Kawal Alat Bor PT TMS, Polisi Sangihe Dilaporkan ke Mabes Polri

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Rabu, 13 Juli 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Koalisi Selamatkan Pulau Sangihe yang terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Save Sangihe Island (SSI), melaporkan Polres Kepulauan Sangihe dan Polsek Tabukan Selatan atas dugaan pelanggaran kode etik profesi Polri ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Markas Besar (Mabes) Polri, Selasa (12/7/2022).

Pelaporan tersebut didasari oleh tindakan anggota kepolisian pada dua kesatuan polisi wilayah tersebut melakukan pengawalan terhadap angkutan dua buah alat berat bor milik PT TMS pada 13-16 Juni 2022 lalu. Aktivitas angkut alat berat dan pengawalan oleh aparat kepolisian ini dilakukan saat izin lingkungan PT TMS telah dicabut dan pihak perusahaan dilarang melakukan aktivitas apapun, sebagaimana yang termaktub dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado Nomor 57/G/LH/2021/PTUN.Mdo.

Koordinator SSI, Jan Takasiaheng mengatakan, laporan yang Koalisi ajukan itu telah diterima oleh anggota bagian pelayanan pengaduan presisi pada Divpropam Mabes Polri, dan telah diterbitkan Surat Penerimaan Surat Pengaduan Propam Nomor SPSP2/3989/VII/2022/Bagyanduan tertanggal 12 Juli 2022.

"Dengan diterimanya laporan kami, maka aparat kepolisian dapat segera melakukan serangkaian tindakan penyelidikan dan penyidikan atas peristiwa tersebut," kata Jan, dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (12/7/2022).

Perwakilan Koalisi Selamatkan Pulau Sangihe menyerahkan laporan dugaan pelanggaran kode etik profesi Polri ke Divpropam Mabes Polri, 12 Juli 2022./Foto: Dokumentasi Koalisi Selamatkan Pulau Sangihe.

Pulau Sangihe yang masuk pada wilayah administratif Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara memiliki luas 763,89 km persegi dan termasuk dalam kategori sebagai pulau-pulau kecil, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Hadirnya PT TMS di Pulau Sangihe sangat mengancam ruang hidup dan ekosistem kehidupan masyarakat. Hal itu kemudian mendorong 56 perempuan asal Desa Bowone, Kecamatan Selatan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe menggugat Izin Lingkungan PT TMS ke PTUN Manado pada 2021 lalu.

Pada 2 Juni 2022 lalu, melalui Putusan Nomor 57/G/LH/2021/PTUN.Mdo PTUN Manado menyatakan dalam pokok sengketa bahwa izin lingkungan kegiatan penambangan emas PT TMS di Kabupaten Kepulauan Sangihe yang dikeluarkan Kepala Dinas PTSP Provinsi Sulawesi Utara dibatalkan dan harus dicabut sehingga PT TMS tidak lagi memiliki dasar hukum apapun untuk melakukan aktivitas pertambangan di Pulau Sangihe.

Kendati izin lingkungan kegiatan pertambangan sudah dibatalkan, PT TMS justru sama sekali tidak menunjukan itikad baik untuk menghormati putusan PTUN Manado. Pada Rabu, 13 Juni 2022 lalu, PT TMS berupaya mengerahkan alat berat operasi untuk masuk ke wilayah konsesi pertambangan melalui Pelabuhan Panaru.

Upaya memasukan alat berat tersebut mendapatkan pengawalan dari aparat gabungan dari anggota Polres Kepulauan Sangihe dan anggota Polsek Tabukan Selatan. Menurut informasi, keterlibatan aparat keamanan ini teridentifikasi berdasarkan pakaian dinas lapangan (PDL) yang digunakan oleh anggota tersebut.

Hingga akhirnya tiga unit alat berat tersebut dibawa keluar dari Pulau Sangihe pada 16 Juni 2022. Hal tersebut tentu saja membuat masyarakat Sangihe harus berjibaku untuk menghadang masuknya alat berat bor milik PT TMS, dengan melakukan blokade jalan.

"Bahwa tindakan kepolisian tersebut diperkuat dengan temuan berupa dokumen surat perintah Kapolres Kepulauan Sangihe Nomor Sprin/507/VI/2022 Res Kepulauan Sangihe yang memerintahkan untuk membongkar blokade jalan."

Upaya pengawalan alat berat oleh aparat Polres Sangihe dan Polsek Tabukan Selatan menunjukkan adanya sikap keberpihakan institusi negara kepada korporasi yang tidak menghormati hukum dan justru tidak berpihak pada masyarakat Pulau Sangihe, sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk memelihara ketertiban perlindungan dan pengayoman.

Anggota Polres Sangihe dan Polsek Tabukan Selatan telah melanggar Pasal 40 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan telah jelas melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 Ayat 1 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Republik Indonesia.

Tentunya, pelanggaran kode etik profesi Polri sebagaimana diduga dilakukan oleh anggota Polres Sangihe dan Polsek Tabukan Selatan telah menyerabut hak asasi manusia warga Sangihe, yakni hak atas rasa aman sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 30 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

"Maka sudah semestinya terduga anggota Polri yang melanggar kode etik profesi harus diproses dan dipertanggungjawabkan secara etik demi menjamin ketidakberulangan pelanggaran HAM yang terjadi di kemudian hari."

Atas dasar persoalan tersebut, Koalisi Selamatkan Pulau Sangihe mendesak Divpropam Mabes Polri untuk segera menindaklanjuti pengaduan dengan melakukan investigasi penyelidikan dan penyidikan terhadap para anggota kepolisian dari kesatuan Polres Sangihe dan Polsek Tabukan Selatan, terkait pengawalan aktivitas pertambangan PT TMS, yang tidak memiliki izin di Pulau Sangihe.

Selain itu, Koalisi juga mendesak Polri untuk secara aktif dan berkala melaporkan kepada publik, termasuk Koalisi Selamatkan Pulau Sangihe atas setiap perkembangan proses etik yang telah dilakukan.