Ombudsman Bank Dunia: Tambang PT DPM di Dairi Berisiko Ekstrem
Penulis : Aryo Bhawono
Tambang
Jumat, 22 Juli 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pemeriksaan The Office of Compliance Advisor Ombudsman (CAO) menyebutkan tambang seng dan timah PT. Dairi Prima Mineral (DPM) di Kabupaten Dairi berpotensi menimbulkan risiko bencana ekstrem. Potensi ini muncul karena bendungan tailing yang dirancang untuk menyimpan produk sampingan beracun kegiatan penambangan, yang menurut para ahli, hampir pasti rusak.
The Office of the Compliance Advisor Ombudsman (CAO) adalah mekanisme akuntabilitas independen dari International Finance Corporation (IFC) dan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA), anggota Kelompok Bank Dunia.
Pemeriksaan ini menyebutkan tinjauan awal atas informasi yang tersedia menunjukkan kekurangan dalam desain bendungan tailing dan pengkajian risiko-risiko terkait dibandingkan dengan praktik industri internasional yang baik untuk pembangunan fasilitas seperti ini, terutama mengingat karakteristik topografi, geologis, kegempaan dan klimatologis dari lokasi tambang. Kekurangan ini menambah risiko signifikan terhadap orang-orang dan lingkungan yang berhubungan dengan potensi kegagalan bendungan tailing.
“Tambang PT DPM merupakan investasi langsung IFC maka akan masuk dalam proyek Kategori A, tingkat risiko lingkungan dan sosial tertinggi. Proyek-proyek Kategori A didefinisikan sebagai kegiatan usaha yang memiliki potensi risiko dan/atau dampak lingkungan atau sosial yang merugikan yang beragam, tidak dapat dipulihkan, atau belum pernah terjadi sebelumnya,” tulis laporan tersebut.
Tinjauan CAO terhadap adendum Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 2021 yang asli, yang dilakukan tahun 2005 menyebutkan tidak ada keterangan rinci tentang manajemen tailing dan penampungan tailing. Informasi yang ada hanya untuk 8 tahun pertama untuk tambang yang diproyeksikan akan memiliki masa operasional 30 tahun.
Bendungan tailing digunakan untuk menyimpan produk limbah berbutir-halus dari pengolahan bijih yang dihancurkan dan digiling. PT DPM mengusulkan untuk meninggikan bendungan tailing dengan ketinggian awal 25 meter untuk menampung produksi tailing di 8 (delapan) tahun pertama. Informasi yang tersedia menyarankan bahwa bendungan awal akan ditinggikan dengan mengisi sisi hilir bendungan meski informasi detail tentang desain dan ketinggian akhir bendungan tidak tersedia.
Perusahaan itu tidak mengkaji risiko yang berhubungan dengan kondisi iklim, geologis dan kegempaan dari lokasi bendungan. Beberapa risiko mengancam bendungan itu seperti lokasi tambang berada di daerah yang rawan gempa dengan magnitudo yang kuat dan curah hujan tinggi, dan bendungan tailingnya akan berada di atas tanah tapak yang terdiri dari tanah liat dan abu vulkanik (dikenal dengan istilah tufa).
Selain itu endapan tailing berupa lumpur (slurry) membuatnya rentan mengalami pencairan (likuifaksi) atau mengalir karena gempa bumi sehingga tidak cukup kuat untuk menahan ketidakstabilan bendungan dan berpotensi menyebabkan tailing meluap dan mengalir ke hilir. Tingginya risiko gempa bumi di daerah tersebut, curah hujan yang tinggi, topografi yang curam, dan kondisi tanah tapak yang tidak bagus meningkatkan risiko bendungan tailing lebih rentan mengalami kegagalan.
Sedangkan lokasi bendungan di hulu sementara ada ribuan penduduk desa dan lahan pertaniannya di hilir berarti jika terjadi kegagalan bendungan akan berpotensi mengakibatkan dampak yang signifikan dan tidak dapat dipulihkan bagi orang-orang dan lingkungan.
Berdasarkan pada gabungan risiko kegempaan, curah hujan tinggi, dan ketinggian akhir bendungan yang diusulkan, serta lokasi desa-desa di hilir, kemungkinan kegagalan bendungan tailing di lokasi DPM akan dikategorikan “ekstrem” menurut pedoman Australian National Committee on Large Dams (ANCOLD) untuk Bendungan Tailing.
Sedangkan praktik industri internasional yang baik mengharuskan bendungan tailing seperti ini untuk dapat bertahan dalam menghadapi beban banjir dan gempa bumi dalam periode ulang 10.000 tahun.
“Sehingga, dokumentasi desain yang tersedia tentang bendungan tailing tambang DPM tampak tidak sejalan dengan praktik industri internasional yang baik,” tulis hasil pemeriksaan tersebut.
Hasil pemeriksaan atas risiko atas limbah tailing ini sejurus dengan hasil penelitian risiko yang dilakukan oleh Ahli Geofisika Universitas Cornell, Steven H Emmermen, dan Konsultan Keselamatan Bendungan, Richard Meehan. Keduanya menunjukkan risiko besar bendungan tailing milik PT DPM itu.
