Tragedi Harimau Sumatera: Hidup Dijagal, Mati Dijual (1)
Penulis : Harry Siswoyo dan Betty Herlina
World Tiger Day
Jumat, 29 Juli 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Anyir darah meruyak dan menyesap di hidung anak perempuan bernama Levi. Di hadapan bocah yang masih duduk di kelas 5 Sekolah Dasar itu, bapaknya, Laelan, sedang mengoyak perut seekor harimau besar. Isi perut kucing besar itu ditarik paksa.
Darah merah pekat seketika menggenang di atas terpal berwarna biru pudar. Hari itu, tepat di bawah hujan matahari. Si raja hutan yang kerap melintas di ladang mereka meregang nyawa tergantung di tali kawat. Daging, sendi tungkai, dan kulitnya pun habis dilucuti.
“Dado’e disait bak (dadanya dibelah bapak). Aku, adek, dan emak tolong pegang palaknyo (memegang kepala harimau). Udem tu (setelah itu) dagingnyo kami goreng,” kata Levi, putri pertama Laelan, mengenang masa kecilnya. Kami terkesima. Mata gadis yang kini baru menamatkan Sekolah Menengah Atas ini berbinar, tak sedikit pun tersirat takut.
“Aponyo yang takut. Idak takut-takutlah. Palaknyo kami main-mainkan malahan (kepala harimau malah kami jadikan mainan),” kata Levi sembari tertawa. “Dagingnyo jugo enak. Miriplah kek ayam (mirip seperti daging ayam).”
Kenangan belasan tahun lalu itu rupanya masih menggenang di kepalanya. Tak sedikit pun ia menyadari bahwa apa yang dipertontonkan bapaknya dulu adalah hal keji yang tak pantas ia simpan diingatan.
Kisah para jagal
Suasana desa di wilayah Ulu Rawas, Kabupaten Musi Rawas Utara, Provinsi Sumatera Selatan. Kampung ini menjadi salah satu tempat para pemburu harimau tinggal. Di belakang kampung ini adalah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan menjadi habitat dari harimau sumatera.
Laelan, lahir dan besar di Dusun Pulau Lebar, Kecamatan Ulu Rawas, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan. Pengakuannya, ia sudah lebih dari 10 tahun berburu harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan telah membunuh setidaknya lima ekor.
Namun, sudah dua tahun belakangan bapak tiga anak ini memilih berhenti berburu harimau. Katanya ia baru dapat wangsit dari para leluhur dan didaulat menjadi pelindung para harimau. Sejak itu, Laelan punya “kepandaian” lebih. Bisa meramal, mengobati orang sakit, sampai membaca nasib orang. Si jagal harimau ini pun berubah profesi menjadi dukun kampung.
“Kadang imau-imau (harimau) ini berbisik minta tolong ke kami. Jadi kami bisa tahu di mana saja jerat yang dipasang para pemburu,” kata Laelan sembari mengusap dahinya berulang-ulang. Kedua matanya terpejam. Itu tandanya ia sedang berkomunikasi dengan alam gaib. Mulutnya komat-kamit entah mengucap apa karena suaranya lirih.
“Hari ini ada orang-orang masuk ke hutan Riau. Mereka mau membunuh harimau. Nah carilah,” ucap Laelan. Sorot matanya menusuk kami. Kami cuma bisa bergeming.
Laelan, si mantan pemburu harimau sumatera yang kini menjadi dukun kampung, sedang melakukan proses ritual.
Hampir semua laki-laki di kampung Laelan biasa berburu di hutan. Mereka berburu rusa, kijang, napuh, atau juga babi hutan. Orang-orang ini fasih menggunakan senjata api rakitan yang terbuat dari besi bekas pipa air dan berpeluru potongan besi atau baut.
Namun, meski hampir setiap rumah menyimpan senjata api, tak semua orang di kampung mau berburu harimau. Mereka menganggap itu adalah pekerjaannya orang yang punya ‘ilmu sakti’ saja. Jadi tak banyak sesungguhnya yang mau menjadi tukang jagal harimau.
Umumnya, nyaris seluruh desa pelosok di Musi Rawas, Musi Rawas Utara, Bengkulu, pun sampai Jambi dan Riau, tak ada yang memiliki aturan lisan atau tulisan yang melarang untuk membunuh harimau. Padahal kalau kita tanya, orang-orang di sini kompak menjawab kalau harimau adalah leluhur mereka.
