PVRI Desak KPK dan Polisi Usut Dugaan Suap DOB Papua
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Senin, 18 Juli 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Lembaga kajian demokrasi dan aktivisme masyarakat sipil, Public Virtue Research Institute (PVRI), meminta kepolisian dan KPK untuk mengusut dugaan suap dalam kebijakan pembentukan daerah otonomi baru (DOB) di Papua. Dugaan suap ini mengemuka setelah Bupati Merauke Romanus Mbraka mengklaim telah memberikan sejumlah uang untuk menciptakan skema perubahan otsus dan penarikan kewenangan ke pusat untuk meloloskan Papua Selatan sebagai daerah otonomi baru.
Dikutip dari Jubi, klaim terekam dalam video saat Pawai Bersama Ucapan Syukur Penetapan DOB Provinsi Papua Selatan di Merauke, Senin (10/7). Romanus menyebutkan telah memberikan sejumlah uang dengan nilai besar kepada beberapa anggota DPR RI guna menciptakan skema perubahan otsus dan penarikan kewenangan ke pusat untuk meloloskan Papua Selatan sebagai daerah otonomi baru. Ia juga menyebutkan beberapa nama anggota dewan seperti Yan Permenas Mandenas dari Partai Gerakan Indonesia Raya dan Komarudin Watubun dari PDI-Perjuangan.
“Kami meminta aparat hukum supaya mendalami peryataan publik yang dilontakan oleh Bupati Merauke Romanus Mbraka. Pernyataan tersebut dengan jelas menyebutkan beberapa nama anggota DPR RI dan indikasi suap dalam skema perubahan UU Otsus Papua guna memuluskan langkah pembentukan DOB ,” ujar peneliti PVRI Mohamad Hikari Ersada dalam keterangan pers yang diterima oleh redaksi.
Menurutnya dugaan suap yang diberikan kepada anggota DPR RI dalam rangka merivisi UU Otsus adalah cara-cara ini yang akan buat Papua hancur. Romanus, kata Hikari, ingin mengatakan bahwa dirinya telah menyuap Anggota DPR RI agar merubah pasal dalam UU.
“Ini pelanggaran hukum yang berat,” sambung Hikari.
Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Usman Hamid menyesalkan adanya suap dan kejanggalan lainnya. Hal itu merampas hak partisipasi orang asli Papua. Usman menambahkan, dalam video berdurasi 2 menit 29 detik yang beredar luas di media sosial itu, Romanus bersama dengan DPR RI jelas secara janggal berupaya untuk melakukan revisi terhadap otonomi khusus Papua sehingga menyerahkan kendali kekuasaan ke Jakarta.
Ia menegaskan adanya praktik pengelolaan kekuasaan yang sentralistis dan dengan sengaja meminggirkan aspirasi representasi kultural orang asli Papua (OAP).
“Video ini juga menunjukkan bagaimana peminggiran suara terhadap Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua hingga akar rumput di Papua terjadi secara terstruktur. Sekaligus membenarkan bahwa kebijakan pemekaran yang terjadi beberapa waktu ke belakang hanya menjadi keinginan elite politik yang kenal praktik KKN. Itu merusak agenda reformasi, desentralisasi dan Otonomi Khusus,” ujar Usman.
Dalam video yang beredar tersebut, Romanus mengklaim telah memberikan sejumlah uang dengan nilai besar kepada beberapa anggota DPR RI guna menciptakan skema perubahan otsus dan penarikan kewenangan ke pusat untuk meloloskan Papua Selatan sebagai daerah otonomi baru. Ia juga menyebutkan beberapa nama anggota dewan seperti Yan Permenas Mandenas dari Partai Gerakan Indonesia Raya dan Komarudin Watubun dari PDI-Perjuangan.
Romanus juga mengatakan bahwa jika ia menyebutkan angka dari biaya bayaran tersebut, pasti akan ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dikutip dari Jubi, Romanus sendiri telah meminta maaf kepada semua pihak atas pernyataan tersebut setelah video itu kemudian viral di media sosial dan mendapatkan kritikan dari berbagai kalangan, termasuk tanggapan dari anggota DPR RI, Yan Mandenas.
Pada konferensi pers, Kamis (14/7/2022) sore sekitar pukul 18.00 WP, Romanus menyatakan maksud dari pernyataannya itu sebenarnya bahwa perjuangan masyarakat Merauke, Asmat, Mappi dan Biven Digul untuk memekarkan Provinsi Papua Selatan selama 20 tahun menguras tenaga, waktu dan biaya yang tidak sedikit.
“Saya pribadi dan atas nama Pemkab Merauke menyampaikan permohonan maaf kepada yang terhormat Bapak Komarudin Watubun dan Yan Mandenas yang saya sebutkan namanya dalam sambutan 11 Juli lalu, saat kembali mengikuti penetapan UU Provinsi Papua Selatan di Jakarta,” kata Romanus kepada wartawan di Merauke.