Metana Lebih Sensitif Terhadap Pemanasan Global
Penulis : Aryo Bhawono
Perubahan Iklim
Senin, 11 Juli 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Sebuah studi menunjukkan metana empat kali lebih sensitif terhadap pemanasan global dari yang diperkirakan sebelumnya. Hasil studi ini membantu menjelaskan pertumbuhan cepat metana dalam beberapa tahun terakhir dan jika dibiarkan maka pemanasan terkait metana akan meningkat dalam beberapa dekade mendatang.
Pertumbuhan gas rumah kaca ini, yang dalam rentang waktu 20 tahun lebih kuat 80 kali dari karbon dioksida, telah melambat sejak pergantian milenium tetapi mengalami peningkatan pesat sejak sejak 2007 telah. Pengukuran US National Oceanic dan Atmosfer Administration mencatat pertumbuhan ini melewati 1.900 bagian satu miliar tahun lalu, hampir tiga kali lipat tingkat pra-industri.
"Apa yang sangat membingungkan adalah fakta bahwa emisi metana telah meningkat pada tingkat yang lebih besar dalam dua tahun terakhir, meskipun ada pandemi global, ketika sumber antropogenik dianggap kurang signifikan," kata Simon Redfern, Saintis Ilmu Bumi Universitas Teknologi Nanyang di Singapura, seperti dikutip dari Guardian.
Sekitar 40 persen emisi metana berasal dari sumber alami seperti lahan basah, sedangkan 60 persen berasal dari sumber antropogenik seperti peternakan sapi, ekstraksi bahan bakar fosil, dan lokasi pembuangan akhir. Penjelasan peningkatan emisi metana yang paling memungkinkan ini berkisar dari perluasan eksplorasi minyak dan gas alam, peningkatan emisi dari pertanian dan tempat pembuangan sampah, dan peningkatan emisi alami saat lahan basah tropis menghangat dan tundra Arktik mencair.
Tapi penjelasan lain bisa jadi adalah perlambatan reaksi kimia yang menghilangkan metana dari atmosfer. Cara utama di mana metana "dibersihkan" adalah melalui reaksi dengan radikal hidroksil di atmosfer.
"Radikal hidroksil telah disebut sebagai 'deterjen' atmosfer karena bekerja untuk membersihkan atmosfer dari jejak gas berbahaya," kata Redfern.
Tetapi radikal hidroksil juga bereaksi dengan karbon monoksida, dan peningkatan kebakaran hutan mungkin telah memompa lebih banyak karbon monoksida ke atmosfer dan mengubah keseimbangan kimia.
Rata-rata, kata dia, sebuah molekul karbon monoksida tetap berada di atmosfer selama sekitar tiga bulan sebelum diserang oleh radikal hidroksil, sementara metana bertahan selama sekitar satu dekade. Jadi kebakaran hutan berdampak pada cepatnya penggunaan 'deterjen' hidroksil dan mengurangi pembuangan metana.
Untuk memahami apa yang mendorong percepatan metana, Redfern dan rekannya Chin-Hsien Cheng, menggunakan pengukuran metana selama empat dekade. Mereka menganalisis perubahan iklim untuk mengidentifikasi ketersediaan radikal hidroksil yang mungkin telah berubah dan dampaknya pada perubahan iklim terhadap sumber metana.
Temuan mereka, yang diterbitkan dalam jurnal Nature Communications, menunjukkan pemanasan global empat kali lebih berpengaruh dalam mempercepat emisi metana daripada yang diperkirakan sebelumnya. Kenaikan suhu membantu menghasilkan lebih banyak metana (dengan mempercepat aktivitas mikroba di lahan basah, misalnya). Sementara pada saat yang sama penghapusan metana dari atmosfer melambat (dengan meningkatnya jumlah kebakaran hutan mengurangi ketersediaan radikal hidroksil di atmosfer atas).
“Itu adalah hasil yang sangat mengejutkan, dan menyoroti bahwa efek perubahan iklim bisa lebih ekstrem dan berbahaya dari yang kita duga,” kata Redfern.
Saintis Ilmu Bumi di Royal Holloway University of London, Euan Nisbet, mengungkapkan jika kapasitas oksidatif udara juga bermasalah, seperti yang ditunjukkan oleh hasil ini, maka temuan ini menunjukkan pemanasan global merupakan pedang bermata dua,” kata Euan Nisbet.
Nisbet, yang memimpin proyek Methane Global Project di Inggris, tidak terlibat dalam penelitian.
“Itu benar-benar mengkhawatirkan karena percepatan metana mungkin merupakan faktor terbesar yang menantang tujuan kesepakatan Paris kami,” ucapnya.
Sementara pengurangan karbon perlu tetap menjadi fokus utama, Redfern dan Cheng mengatakan metana tidak dapat diabaikan. Nisbet setuju dengan hal itu dan mengatakan sebagian besar emisi berasal dari negara-negara industri atau berkembang baru-baru ini dan mereka membutuhkan bantuan. Menurutnya yang dibutuhkan bukanlah uang tetapi tata pemerintahan yang baik.
“Kita perlu membujuk China dan India, dua penghasil emisi terbesar, untuk bergabung dengan janji metana global dan menangani lubang tambang batu bara, kebakaran limbah tanaman, dan emisi TPA mereka. Dan kita perlu melihat Afrika dimana emisi metana mungkin tumbuh pesat dari pertumbuhan populasi, kebakaran limbah tanaman yang meluas dan tempat pembuangan sampah, dan pemanasan lahan basah alami,” ucapnya.
Sementara itu, mengurangi dan mencegah kebakaran hutan dan pembakaran biomassa juga penting. “Kekhawatirannya adalah bahwa perubahan iklim dapat mempercepat risiko seperti itu, memberi umpan balik pada percepatan konsentrasi metana atmosfer dalam lingkaran setan,” kata Redfern.