Komnas HAM Sampaikan Rencana Dialog Damai Papua ke Komisioner HAM
Penulis : Tim Betahita
Hukum
Sabtu, 18 Juni 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Delegasi Komnas HAM RI yang dipimpin Ketua, Ahmad Taufan Damanik didampingi Komisioner Beka Ulung Hapsara dan Komisioner Mochamad Choirul Anam bertemu dengan Komisioner Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet di kantor PBB Jenewa, Swiss, Jumat (16/6). Pada pertemuan tersebut kedua lembaga mendiskusikan isu-isu aktual seperti situasi hak asasi manusia di Indonesia termasuk inisiatif dialog damai Papua yang digagas oleh Komnas HAM RI.
Taufan mengatakan dialog damai itu digagas oleh Komnas HAM sebagai upaya pendekatan penyelesaian berbagai masalah HAM di Papua. Ia mengklaim rencana itu disambut baik olek PBB. “Michelle Bachelet menyampaikan apresiasi atas langkah Komnas HAM RI,” ujar Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan persnya.
Pihaknya percaya percaya dialog damai Papua dapat terwujud. Ia berharap semua pihak dapat mendukung usaha itu. Selain itu, menurut Ahmad Taufan Damanik, Komnas HAM RI menyampaikan berbagai perkembangan mendasar pemajuan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia, termasuk penyelesaian beberapa kasus yang menjadi perhatian publik maupun tantangan yang sedang dihadapi.
Termasuk di dalamnya perubahan terkait kemajuan kebijakan hak asasi manusia dan hambatan yang masih terjadi. Michelle Bachelet, lanjut Ahmad Taufan Damanik menyampaikan apresiasi atas langkah Komnas HAM RI , khususnya terkait inisiatif dialog damai. Penyelesaian damai Papua merupakan cara terbaik dalam konteks hak asasi manusia.
Michelle Bachelet juga menyampaikan berbagai pengalaman di negara lain yang dapat dijadikan contoh guna mewujudkan dialog damai serta berkomitmen mendukung langkah-langkah yang akan dilakukan Komnas HAM RI.
Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda sebelumnya telah menegaskan Komnas HAM RI tak punya kapasitas untuk menyelenggarakan ataupun menjadi mediator dialog damai antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia. Komnas HAM, menurut Wenda adalah institusi yang menjadi bagian dari negara Indonesia. Wenda mengatakan selama ini apa yang dilakukan Komnas HAM pada kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua pun tidak pernah tuntas ataupun ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia.
Fakta ini menunjukan tidak adanya kepercayaan dari Pemerintah Indonesia sendiri terhadap Lembaga HAM negara yang dibentuknya sendiri. “Fakta ini juga membuat rakyat Papua tidak percaya pada Komnas HAM itu juga,” kata Wenda.
Wenda mengingatkan pada tahun 2019 lalu Presiden Jokowi juga pernah mengatakan bersedia berdialog dengan kelompok-kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan Papua namun hingga saat ini, pernyataan tersebut tidak pernah terbukti. Awal Maret lalu, tiga pelapor khusus PBB menyatakan keprihatinan serius tentang memburuknya situasi hak asasi manusia di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia, mengutip pelanggaran yang mengejutkan terhadap penduduk asli Papua, termasuk pembunuhan anak, penghilangan, penyiksaan dan pemindahan massal orang.
Para pelapor khusus PBB ini menyerukan akses kemanusiaan yang mendesak ke wilayah tersebut, dan mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan penuh dan independen terhadap pelanggaran terhadap masyarakat adat.
“Antara April dan November 2021, kami telah menerima tuduhan yang menunjukkan beberapa contoh pembunuhan di luar proses hukum, termasuk anak-anak kecil, penghilangan paksa, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan pemindahan paksa setidaknya 5.000 orang asli Papua oleh pasukan keamanan,” kata Francisco Cali Tzay, Pelapor Khusus tentang hak-hak masyarakat adat, Morris Tidball-Binz, Pelapor Khusus untukpembunuhan di luar hukum dan Cecilia Jimenez-Damary, Pelapor Khusus untuk Hak Asasi Manusia Pengungsi Internal.
Mereka mengatakan perkiraan menyebutkan jumlah keseluruhan pengungsi, sejak eskalasi kekerasan pada Desember 2018, antara 60.000 hingga 100.000 orang. “Beberapa pengungsi tinggal di tempat penampungan sementara atau tinggal bersama kerabat. Ribuan penduduk desa yang mengungsi telah melarikan diri ke hutan di mana mereka terkena iklim yang keras di dataran tinggi tanpa akses ke makanan, perawatan kesehatan, dan fasilitas pendidikan,” sebut para pelapor khusus PBB ini.