Teknologi Yang Diharapkan akan Dipakai Indonesia

Penulis : Redaksi Betahita

Energi

Selasa, 25 April 2017

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Teknologi yang lebih canggih dapat diadopsi di Indonesia, seperti yang telah sukses diujicobakan di negara meski dengan korbanan biaya yang lebih besar. Teknologi CCS yang  digunakan di Dam Boundary, Kanada dan Petra Nova di Amerika Serikat layak untuk dipertimbangkan untuk dipakai Indonesia. Meskipun proyek ini menelan biaya sekitar US 1 miliar.

Rubin mencatat penelitian dan pengembangan lebih lanjut dapat menurunkan biaya secara signifikan. Untuk Petra Nova, secara khusus Presiden AS Donald Trump telah menyatakan dukungannya untuk penggunaan teknologi batubara bersih ini.

Teknologi batu bara bersih lain yag dipakai di Amerika Serikat menggunakan teknologi yang disebut gasifikasi, yang sekarang juga sedang diuji coba di Indonesia. Dilansir oleh Jakarta Globe  sebuah perusahaan Jepang, IHI Corporation, telah berinvestasi di pabrik prototipe PT Pupuk Kujang yang diharapkan selesai pengujian tahun ini.

Dengan gasifikasi, alih-alih membakar batu bara, batu bara diubah menjadi gas dengan menggunakan uap dan tekanan udara yang memaksa molekul karbon terpisah. Residunya lebih mudah dipisahkan dari gas yang dihasilkan yang kemudian dibakar untuk menghasilkan energi.

Limbah B3 diduga berasal dari pabrik minyak goreng

baca juga: (Mimpi Udara Bersih Tanpa Batubara)

Pembangkit energi yang dengan teknologi sederhana seperti dimaksud di atas sering disebut supercritical atau ulta-supercritical, sebagai kebalikan dari teknologi tradisional yang disebut subcritical. Perbedaannya adalah di tekanan uapnya.

Meskipun ada berbagai macam metode untuk memproses batubara menjadi energi, batubara biasanya dihaluskan kemudian dibakar untuk memanaskan air dalam bejanan tekanan uap (boiler), yang menjadi uap yang menggerakkan turbin.

Boiler supercritical dan ultra-supercritical dibuat untuk menahan suhu yang lebih tinggi dan tekanan yang lebih besar. Dengan kondisi tersebut, lebih sedikit energi yang diperlukan untuk mengubah air menjadi uap, membuat boiler lebih efisien dan dengan demikian mengurangi jumlah emisi per megawatt jam.

Pembangkit listrik supercritical ini menghasilkan 20% lebih sedikit karbon untuk jumlah yang sama dari energi yang dihasilkan, dan pembangkit ultra-supercritical menghasilkan 30 persen lebih sedikit, menurut hasil kajian dari Badan Energi Internasional (International Energy Agency).

Meskipun teknologi supercritical mulai digunakan di  Eropa, Jepang, dan beberapa negara lain, namun penggunaannya belum jamak dipakai di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Pembangkit energi tenaga batu bara yang menggunakan teknologi supercritical  pertama di Indonesia  yakni di  Cirebon, mulai beroperasi pada tahun 2012, dengan dua unit ultra-supercritical masih dalam tahap uji coba di tempat tersebut.

Indonesia saat ini memiliki sekitar 50 pembangkit listrik tenaga batu bara, dan berencana untuk membangun 117 pabrik baru pada 2019. Dengan rincian; 21 persen menggunakan teknologi  subcritical; 43 persen supercritical; 16 persen ultra-supercritical; dan 20 persen tidak terdefinisi.

Dengan hanya sebagian dari tenaga batu bara baru menggunakan teknologi ini, diyakini akan sulit untuk Indonesia mengejar laju proyeksi pengurangan emisi karbon hingga 20 persen untuk tahun 2030.