Prioritas Pembebasan Lahan IKN Menteri ATR Dianggap Ancam Warga
Penulis : Aryo Bhawono
Agraria
Rabu, 22 Juni 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Agenda prioritas Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) membebaskan lahan kawasan IKN dianggap mengancam warga lokal. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengingatkan hingga Presiden Jokowi mengumumkan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) pada 2019 lalu, perampasan tanah warga oleh korporasi di tempat itu sama sekali belum diselesaikan.
Hadi menjelaskan pembebasan lahan IKN menjadi satu dari tiga prioritasnya setelah menjabat Menteri ATR. Prioritas pertama adalah program sertifikasi tanah. Kedua adalah menyelesaikan tumpang tindih tanah antara masyarakat dan badan usaha.
"Sudah saya koordinasikan dengan Bu Siti Nurbaya saya juga akan kelapangan mana yang prioritas akan segera kita urus sehingga pak Bambang (Kepala Otorita IKN) segera bisa bekerja," jelasnya usai serah terima jabatan di Kementerian ATR, Jakarta.
Namun Jatam memiliki khawatir dengan prioritas mantan Panglima TNI ini. Menurut mereka, latar belakang militer menjadi ancaman baru bagi masyarakat di sekitar kawasan IKN. Apalagi sejak Presiden Jokowi mengumumkan pemindahan IKN pada Agustus 2019 lalu, suara warga justru tak pernah didengar.
“Misalnya saja tanah milik warga di Kelurahan Pemaluan, Telemow, Maridan, dan Kelurahan Sepaku telah diserobot oleh PT ITCI Hutani Manunggal. Hingga kini, lahan-lahan tersebut belum dikembalikan kepada masyarakat adat setempat,” ucap Dinamisator Jatam Kaltim.
Bahkan, di konsesi IKN seluas 256 ribu hektar itu, sebanyak 41 persen merupakan tanah yang telah lama dikuasai warga, namun pemerintah tidak melayani proses sertifikasi hak milik yang diajukan warga selama ini.
Sejumlah lahan dan rumah milik warga setempat justru telah dipatok secara sepihak untuk pembangunan kawasan IKN oleh pemerintah, tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari warga.
Sehingga agenda prioritas Menteri Hadi untuk membebaskan lahan di kawasan IKN itu jelas menambah ancaman bagi warga lokal.
“Kekhawatiran ini mengingat warga tengah menuntut pemerintah untuk status tanahnya diakui, bukan dibebaskan, apalagi dipindah-paksakan,” jelasnya.