Pemeriksaan CAO ini sendiri dilakukan setelah pada Oktober 2019 lalu, lembaga tersebut mendapat laporan dari perwakilan warga Dairi, Rainim Purba. Pengaduan itu memaparkan pengembang tambang diwajibkan untuk mematuhi standar Bank Dunia untuk perlindungan sosial dan lingkungan. Namun pemilik tambang memutuskan hubungan keuangannya dengan perantara IFC, Postal Savings Bank of China, untuk menghindari penyelidikan lebih lanjut.
Meskipun demikian CAO melaporkan beberapa temuan yang memberatkan dalam laporan penilaian kepatuhannya. Laporan CAO juga menyebutkan risiko dan kemungkinan dampak dari runtuhnya bendungan akan dirasakan oleh beberapa ribu orang yang tinggal dan bertani di hilir di tambang yang diusulkan.
Potensi drainase asam dari bendungan tailing yang direncanakan juga menimbulkan risiko kontaminasi terhadap sumber air permukaan dan air tanah yang memasok masyarakat setempat.
Selain itu PT DPM juga ditengarai tidak mengakui penduduk masyarakat sekitar sebagai Masyarakat Adat sesuai dengan kebijakan upaya perlindungan IFC. Kebutuhan akan Persetujuan Berdasarkan Informasi Awal tanpa Paksaan, tulis laporan itu, kemungkinan telah diabaikan.
Kekhawatiran lain yang menjadi perhatian pemeriksaan ini antara lain lokasi gudang bahan peledak yang berdekatan dengan pemukiman penduduk, dampak kesehatan karena pencemaran udara dan lingkungan lainnya, serta dampak sosial.
Menanggapi laporan ini, Rainim Purba, mengungkapkan selama ini dirinya dan warga tidak pernah mendapat informasi akurat mengenai perusahaan, baik dari pemerintah maupun perusahaan sendiri. Padahal warga sudah memendam kekhawatiran sejak lama.
“Proyek ini berpotensi membunuh kami dan kami tidak ingin tambang berbahaya ini menyimpan limbah yang berbahaya di halaman belakang rumah kami,” ucapnya dalam jumpa pers di Kantor Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) di Medan pada Kamis (21/7/2022).
Perwakilan warga terdampak PT DPM, Mangatur Sihombing, mengungkapkan keluh kesah dan permintaan informasi warga selama ini justru dihadapi dengan aparat pemerintah. Tak ada kata terang, baik dari pemerintah maupun perusahaan.
“Bahkan sesudah menguji column stone, rumah warga berantakan. (Saat itu) warga hanya berhadapan dengan polisi dan koramil. Sebenarnya mereka milik siapa, milik perusahaan?” keluhnya.
Yayasan Pengembangan Ekonomi dan Teknologi Rakyat Selaras Alam (Petrasa) yang selama ini melakukan pendampingan pemberdayaan masyarakat di Dairi menyebutkan kehadiran tambang DPM akan mengancam kehidupan petani yang ada di kabupaten itu. Aktivitas tambang akan mengganggu pertanian warga yang selama ini menjadi lumbung pangan dan hasil pertanian, termasuk durian.
“Bagaimana mungkin kedaulatan pangan yang digadang oleh pemerintah bisa berjalan jika berdampingan dengan tambang,” ucap salah satu pendamping warga dari Petrasa, Duat Sihombing dalam kesempatan yang sama.
Direktur BAKUMSU, Tongam Panggabean, mengungkapkan laporan investigasi ini mencatat bahwa risiko kerusakan akibat aktivitas tambang PT DPM dapat mengakibatkan dampak terhadap kehidupan dan mata pencaharian ribuan penduduk desa yang berada di hilir secara signifikan dan kemungkinan tidak dapat dipulihkan”
”Bank Dunia telah memberikan konfirmasi bahwa tambang Dairi merupakan bencana yang tinggal menunggu waktu untuk terjadi. Jika pemerintah Indonesia memberi lampu hijau kepada proyek ini sekarang, jelas mereka bersedia mengorbankan keselamatan masyarakat untuk kepentingan bisnis/perusahaan besar,” kata.
Perubahan Izin Lingkungan Belum Ada
Perubahan proyek, termasuk lokasi baru untuk fasilitas penyimpanan tailing (TSF), memerlukan persetujuan lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melanjutkan dan agar tambang beroperasi secara legal. Namun kementerian itu belum menerima permintaan revisi AMDAL Dairi Prima Mineral.
Analisis risiko perusahaan sebelumnya dipertanyakan dalam Sidang Addendum ANDAL pada Mei 2021. KLHK meminta PT DPM untuk memasukkan revisi Adendum hasil sidang yang menjawab pertanyaan terkait keamanan bendungan tailing
Meski perusahaan belum menyerahkan revisi Adendum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan untuk mengatasi masalah yang belum terselesaikan, sebagaimana diminta oleh pemerintah Indonesia, NFC mengklaim telah mendapatkan pinjaman untuk tambang dan telah melanjutkan proyek tersebut.
Namun meski belum mendapat persetujuan, PT DPM telah mendapatkan tanah untuk fasilitas penyimpanan tailing dan telah mulai bekerja.
Beberapa NGO, diantaranya BAKUMSU, Jaringan Advokasi Tambang Nasional (JATAM), dan Pusat Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), beranggapan perolehan tanah tersebut melanggar menurut hukum di Indonesia.