkan conflict of interest.
  • Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3) UU Minerba a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), pasal 28C ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 bukti yang diberikan antara lain: sesuai keterangan ahli I Gusti Agung Made Wardana dan Franky Butar-Butar serta didukung keterangan Saksi Herdiansyah Hamzah dan Saksi Ali Fahmi, frasa dan/atau pemerintah yang dihilangkan dalam penguasaan pertambangan mineral dan batubara berdampak pada hilangnya peran masyarakat.
  • Ketentuan Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, dan Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU Pertambangan Mineral dan Batubara tentang Jaminan Tidak Adanya Perubahan Pemanfaatan Ruang dan Kawasan Pada WIUP, WIUPK, dan WPR Bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dalam persidangan ahli I Gusti Agung Made Wardana mengatakan adanya frasa “jaminan” dalam ketentuan terkait tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang yang diberikan bagi WIUP, WIUPK, dan WPR adalah bentuk pembekuan atas pola ruang kawasan budidaya yang bersifat permanen dan mutlak. Pembekuan tidak dibenarkan karena kemungkinan perubahan lingkungan hidup strategis yang berdampak pada penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
  • Pasal 162 UU Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana terakhir diubah oleh Pasal 39 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, bertentangan dengan Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945. Ahli Anugerah Rizki Akbari menerangkan dalam persidangan tanggal 19 Maret 2022 bahwa keberadaan normal pasal a quo terdapat kesalahan dan kekeliruan. Pendapat Anugerah Rizki Akbari dalam persidangan 19 Maret 2022 menyampaikan ada dua kekeliruan mendasar dalam proses kriminalisasi yang dilakukan terhadap perbuatan “merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan” dan tidak terpenuhinya syarat lex certa dan lex stricta.
  • Hal ini diperkuat dengan keterangan saksi fakta. Saksi Anggi Maisa menerangkan ketika Ia bersama nelayan pergi ke kapal pertambangan bijih timah untuk menyampaikan RDP dengan Gubernur Kep Babel. Hasil RDP sepakat menghentikan dulu operasi pertambangan. Namun kemudian saksi dan 14 orang nelayan lainnya dipanggil polisi dengan tuduhan menghalangi pertambangan. Saksi Abdullah Ibrahim Ritonga menerangkan Aktivis Walhi Bengkulu dan warga Desa Pasar Seluma mengalami kriminalisasi karena melakukan aksi di lokasi tambang PT Flaming Levto Bakti Abadi.
  • Pasal 169 A ayat (1), Pasal 169B ayat (3) bertentangan dengan Pasal 28 (D) ayat (1) UUD 1945, Prinsip Partisipasi Warga Negara dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 dan pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. Pasal ini sudah diputus oleh MK melalui Putusan No 64/PUU-XVIII/2020, namun masih relevan dipertimbangkan.