Malah yang lazim menjadi acuan justru anggapan kalau ada harimau yang muncul ke permukiman manusia, atau buruknya sampai memakan orang, maka itu adalah harimau yang sudah terusir dari para leluhur. Dia pantas untuk dibunuh. “Bagi kami, itu sudah jadi harimau gunung, bukan harimau nenek (leluhur) lagi,” kata Laelan meyakinkan kami.
Jika sudah begitu. Maka derajat harimau tadi tak ubahnya dengan rusa, kijang atau babi yang biasa mereka buru. Yah, singkatnya tak lebih sebagai hama. Dan itu artinya, bahwa siapa pun yang bisa membunuh ‘hama’ utamanya si raja hutan, maka ia layak dihormati lantaran jasa mereka telah membantu mengamankan kampung dan ladang.
“Kami kecil dulu, juga pernah menonton orang-orang tua kami mencincang harimau di tengah lapangan dusun. Orang-orang dusun bersorai keriangan,” kata Laelan dengan wajah sumringah. Di benak kami, senyum itu seolah hendak menyampaikan pesan bahwa apa yang ditonton anak-anaknya saat ia membantai harimau adalah hal biasa.Jerat harimau sumatera yang ditemukan di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Ratusan jerat masih kerap ditemukan setiap tahunnya. Sebarannya bahkan sudah memasuki jantung hutan.
Usman (69), pemburu lain yang kami temui di Desa Muara Kuis Ulu Rawas, mengakui jika siapa pun yang memburu harimau, entah itu membunuhnya atau cuma menghalau saja, akan dianggap pahlawan bagi desa. Karena ahlinya cuma sedikit, para tukang jagal ini juga mesti siap memenuhi panggilan dari kampung lain, yang jaraknya bisa berhari-hari jalan kaki menembus hutan, hanya untuk membunuh harimau.
“Dulu orang dari Ulu Rawas ini yang menghabiskan harimau di Lebong (Provinsi Bengkulu). Mereka sengaja dipanggil, katanya harimau sudah meresahkan kampung,” kata lelaki yang mengaku pernah membunuh lebih dari enam ekor harimau ini kepada kami di rumahnya.
Usman memiliki postur tubuh kecil namun liat. Khasnya para penjelajah hutan. Ia terlatih berjalan kaki di hutan berhari-hari, menyusup rimbun onak, tidak suka beralas kaki, merokok tak pernah putus, dan memiliki mata yang selalu waspada.
(Baca juga: Raja Hutan Sumatera dan Persoalan Populasinya)
Di rumahnya, persis di ruang tamu yang juga sekaligus sebagai ruang tidur dan tempat menyimpan barang-barang, terpajang kepala rusa besar dengan tanduk hampir setengah meter. Kami yakin usianya sudah tua sekali. Debu dan sarang laba-laba bergelayutan di antara tanduknya.
Di tanduk sebelah kanan, tergantung senjata api rakitan. Kondisinya bersih, tanda masih sering digunakan. “Dua kali tembak. Zaman bujang dulu,” kata Usman sambil menyulut rokok lagi. Matanya tertuju ke kepala rusa. Sepertinya ia bisa menebak penasaran kami.
Lima tahun ini Usman mengaku sudah berhenti berburu. Fisiknya sudah tak kuat mengejar harimau. Kalau pun ke hutan, paling cuma mencari Biga (serbuk bambu) untuk dijual ke pengepul. Aktivitas berburu harimau dilanjutkan oleh tiga anak lelakinya: Sahrul, Yi, dan Rozi. Di tangan tiga bersaudara ini, setidaknya sudah tujuh ekor harimau yang mati. Kulit, taring, dan tulangnya dijual ke Palembang, Jambi, dan Lampung.
“Terakhir harga jualnya cuma Rp18 juta pada 2018 ke Lampung. Sudah itu, belum dapat lagi. Kami rencana mau berhenti juga,” kata Rozi. Umur pria ini belum genap 40 tahun. Perawakannya persis bapaknya, kekar dan berahang kokoh.
Pemburu generasi kedualah sebenarnya yang mulai menggeser motif menjaga ladang dengan uang. Selain karena lebih lincah dan punya banyak kawan, yang utamanya mereka mengenal telepon genggam. Jadi bisa dengan mudah terhubung ke pengepul yang hendak membeli hasil buruan mereka.
Termasuk lah si ‘dukun’ Laelan. Terakhir ia menjual kulit harimau lengkap pada tahun 2018 seharga Rp111 juta kepada seorang pengepul di Padang, Sumatera Barat. Sebuah harga yang luar biasa tinggi dibanding para pemburu lain. Ia mengunci mulut soal siapa pembelinya.
