Korban Tragedi HAM Papua Tagih Janji Jokowi
Penulis : Tim Betahita
Aktivis HAM Papua
Jumat, 08 Juli 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Ketua Organisasi Korban Pelanggaran HAM Bersatu Untuk Kebenaran atau BUK, Tineke Rumkabu menyatakan para korban tragedi Biak Berdarah menagih Presiden Joko Widodo memenuhi komitmen politiknya untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua.
Hal itu disampaikan Tineke Rumkabu dalam keterangan pers yang digelar di Kantor Elsham Papua, Kota Jayapura, Rabu (6/7).
Rumkabu mengatakan pihaknya masih terus menunggu pemerintahan Jokowi merealisasikan janji politik Jokowi untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua, termasuk tragedi Biak Berdarah.
“Kami menuntut Presiden Joko Widodo, Polri, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI, dan pemerintah daerah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Biak berdarah,” kata Rumkabu.
Ia mengatakan setelah 24 tahun berlalu, belum ada pelaku tragedi Biak Berdarah yang diadili. Rumkabu menyatakan Negara Indonesia telah gagal dalam mengungkapkan siapa pelaku dalam tragedi Biak Berdarah, dan gagal mengungkap para pelaku dalam berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) lain di Papua.
“Negara Republik Indonesia membiarkan korban begitu saja. Korban ditelantarkan begitu saja. Meskipun ada [korban] yang meninggal dunia, hilang, disiksa, dibunuh, diperkosa, [namun] tanggung jawab negara ada di mana? Kami sebagai korban menilai Negara Indonesia tidak bertanggung jawab atas berbagai kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua, [karena] tidak memberikan rasa keadilan bagi korban, serta tidak menangkap dan mengadili pelaku pelanggaran HAM,” kata Rumkabu.
Rumkabu mengatakan jika kasus itu diselesaikan tanpa proses pengadilan, dan hanya diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), penyelesaian itu tidak akan memberikan rasa keadilan bagi para korban.
Sebagai korban, Rumkabu mendesak pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk mengadili para pelaku. Hasil investigasi Elsham Papua berjudul “Papua Tanpa Nama, Nama Tanpa Pusara” yang dipublikasikan pada Juli 1999 menyebutkan bahwa tragedi Biak Berdarah itu menyebabkan delapan orang warga meninggal dunia.
Selain itu, ada tiga orang hilang, empat orang terluka berat, 33 orang luka ringan, dan 150 orang ditangkap dan disiksa. Pasca peristiwa itu, ada 32 jenazah yang ditemukan di perairan Biak. Laporan “Papua Tanpa Nama, Nama Tanpa Pusara” juga menyebutkan berbagai satuan ABRI yang diduga menyerang para pengunjuk rasa di Biak pada 6 Juli 1998. Rumkabu mengatakan jika pemerintah terus menunda proses hukum dalam tragedi Biak Berdarah, pengungkapan kasus itu akan semakin sulit dilakukan.
“Pelaku tidak diadili karena ada yang sudah tua, ada yang telah meninggal dunia, ada yang sudah pensiun, sehingga kasus pelanggaran HAM berat Biak Berdarah tidak dapat diungkapkan dan semakin kabur kasusnya,” katanya.
Rumkabu meminta Pemerintah Indonesia memberikan pemulihan untuk mengatasi rasa trauma korban. Ia juga berharap pemerintah memberikan akses bagi Tim Independen untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua.
“Kami meminta juga kepada Pemerintah Indonesia membuka akses [bagi] jurnalis asing [untuk berkunjung] ke Tanah Papua. Kami juga meminta Pemerintah Indonesia serius dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua,” katanya.
Sekretaris Bersatu Untuk Kebenaran (BUK), Baguma Yarinap mengatakan secara umum BUK menilai Negara Indonesia gagal dalam menangani berbagai kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua. Oleh karena itu, BUK bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil memfasilitasi peringatan tragedi Biak Berdarah, untuk memperingatkan kegagalan Negara Indonesia menyelesaikan kasus itu.
“Peringatan 24 tahun tragedi Biak Berdarah itu difasilitasi BUK, Make West Papua Save, dan Elsham Papua. Kegiatan diselenggarakan berupa, jumpa pers nonton bersama tragedi biak berdarah, dan orasi-orasi dari para korban dan Membacakan kembali hasil Investigasi Elsham Papua,” katanya.