Pemanasan Global Turut Mengancam Ibadah Haji

Penulis : Aryo Bhawono

Perubahan Iklim

Senin, 11 Juli 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Ibadah haji turut berada dalam risiko karena perubahan iklim. Laporan Pusat Pengkajian Islam Universitas Nasional (PPI UNAS) berjudul ‘Dampak Kebijakan Iklim bagi Ibadah Haji’ , menyebutkan peningkatan suhu global dan cuaca ekstrem akan membahayakan jamaah di tanah suci.

Laporan itu mengungkapkan, penurunan emisi global yang lebih cepat sangat penting untuk menyelamatkan jemaah haji. Makanya negara-negara industri dan kaya serta negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim perlu melakukan tindakan yang lebih kuat untuk menjaga suhu di bawah 1,5 derajat Celcius.

Suhu tinggi, bila dikombinasikan dengan kelembaban, bisa sangat berbahaya. Ketika udara sangat lembab, laju evaporasi (penguapan) keringat terhambat karena udara sudah penuh dengan uap air. Pada kondisi ini, manusia rentan terkena sengatan panas karena tubuh kita jadi kesulitan berkeringat. 

Orang tua merupakan kelompok paling rentan terhadap serangan panas. Namun, ketika panas dan kelembapan cukup tinggi, orang muda yang sehat pun berisiko sakit atau mati akibat panas.

Seorang pria membasahi dirinya di pancuran air kala gelombang panas melanda India dan Bangladesh pada 2015. Panas ekstrem saat itu menewaskan lebih dari 4.000 jiwa dan ribuan petani gagal panen sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan pangannya. Foto: Saikat Paul/Shutterstock via The Conversation

Kondisi ini bisa terjadi di Makkah, Berdasarkan data saat ini, suhu rata-rata global telah meningkat 1,2 Derajat Celcius karena aktivitas manusia, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan praktik pertanian yang tidak berkelanjutan. 

Kebijakan iklim saat ini membawa dunia menuju pemanasan global 2,7 Derajat Celcius  sebelum anak-anak yang lahir hari ini berusia 80 tahun. Pada tingkat pemanasan global  saat ini, ibadah haji di musim panas sangat berbahaya. Sebanyak 97 persen musim panas mencapai ambang level 'berbahaya', dan sekitar satu dari lima musim panas tersebut akan mencapai ambang level 'bahaya ekstrem', tingkat yang belum pernah dialami di Makkah.

Peluang untuk mencapai ambang batas panas dan kelembapan yang berbahaya ini akan sangat berkurang jika pemanasan global dipertahankan sesuai target Perjanjian Paris, 1,5 Derajat Celcius. Peluang terjadinya suhu panas lembab pada jamaah haji melebihi ambang batas 'bahaya' akan lebih besar dibanding saat ini, terutama pada bulan yang lebih dingin yaitu Mei dan Juni. 

Namun, peluang untuk mencapai tingkat 'bahaya ekstrem' hanya 4 persen pada September, dan 0 persen di semua bulan lainnya. Artinya ibadah haji akan jauh lebih aman jika target penurunan emisi bisa terpenuhi saat ini. 

“Laporan ini memberikan gambaran penting bagi umat Islam untuk peduli dan bertindak terhadap perubahan iklim. Panas ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim akan membuat ibadah Haji lebih sulit dan lebih berbahaya bagi komunitas Islam,” ucap Fachruddin M. Mangunjaya, Ketua Pusat Studi Islam (PPI) UNAS melalui rilis pers.

Selanjutnya, kata dia, perubahan iklim juga akan berdampak buruk pada banyak negara Islam dan penduduk Muslim dunia pada umumnya.

Senior Ambassador pada GreenFaith sekaligus co-founder of The Global Muslim Climate Network, Nana Firman menyebutkan laporan ini merupakan sebuah pengingat penting bahwa dunia, termasuk umat muslim sudah berada dalam tahap bahaya yang dapat mengakhiri kehidupan kita di planet bumi. Kondisi ini berarti kita telah merusak ciptaan Allah, kata dia, dan gagal memenuhi peran kita sebagai khalifah (pengayom) di muka bumi. 

“Oleh karena itu, sebagai umat muslim, kita harus berani mendesak semua negara – khususnya yang memiliki tanggung jawab dan kapasitas terbesar – untuk meningkatkan upaya mengurangi emisi dan menetapkan strategi yang ambisius dalam mengatasi perubahan iklim,” kata dia. 

Menurut laporan ini, lima negara yang paling bertanggung jawab atas perubahan iklim hingga saat ini adalah Amerika Serikat, Cina, Rusia, dan Brasil, dan Uni Eropa. Mereka adalah negara kaya dan penyumbang emisi lebih tinggi yang punya tanggung jawab dan potensi paling besar untuk menghilangkan karbon paling cepat.

Tetapi tindakan untuk membatasi emisi dari negara-negara terkaya saja tidak akan cukup. Tindakan global diperlukan untuk membatasi pemanasan, dan termasuk pengurangan emisi di negara yang belum menjadi salah satu pencemar teratas dalam sejarah, atau saat ini bukan negara berpenghasilan tinggi.

Di antara negara-negara yang perlu mengurangi emisi yaitu negara mayoritas Muslim. Laporan ini mengkaji konsekuensi emisi karbon dari negara-negara tersebut karena mereka berkepentingan terkait ibadah haji.

Dari laporan terungkap, negara mayoritas Muslim termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran, Turki, Bangladesh, Mesir, dan Indonesia punya kebijakan emisi yang—jika diikuti negara lainnya—akan menyebabkan ibadah haji menjadi terlalu berbahaya bagi para jamaah.

Tanpa tindakan bersama seluruh negara di dunia, termasuk negara mayoritas Muslim, maka kita akan menuju kegagalan besar dalam melindungi umat muslim dunia untuk menjalankan rukun islam ke-5 yaitu ibadah haji.

Masyarakat Islam Amerika Utara (Kantor Urusan Antar Agama dan Komunitas), Imam Saffet A. Catovic, menyebutkan haji adalah salah satu dari lima rukun Islam dan perubahan iklim secara langsung mengancam keselamatan dan kelangsungannya. 

“Semakin banyak Muslim yang “menghijaukan” haji mereka secara individu, pemerintah dan lembaga keuangan harus menerapkan rencana ambisius di tingkat sistemik dengan meningkatkan pengembangan energi terbarukan dan mulai menghapus energi berbahan bakar fosil," ujarnya. 

Laporan ini juga menemukan, negara mayoritas Muslim seperti Maladewa dan Maroko telah menunjukkan rencana pengurangan karbon yang sesuai target Perjanjian Paris.