Di tempat lain, tepatnya di Kabupaten Musi Rawas yang letaknya lima jam perjalanan dari kampung Laelan dan Usman, kami bersua pemburu harimau bernama Mawi.
Mawi, lelaki gaek berusia 65 tahun bekas pemburu harimau sumatera. Dari tangannya nyawa sekitar 100 harimau sudah melayang.
Nama lelaki gaek berusia lebih dari 65 tahun ini bahkan jauh lebih populer daripada Laelan. Ia sudah berburu sejak 1972 dan telah membunuh lebih dari seratus harimau. Mawi sudah mulai berjualan saat harganya masih Rp15 ribu.
Berbeda dengan Laelan atau Usman, Mawi tipe pemburu tanpa kelompok. Ia lebih suka menyendiri dan gemar berburu dalam waktu lama. Bayangkan saja, ia pernah meninggalkan kampung sampai setahun demi berburu harimau. Orang ini terlatih tidur di rimba dan memakan apa saja yang ada di hutan. Mawi juga piawai menjagal, mulai dari menggunakan tangan kosong, senjata api, sampai seling baja.
Di kalangan pemburu, Mawi terkenal paling produktif. Pernah dalam sebulan ia sanggup membunuh lima ekor harimau sekaligus. “Dulu itu kan zaman susah. Tidak ada lokak duit (pekerjaan yang menghasilkan uang). Jadi kami pilih berburu harimau,” kata lelaki kelahiran Dusun Jambu Desa Muara Tiku ini kepada kami yang bermalam di kediamannya.
Harimau sumatera merupakan satu dari tiga spesies harimau yang pernah tinggal di Indonesia. Dua lainnya, yakni harimau jawa dan harimau bali sudah dinyatakan punah. (Yayasan Auriga Nusantara)
Mawi membenarkan jika dulu para pemburu harimau di kampung sering dianggap pahlawan. Tingginya populasi harimau kala itu memang dianggap sebagai ancaman bagi penduduk, khususnya yang mau ke ladang.
Namun kemudian semua berubah menjelang 2000-an. Rupanya di luaran, para pembeli kulit harimau makin ramai. Beberapa bahkan menggunakan jasa perantara yang saling bersaing dengan menebar isu harga yang berbeda-beda.
Imbasnya, uang beraroma amis darah harimau pun berubah jadi lebih wangi. Soal cap pahlawan kampung menjadi tak penting lagi. Apalagi, hasil ladang mulai tak menentu. Perburuan harimau meluas, bahkan jadi menyasar hewan lain yang selama ini tak dianggap memiliki nilai ekonomi.
Pernah pada 2014-an, kata Mawi, di sebagian Musi Rawas Utara, Musi Rawas, dan Kerinci Jambi, ada pengepul dari Sumatera Barat yang sengaja memodali orang kampung untuk berburu harimau dan satwa langka di hutan.
“Mereka kasih duit dan senjata api otomatis (informasi ini juga dibenarkan pemburu lain dan investigator yang kami temui namun tak bisa dituliskan, red.). Jumlahnya sampai belasan pucuk. Tujuannya untuk berburu Enggang dan satwa lain yang bisa dijual. Orang-orang pun berebutan masuk ke hutan untuk berburu,” kata Mawi.
Sejatinya, Mawi adalah pemburu harimau panggilan. Beberapa kali ia kerap dimintai tolong oleh orang di desa untuk menangkap harimau. “Mana tahu itu (membunuh harimau) dilarang. Dulu, kalau dapat, malah polisi ingin lihat bentuknya bagaimana. Orang-orang tahu semua kami bunuh harimau,” kata Mawi sembari tersenyum.
Namun demikian, uang akhirnya mengubah Mawi. Demi uang pula, ia pun sanggup bertahan di hutan hingga berbulan-bulan. Berkeliling dari perut hutan ke perut hutan yang lain dan dari pengepul satu ke pengepul yang lain. “Tahun 2018, terakhir kami jual Rp18 juta sama orang Curup (Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu). Mungkin di pengepul harganya bisa dijual lebih besar lagi,” kenang Mawi.
(Bersambung ke bagian 2)
*Liputan investigasi ini merupakan hasil kolaborasi dalam program “Bela Satwa Project” yang diinisiasi oleh Garda Animalia dan Auriga Nusantara
*Diterbitkan di Ekuatorial.com dan betahita.id sebagai liputan kolaborasi.