Pemberian Konsesi di TN Komodo Menyalahi Konservasi Biosfer
Penulis : Aryo Bhawono
Konservasi
Jumat, 05 Agustus 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur menganggap pemberian konsesi pariwisata ratusan hektar di tapak konservasi Komodo merupakan bukti pemerintah melanggar mandat konservasi cagar biosfer. Kehadiran perusahaan-perusahaan itu menunjukkan bahwa tak ada niat konservasi.
Hasil penelusuran yang dilakukan menunjukkan setidaknya ada tiga perusahaan yang mengantongi izin. Pertama, PT. Segara Komodo Lestari, yang mendapatkan IUPSWA No 7/1/IUPSWA/PMDN/2013 untuk lahan seluas 22,1 hektar di Pulau Rinca yang ditetapkan melalui SK Kemenhut No. 5.557/Menhut/II/2013.
Kedua, SK.796/Menhut-II/2014 yang memberikan Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) kepada PT. Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) di Pulau Padar dan Pulau Komodo yang terdiri atas 274,81 hektar (19,6 persen dari luas Pulau Padar) dan 154,6 Ha (3,8 persen dari luas Pulau Komodo).
Ketiga, izin buat PT Synergindo Niagatama di atas lahan seluas 6,490 hektar di Pulau Tatawa.
Taman Nasional Komodo adalah salah satu kawasan Cagar Biosfer yang berada di bawah naungan UNESCO sejak Januari 1977. TNK adalah habitat asli bagi 5.700 ekor hewan purba kadal raksasa atau yang dikenal komodo itu.
Cagar Biosfer adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai negara melalui kerjasama program Man and The Biospher (MAB-UNESCO) untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan, berdasarkan atas upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang handal.
Cagar biosfer adalah kawasan yang ideal untuk menguji dan mendemonstrasikan pendekatan-pendekatan yang mengarah kepada pembangunan berkelanjutan pada tingkat regional.
“Ini membuktikan pemerintah mengangkangi mandat konservasi cagar Biosfer. Di satu sisi, menaikkan harga tiket dengan alasan konservasi tapi di sisi lain memberikan ijin perusahan untuk beroperasi di Kawasan tapak konservasi Komodo yakni di Pulau Rinca, Pulau Padar dan Pulau Komodo,” tulis rilis pers yang dikeluarkan Walhi NTT beserta 34 lembaga anggota di NTT.
Sejak 2019 isu terkait pengelolaan Kawasan Taman Nasional Komodo terus menuai kontroversi di ruang publik, mulai dari penetapan Labuan Bajo sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), dengan menjadikan Taman Nasional Komodo sebagai Simbol Utama), hingga niat pemerintah untuk merelokasi warga lokal dari Pulau Komodo. Kebijakan dan rencana kebijakan yang kontroversial dari pemerintah inilah yang telah menimbulkan suasana ketidaknyamanan publik.
Menurut mereka pengelolaan TNK yang telah berjalan 42 tahun gagal untuk menjalankan tiga mandat utama cagar Biosfer yakni Pelestarian Keanekaragaman hayati/satwa, peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat dengan mekanisme ekonomi ramah lingkungan dan berkeadilan, dan pemuliaan kebudayaan rakyat.
Populasi Komodo yang terus terancam kuantitasnya dan ekosistemnya, kesejahteraan ekonomi masyarakat di Kawasan TNK yang masih rendah, minimnya pelibatan kebudayaan lokal dalam membangun narasi narasi pengetahuan konservasi, dan perlindungan Ata Modo.
Rencana relokasi masyarakat Pulau Komodo adalah bukti kegagalan pemerintah untuk melakukan pemuliaan kebudayaan Ata Modo. Dan sistem zonasi laut oleh TNK yang justru mempersulit kehidupan masyarakat nelayan atas nama konservasi.
“KLHK juga harus untuk mencabut seluruh ijin konsesi pariwisata IPPA (Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam) dalam skala besar dan berbasis rakus lahan, rakus air dan rakus energi di Pulau Rinca, Pulau Padar dan Pulau Komodo serta kawasan TNK lainnya. Misalnya Ijin PT. SKL dan KWE dan lain lain,” imbuh rilis pers tersebut.
Mereka pun meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikan harga tiket yang telah diputuskan secara sepihak.
Setop Kekerasan Aparat
Selain itu mereka juga meminta aparat menghentikan kekerasan kepada pelaku wisata yang melakukan aksi mogok menolak kenaikan tarif TNK. Menurut mereka pemerintah menggunakan aparat keamanan untuk melakukan praktek praktek kekerasan membungkam kekritisan warga negara.
Terpisah, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) memandang bahwa aksi yang dilakukan oleh pelaku usaha TNK dan pegiat pariwisata tidak sepatutnya direspon menggunakan kekerasan. Aksi damai harus dilihat sebagai alat demokrasi partisipatif bukan dilihat sebagai ancaman yang patut diserang menggunakan alat keamanan. Seharusnya Kepolisian melihat aksi damai ini sebagai bentuk pemanfaatan hak asasi masyarakat sehingga seharusnya dilindungi dan bukan direpresi.
“Tindakan represi oleh aparat kepolisian tersebut semakin mempertontonkan sikap negara yang anti kritik dan lebih mementingkan kepentingan investasi dibanding mendengar aspirasi masyarakat yang langsung terdampak kebijakan,” ucap Deputi Direktur ELSAM, Andi Muttaqien.